Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Ramadhan dan Kenangan Masa Kecil yang Tak Terlupakan

12 Juli 2015   09:46 Diperbarui: 12 Juli 2015   09:46 1840
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Siluet senja di Masjid Kampus UGM jelang waktu berbuka puasa."][/caption]

H-5 lebaran, jam 2 dini hari, saya terjaga bangun dari tempat tidur. Baru beberapa jam lalu saya tiba di rumah kampung halaman. Suasana rumah masih sepi. Kecuali saya, semua penghuni masih di alam mimpi. Padahal biasanya ketika puasa di rumah, saya adalah orang kedua yang bangun sahur setelah Ibu.

Hal yang sering saya kerjakan menjelang sahur adalah membantu menata piring atau menggoreng lauk. Setelah itu membangunkan anggota keluarga yang masih terlelap. Tapi kemarin saya tak langsung beranjak ke dapur atau ruang makan. Saya memilih menuju ruang tamu dan mengintip keluar lewat tirai jendela. Ada yang ingin saksikan di luar sana.

Sekitar 30 menit saya duduk menunggu di ruang tamu sambil memainkan HP. Namun apa yang saya harapkan rupanya tak kunjung tiba. Mereka tak terlihat lewat. Suaranya tak terdengar bahkan sayup-sayupnya pun tak terlacak telinga. Tak ada lagi musik pembangun sahur yang dahulu selalu lewat di muka rumah.

Sekelompok warga kampung yang umumnya remaja dan anak-anak berkeliling sambil menabuh kentongan bambu dan alat musik seadanya yang bahkan sering kali hanya berupa kaleng bekas dan ember adalah hal yang menarik. Dahulu “konser sahur” itu menjadi hal yang paling saya tunggu setiap jelang sahur. Begitu kerasnya tabuhan mereka sehingga dari kejauhan tanda-tanda kehadirannya pun sudah terdengar. Saya merasa tak terganggu. Malahan selalu antusias setiap kali mendengar tabuhan-tabuhan itu. Saya bahkan sering bangun lebih dini agar tak terlewat kesempatan menyaksikan rombongan itu melintas di depan rumah.

Saat itu ada keinginan untuk ikut menjadi bagian dari grup “konser sahur” tersebut. Apalagi beberapa teman seusia sering ikut di dalamnya. Terlihat seru sekali. Apa daya, orang tua selalu melarang saya untuk ikut berkeliling membangunkan orang sahur. Takut sakit dan masuk angin, begitu katanya.

Kini musik keliling pembangun sahur itu tak lagi eksis di kampung halaman saya. Padahal banyak warga remaja dan anak-anak di sekitar rumah. Jumlahnya pun jauh lebih banyak dibanding populasi remaja dan anak-anak di masa saya dulu. Mungkin alarm HP sudah menggantikan peran musik keliling pembangun sahur itu. Atau juga karena banyaknya acara sahur yang menarik sehingga setiap orang lebih memilih duduk manis di rumah masing-masing daripada keluar rumah menantang hawa dingin dan rasa kantuk. Musik pembangun sahur pun tinggal kenangan yang lekat di ingatan.

Tak hanya “konser sahur” yang membekas di ingatan saya. Ada beberapa kenangan lainnya yang mengisi Ramadhan di masa kecil dulu. Saat masih kecil terutama saat duduk di bangku SD, saya tergolong anak yang susah makan. Tapi di saat puasa saya juga sering tak kuat menahan lapar. Akhirnya sayapun lebih banyak menjadi penggembira karena suka “Diam-Diam Buka” sebelum waktunya.

Bulan Ramadhan juga menjadi salah satu momen bermain yang paling menyenangkan sepanjang usia saya. Bermain “meriam bambu” alias “mercon bumbung” bersama teman-teman adalah cara ngabuburit yang seru di masa lalu.

Bambu sepanjang satu meter dilubangi di salah satu ujungnya dan diisi dengan minyak tanah yang dipanaskan. Dari sebuah lubang kecil lainnya api disulut dan seketika suara keras meletus dari mulut meriam. Saya bisa menghabiskan waktu hingga 3 jam untuk bermain perang bambu dengan teman-teman ketika itu. Kami pun saling bersaing menghasilkan suara letusan paling keras.

Kini kebiasaan bermain meriam bambu tak lagi dilakukan anak-anak kecil di sekitar rumah. Saya tak lagi mendengar suara-suara menggelegar itu. Mungkin menonton TV dan bermain game lebih menyenangkan bagi anak-anak sekarang. Mungkin juga karena lingkungan rumah kurang lagi mendukung untuk bermain perang meriam bambu yang memekakan telinga itu. Pekarangan dan kebun yang dulu banyak dijumpai dan menjadi arena saya bermain kini telah diisi oleh deretan rumah-rumah baru. Bambu pun tak lagi mudah didapatkan kecuali harus membeli. Demikian juga dengan minyak tanah yang sudah langka.

[caption caption="Gerbang timur Masjid Kampus UGM"]

[/caption]

Kenangan Ramadhan di masa kecil juga diisi dengan kisah shalat tarawih yang berlangsung melelahkan. Dulu setiap hari saya mengikuti tarawih 23 rakaat. Dengan imam yang sudah berusia lanjut dan lebih sering membaca surat-surat panjang, jadilah tarawih masa kecil saya berlangsung hingga 1,5 jam.

Bagi seorang anak kecil mengikuti tarawih yang lama waktunya sama dengan lama pertandingan sepakbola rasanya membosankan. Oleh karena itu saya dan teman-teman sering hanya duduk-duduk di antara barisan sholat. Parahnya kenakalan khas anak-anak membuat saya dan teman-teman melakukan banyak hal jahil selama tarawih berlangsung. Saat yang lain khusyuk beribadah, kami justru bercanda. Saling menarik sarung hingga usil menjewer telinga atau menginjak kaki teman di samping adalah kenakalan kami saat itu. Bukan hanya itu, saat sedang mengikuti sholat kami juga suka menirukan bacaan Imam dengan suara keras dan semakin keras ketika mengucapkan “amiiiinn”. Oleh karena itu saya dan teman-teman kerap dimarahi jamaah shalat tarawih lainnya atau mendapat lirikan tajam dari orang-orang tua yang terganggu dengan ulah kami di masjid. Namun anak kecil memang terkadang tak mempan dimarahi. Seusai shalat kami masih gaduh dengan berebut untuk menabuh bedug sebelum pulang.

Ramadhan di waktu kecil juga tak terlupakan karena saya harus selalu mengisi Buku Kegiatan Ramadhan (BKR) yang menjadi bagian dari tugas pelajaran agama. Malas sekali harus membawa buku itu setiap kali ke masjid. Apalagi saya juga harus berburu tanda tangan imam dan pemberi kultum sebagai bukti bahwa saya mengikuti shalat dari awal hingga akhir.

Bukan hanya itu, BKR juga membuat saya harus selalu menuliskan ibadah apa saja yang telah dilakukan setiap hari selama Ramadhan. Untuk setiap kegiatan itu saya harus mendapatkan pengesahan dari orang tua atau pembimbing kegiatan.

Sialnya, guru agama sering kali menjadikan isian BKR sebagai dasar untuk menilai muridnya. Suatu ketika saya dimarahi oleh guru agama karena kolom sholat Jumat saya kosong. Bukannya tak mengikuti sholat Jumat, tapi karena saya tidak membawa buku itu ketika ke masjid, Apalagi saya juga tak tahu nama imam dan khotib sholat Jumat. Akhirnya sayapun malas mengisinya.

Kini buku semacam itu sepertinya sudah mulai ditinggalkan. Saat sholat tarawih beberapa waktu lalu saya mengamati anak-anak yang ikut sholat. Banyak di antara mereka yang tak membawa buku itu. Setelah bertanya kepada dua anak, ternyata sekolah mereka sudah sejak setahun kemarin tidak memberikan Buku Kegiatan Ramadhan yang wajib diisi. Beruntung sekali mereka.

Bulan Ramadhan memang selalu istimewa. Termasuk untuk memanggil kembali kenangan-kenangan lama yang telah membekas di hati dan ingatan. Ingin rasanya mengulang keriaan itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun