Jogja memang istimewa. Tak usah lagi didebat. Begitu istimewanya hingga dalam sejarah saya menonton pertunjukkan KAHITNA di beberapa kota, Jogja termasuk kota dengan penonton paling “anteng”. Bayangkan saja sebuah panggung besar di dalam hall yang sanggup memuat ribuan penonton hanya dikelilingi oleh sejumlah manusia berjumlah tak lebih dari 100 orang. Kejadian itu terjadi ketika KAHITNA tampil dalam konser “Sound of Love” bersama saudaranya Yovie & Nuno dan solois Ari Lasso di Jogja Expo Center (JEC).
Tak hanya saya yang mencatat sepinya konser malam itu. Bedi Gunawan, manajer KAHITNA juga mengingat hal yang sama. Ketika bertemu di lobi hotel sesaat sebelum KAHITNA show di Malang, 6 Desember 2011, di sela-sela obrolan singkat kami tentang Yogyakarta, mas Bedi berkomentar begini : “Oh, yang konser dulu, yang sepi itu ya?”. Mendengar bagaimana mas Bedi mengingat hal itu saya hanya terenyum sambil menganggukkan kepala.
Jika ada kota besar di Jawa yang paling jarang dikunjungi oleh KAHITNA, maka itu adalah Jogja. Boleh jadi memang tak banyak event organizer yang memilih KAHITNA sebagai pengisi acara di Jogja. Demand KAHITNA di Jogja tampaknya memang tak terlalu besar. Padahal di kota-kota lain KAHITNA adalah langganan konser dengan tiket sold out.
Basis penggemar KAHITNA di Jogja memang tak terlalu besar. Saya yang pernah menonton konser KAHITNA di Jakarta, Surabaya, Malang dan Semarang bisa merasakan perbedaan gaung suara penggemar KAHITNA di kota-kota itu dibanding di Jogja.
Lalu mengapa KAHITNA yang di tempat lain sukses menarik orang untuk berkerumun seolah kurang kurang berjodoh dengan Jogja?. Hipotesis saya adalah sudah terlalu banyak anak muda di Jogja yang mati rasa karena cinta. Lagu-lagu KAHITNA juga terlalu to the point, terdengar halus tapi secara dalam menyakitkan. Sementara orang Jogja rata-rata tidak suka yang terlalu to the point. Mungkin saat konser di Jogja KAHITNA perlu memilih dan memilah urutan lagunya agar anak-anak muda galau di Jogja tidak terlalu kaget mendengarnya.
Ada banyak kampus dan sekolahan di Jogja. Itu berarti ada ribuan anak muda bertebaran di kota budaya ini. Atmosfer Jogja sangat subur untuk menumbuhkan cinta tapi sekaligus menjadi ladang pembantaian cinta yang perih. Setiap hari mungkin ada banyak anak muda Jogja yang hatinya koyak karena cinta sendiri, diselingkuhi atau diberi harapan palsu sampai berdarah-darah hatinya.
Sialnya move on adalah sesuatu yang berat untuk dilakukan di Jogja. Di kota ini bukan hal mudah untuk membenahi hati yang terluka. Di Jogja melupakan wajah mantan apalagi jika sang mantan masih satu kampus, satu kelas pula, jauh lebih sulit dibanding lulus kuliah.
Setiap kenangan memang berkali-kali lipat terasa indah jika terukir di Jogja. Berjalan di trotoar Jogja saja bisa membuat orang jatuh cinta tiba-tiba. Namun romantisme Jogja yang kuat itu juga membuat patah hati terasa jauh lebih menyesakkan. Begitu hebatnya efek patah hati di Jogja membuat orang susah lupa. Begitu mudahnya jatuh cinta di Jogja, tapi untuk bangun saat jatuh karena cinta seringkali hal yang berbeda.
Kadar kegagalan cinta yang tinggi membuat banyak anak muda Jogja menjadi sangat perasa dan mereka tahu kalau lagu KAHITNA adalah obat yang terlalu pahit untuk mereka telan. Meski telinga mereka menyukai lagunya, tapi hati mereka benci dengan syairnya. KAHITNA seperti alergen yang membuat kulit gatal dan panas. Lagu-lagu KAHITNA membuat beban perasaan dan sakit hati semakin bertambah.
Jelas sudah KAHITNA menambah susah move on anak-anak muda galau di Jogja. Bagi anak muda Jogja datang ke konser KAHITNA sama saja datang ke pesta pertunangan mantan. Rasanya ingin bertanya: “mengapa engkau waktu itu putuskan cintaku?”. Tapi apa daya luka di hati terlanjur membungkam multu bersuara.