Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Malioboro dan Ruang Publik Semu di Kota Yogyakarta

30 September 2015   13:09 Diperbarui: 1 Oktober 2015   09:22 1182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak banyak lagi pejalan kaki di Kota Yogyakarta karena mereka tidak mendapatkan ruang yang layak. Selain panas, sebagian trotoar dan ruang pedestrian juga ditempati para pedagang kaki lima.

Café yang menjamur di Kota Yogyakarta juga tidak akan menjadi ruang publik sejati. Meski tempat-tempat tersebut terbuka bagi masyarakat luas dan bisa dikunjungi 24 jam. Namun, hanya orang-orang yang memiliki uang lebih yang bisa duduk nyaman di sana.

Seperti halnya alun-alun dan trotoar yang tak maksimal berfungsi sebagai ruang publik, maka mall, café, gedung pertunjukkan atau bioskop di Yogyakarta juga hanyalah ruang publik semu. Yaitu ruang privat yang dikemas seolah-seolah sebagai ruang publik.

Malioboro di Antara Kenyataan dan Tantangan Ruang Publik Kota Yogyakarta

Masalah besar Kota Yogyakarta dalam menyediakan ruang publik yang berkualitas tergambar jelas dari kondisi sebuah tempat yang menjadi ruang publik utama, yaitu Malioboro. Semua persoalan dan tantangan ruang publik ada di Malioboro. Kawasan wisata, belanja sekaligus salah satu episentrum budaya ini telah lama kehilangan wajahnya sebagai ruang publik yang nyaman. Malioboro kini menjadi ruang publik semu.

[caption caption="Masyarakat mencoba menikmati "sisa-sisa ruang publik" di Malioboro."]

[/caption]

Ada sebuah paradoks di Kota Yogyakarta. Pemerintah daerah kerap menyarankan agar beberapa kegiatan dan acara budaya yang biasa digelar di Malioboro dipindahkan ke tempat lain untuk mengurangi beban kepadatan di Malioboro. Pertanyaannya, apakah Kota Yogyakarta telah menyediakan ruang publik yang bisa mewadahi warga dan aktivitasnya secara maksimal?.

Ruang publik di Malioboro dan di Kota Yogyakarta hanya residu atau sisa-sisa dari ruang publik yang sesungguhnya telah terampas. Malioboro yang dulu mudah dan menyenangkan untuk dikunjungi, telah mengidap penyakit kronis bernama kemacetan dan pedagang kaki lima (PKL).

Trotoar yang lebar di Malioboro sudah lama beralih fungsi sebagai parkir kendaraan. Hak-hak pejalan kaki menjadi sangat mahal di Malioboro. Malioboro juga didominasi oleh kendaraan yang berebut ruang. Warga dan pengunjung seringkali ketakutan untuk menyeberang jalan di Malioboro. Kondisi ini diperparah dengan kurang tertatanya PKL Malioboro.

[caption caption="Malioboro, ruang publik kota yang terjebak masalah laten kemacetan dan PKL."]

[/caption]

[caption caption="Kehadiran PKL liar elah mengurangi kualitas ruang publik Malioboro."]

[/caption]

[caption caption="Ruang pejalan kaki di Malioboro sebagian besar terampas oleh parkir kendaraan."]

[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun