[caption caption="Gerbang timur Masjid Kampus UGM"]
Kenangan Ramadhan di masa kecil juga diisi dengan kisah shalat tarawih yang berlangsung melelahkan. Dulu setiap hari saya mengikuti tarawih 23 rakaat. Dengan imam yang sudah berusia lanjut dan lebih sering membaca surat-surat panjang, jadilah tarawih masa kecil saya berlangsung hingga 1,5 jam.
Bagi seorang anak kecil mengikuti tarawih yang lama waktunya sama dengan lama pertandingan sepakbola rasanya membosankan. Oleh karena itu saya dan teman-teman sering hanya duduk-duduk di antara barisan sholat. Parahnya kenakalan khas anak-anak membuat saya dan teman-teman melakukan banyak hal jahil selama tarawih berlangsung. Saat yang lain khusyuk beribadah, kami justru bercanda. Saling menarik sarung hingga usil menjewer telinga atau menginjak kaki teman di samping adalah kenakalan kami saat itu. Bukan hanya itu, saat sedang mengikuti sholat kami juga suka menirukan bacaan Imam dengan suara keras dan semakin keras ketika mengucapkan “amiiiinn”. Oleh karena itu saya dan teman-teman kerap dimarahi jamaah shalat tarawih lainnya atau mendapat lirikan tajam dari orang-orang tua yang terganggu dengan ulah kami di masjid. Namun anak kecil memang terkadang tak mempan dimarahi. Seusai shalat kami masih gaduh dengan berebut untuk menabuh bedug sebelum pulang.
Ramadhan di waktu kecil juga tak terlupakan karena saya harus selalu mengisi Buku Kegiatan Ramadhan (BKR) yang menjadi bagian dari tugas pelajaran agama. Malas sekali harus membawa buku itu setiap kali ke masjid. Apalagi saya juga harus berburu tanda tangan imam dan pemberi kultum sebagai bukti bahwa saya mengikuti shalat dari awal hingga akhir.
Bukan hanya itu, BKR juga membuat saya harus selalu menuliskan ibadah apa saja yang telah dilakukan setiap hari selama Ramadhan. Untuk setiap kegiatan itu saya harus mendapatkan pengesahan dari orang tua atau pembimbing kegiatan.
Sialnya, guru agama sering kali menjadikan isian BKR sebagai dasar untuk menilai muridnya. Suatu ketika saya dimarahi oleh guru agama karena kolom sholat Jumat saya kosong. Bukannya tak mengikuti sholat Jumat, tapi karena saya tidak membawa buku itu ketika ke masjid, Apalagi saya juga tak tahu nama imam dan khotib sholat Jumat. Akhirnya sayapun malas mengisinya.
Kini buku semacam itu sepertinya sudah mulai ditinggalkan. Saat sholat tarawih beberapa waktu lalu saya mengamati anak-anak yang ikut sholat. Banyak di antara mereka yang tak membawa buku itu. Setelah bertanya kepada dua anak, ternyata sekolah mereka sudah sejak setahun kemarin tidak memberikan Buku Kegiatan Ramadhan yang wajib diisi. Beruntung sekali mereka.
Bulan Ramadhan memang selalu istimewa. Termasuk untuk memanggil kembali kenangan-kenangan lama yang telah membekas di hati dan ingatan. Ingin rasanya mengulang keriaan itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H