Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

"Jurnalisme Raffi Ahmad" Subur karena Sikap Penonton yang Mendua

24 Agustus 2015   12:20 Diperbarui: 24 Agustus 2015   12:35 3270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Maaf jika saya harus meminjam kata “jurnalisme” untuk menggambarkan hal ini hanya karena beberapa waktu lalu terkecoh oleh tayangan di sebuah TV yang menyajikan laporan langsung seorang reporter dari sebuah tempat kejadian. Saya mengira itu bagian dari program berita yang mengabarkan suatu kejadian penting seperti lazimnya laporan langsung reporter lapangan. Akan tetapi saya salah duga. “Berita” yang dikabarkan oleh sang reporter ternyata tentang kelahiran seorang bayi. Tak perlu pikir panjang untuk saya segera mengganti channel. Tapi beberapa saat kemudian berita kelahiran sang bayi nangkring di posisi teratas trending topic twitter. Luar biasa.

Kritik terhadap kualitas tayangan TV di Indonesia tak pernah habis. Masyarakat memprotes perilaku stasiun-stasiun TV yang memperkosa frekuensi milik publik dan itu dianggap sebagai bagian dari ruang publik, dengan menyuguhkan program acara yang kurang bermanfaat dan tidak mendidik. Tak perlu disebutkan jenis dan judul acara-acara tersebut karena daftarnya sudah cukup panjang.

Selama ini sorotan ditujukan kepada KPI dan pemerintah yang dianggap kurang tegas dalam menghukum tayangan-tayangan yang dianggap rendah mutu. Tetapi tidak adil jika hanya menyalahkan KPI karena sanksi yang diberikan sudah sesuai dengan wewenangnya yaitu memberi himbauan, teguran, penghentian atau penghentian sementara. Jika ada tumpang tindih kewenangan dengan peran yang dimiliki Kementerian Komunikasi dan Informatika, maka hal yang bisa didorong adalah meningkatkan koordinasi atau menyamakan pandangan dalam mengontrol serta mengawasi kualitas siaran TV. KPI juga perlu melakukan publikasi secara lebih terbuka kepada masyarakat melalui media lain seperti surat kabar atau radio tentang acara-acara TV yang mendapatkan sanksi agar masyarakat semakin sadar terhadap kualitas tontonan mereka.

Ada kecenderungan tayangan-tayangan selera rendah semakin subur meski telah dihujani kritik dan sanksi. Acara-acara yang sering mendapat teguran dari KPI justru banyak dipilih untuk memenangi award, semakin eksis dan menjadi trendsetter bagi TV-TV lain untuk memproduksi acara serupa. Seperti sudah menjadi “teror”, beragam acara itu pun menguasai ruang tontonan masyarakat.

Banyak yang berpendapat TV telah meracuni masyarakat dengan tontonan-tontonan yang kurang bermakna dan melecehkan publik. TV memaksa penonton untuk menyaksikan acara-acara itu dengan tidak menyuguhkan pilihan acara lain yang lebih baik. Pagi hingga malam reality dan variety show bergantian muncul dengan selingan sinetron-sinetron minim inspirasi dan edukasi. Siaran berita penuh dengan keberpihakan dan pelintiran fakta. Acara diskusi banyak mengumbar caci dan saling merendahkan diri.

Pendapat itu tak sepenuhnya salah. Tapi apakah eksistensi tayangan bergaya “jurnalisme Raffi Ahmad” sepenuhnya disebabkan oleh sikap TV yang sengaja ingin terus menyuguhkan tayangan-tayangan itu?.


Saya termasuk yang percaya bahwa apa yang ditampilkan oleh TV mewakili sebagian wajah masyarakat. Acara-acara yang ditayangkan di TV merefleksikan sebagian sikap penontonnya. Media dan masyarakat saling berinteraksi. Apa yang disuguhkan media bisa mempengaruhi budaya dan perilaku penonton. Tapi di sisi lain media juga menjadi cermin atau mungkin jendela untuk mengintip kondisi masyarakat.

Jika banyak tayangan dikritik oleh penonton karena dianggap kurang pantas, maka secara tak langsung dan tak sadar hal itu juga merupakan kritik untuk lingkungan kita sendiri. Ketika banyak acara debat yang menonjolkan perilaku saling serang untuk merendahkan diri lawan bicaranya, maka itu mungkin menggambarkan kondisi masyarakat kita yang mudah mencaci dan nyinyir.

Masalahnya banyak di antara kita yang bersikap ambigu. Sebagai makhluk ambivalen, manusia memang kerap mendua. Demikian halnya dengan banyak penonton yang sering mengeluhkan kualitas tayangan TV, tapi di saat yang sama mereka tak pernah meninggalkan tayangan-tayangan itu. Banyak di antara kita mengkritik “jurnalisme Raffi Ahmad” tetapi diam-diam menyukai dan terus mengikutinya.

Sikap ambigu membuat penonton tidak memiliki ketegasan dalam menentukan tontonannya. Padahal ketegasan penonton bisa menghasilkan hukuman yang lebih menjerakan dibanding sanksi KPI. Jika selama ini TV dianggap telah memaksa masyarakat untuk menonton tayangan rendah mutu yang disajikan, maka sudah semestinya masyarakat berbalik melawan dan memaksa TV untuk berhenti menyuguhkan tayangan-tayangan rendah mutu. Caranya dengan berhenti menonton acara-acara yang kurang berkualitas itu.

Sikap permisif yang menganggap “ini kan hiburan, tidak apa-apa menonton yang penting kita tidak ikut-ikutan” perlu ditinjau kembali. Dengan terus menontonnya, maka masyarakat sebenarnya sedang  memelihara tontonan itu. Dengan kata lain di balik eksistensi acara-acara rendah mutu, ada andil penonton yang secara tidak sadar telah merawat dan "membenarkan" acara-acara tersebut.

Sudah beberapa tahun terakhir saya melakukan diet TV. Saat saya merasa sebuah acara kurang layak ditonton, maka saya berhenti menontonnya. Percuma jika saya mengkritik acara-acara itu tapi tak berhenti menyaksikannya. Layar TV One telah lama saya letakkan di urutan terbawah pilihan TV Indonesia. Hal yang sama saya lakukan dengan berusaha menghindari tontonan yang menampilkan Raffi Ahmad cs.

Cara meredam efek mematikan sebuah virus adalah dengan tidak memberikan nafas kehidupan sedikitpun kepadanya. Ketika sudah semakin parah, sedikit saja pembiaran akan membuat virus bangkit kembali dan semakin merajalela.

Kritik terhadap TV dan tayangan-tayangan yang tidak berkualitas sudah sejak lama ada dan tidak hanya di Indonesia. Namun masyarakat semestinya tidak sekadar mengkritik karena hal itu terbukti tak membuat para pemerkosa frekuensi publik menjadi jera. Ketegasan masyarakat dalam menghukum TV dan acara-acaranya yang merugikan perlu diwujudkan dengan tindakan nyata.

Peran KPI atau pemerintah memang sangat dibutuhkan. Mengharapkan kesadaran media terutama TV juga tak berlebihan. Namun ada satu hal yang selama ini terlewatkan bahwa sebagai penonton, masyarakat juga harus bersikap tegas dalam menentukan tontonan mereka.

Berhenti bersikap mendua. Tak cukup lagi hanya menggerutu jika ingin menang melawan teror-teror tayangan rendah mutu. Kita perlu meningkatkan kesadaran dan ketegasan dalam meredam tayangan-tayangan itu dengan berhenti menontonnya. Mau?.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun