Pertama, dalam peta flora dunia keanekaragaman spesies Anggrek Indonesia nyaris tak ada tandingannya. Sekitar 5000 spesies dari 25.000-30.000 spesies Anggrek dunia ada di Indonesia. Dengan kata lain Indonesia mewarisi kekayaan genetik plasma nutfah Anggrek yang sangat berlimpah. Inilah yang menjadi modal utama bagi pengembangan potensi anggrek terutama untuk menggerakkan sektor agrobisnis termasuk dalam menghasilkan anggrek-anggrek hibrida berkualitas.
Namun kenyataannya agrobisnis Anggrek Indonesia jauh tertinggal dibanding negara-negara yang tidak memiliki kekayaan plasma nutfah anggrek berlimpah seperti Taiwan, Singapura, Thailand dan Jepang. Tak banyak Anggrek-anggrek hibrida hasil karya Indonesia yang terkenal dan dikenal oleh masyarakat. Bahkan tak jarang dalam pameran-pameran dan bursa tanaman, Anggrek hibrida dari luar negeri mendominasi etalase utama. Tentu saja karena kualitasnya yang sangat baik.
Sebagai pusat biodiversitas Anggrek di Asia bahkan dunia, kontribusi Indonesia dalam sektor agrobisnis anggrek internasional kurang dari US $ 10 juta. Nilai itu jauh di bawah Thailand dengan nilai ekspor US$ 50 juta dan Taiwan US $ 15 juta. Sedangkan total nilai perdagangan internasional anggrek saat ini sekitar US $ 150 juta.
Kekayaan sumber daya genetik anggrek Indonesia yang oleh negara lain diakui dan membuat iri justru tak dimaksimalkan di negeri sendiri. Kekayaan tersebut masih sebatas “potensi diam”.
Anggrek Dendrobium “Iriana Jokowi” maupun Dendrobium “Ani Yudhoyono” memang membanggakan bagi yang menerima. Tapi bangsa ini sebenarnya pantas malu karena kita mendapatkan hadiah dari apa yang sebenarnya sudah kita miliki namun tak pernah dicermati. Mengapa bukan Indonesia yang memberi nama Anggrek milik sendiri dan menghadiahkannya untuk negara lain?.
Alasan kedua mengapa Indonesia sepantasnya merasa malu mendapatkan hadiah bunga Anggrek dari negara lain adalah karena selama ini kita seolah telah melupakan Anggrek sebagai bunga nasional. Banyak masyarakat hanya mengenal bunga nasional Indonesia adalah Rafflesia. Padahal berdasarkan keputusan presiden tahun 1993, Rafflesia hanya 1 dari 3 bunga nasional Indonesia. Salah satu bunga nasional Indonesia lainnya adalah Anggrek Phalaenopsis amabilis atau biasa disebut Anggrek Bulan.
Oleh karena itu hadiah bunga Anggrek dari Singapura dengan nama tokoh Indonesia sebenarnya membangunkan sifat lupa dan abai kita terhadap bunga nasional, identitas negera sendiri sekaligus puspa pesona negeri.
Indonesia tidak kekurangan pakar, peneliti, akademisi dan pelaku agrobisnis yang hebar. Satu kelemahan besar Indonesia selama ini yaitu rendahnya kesadaran dan komitmen pemerintah untuk mengangkat potensi anggrek negeri sendiri. Dari hal paling sederhana, jika di Singapura mimbar podium dan latar tempat pejabat konferensi pers maupun acara kenegaraan selalu berhiaskan anggrek dan gambar anggrek, maka hal itu jarang tampak di Indonesia.
Pada sebuah Seminar Internasional Agrobisnis Anggrek di tahun 2010 saya tersentuh dengan paparan pakar dari Jepang dan Taiwan yang mengungkap kunci keberhasilan negara mereka memajukan agrobisnis anggrek yakni dana dan fasilitas penelitian, serta dukungan pengembangan hasil oleh pemerintah. Di saat yang sama mereka iri dengan potensi anggrek Indonesia. Mereka pun memberikan saran apa yang harus dilakukan jika Indonesia ingin berhasil mengangkat potensi anggreknya. Namun di seminar-seminar selanjutnya saya hanya menarik nafas panjang karena kita masih sebatas mengulang cerita tentang potensi dan belum banyak bicara tentang hasil.
[caption caption="Aku Cinta Anggrek Indonesia! (dok. hendra wardhana)."]