Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

"Asmara Subuh" dalam Kenangan

2 Juli 2015   03:29 Diperbarui: 2 Juli 2015   03:29 1124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matahari terbit di suatu pagi di bulan Ramadhan.

Jika “ngabuburit” identik sebagai kegiatan menunggu waktu berbuka, maka dulu juga ada “asmara subuh” yang populer untuk mengawali aktivitas Ramadhan di pagi hari. Jalan-jalan, cuci mata lalu nongkrong di pinggir jalan, begitulah gambaran “asmara subuh”. Terlepas apakah “asmara subuh” identik dengan jalan-jalannya orang dewasa bersama pasangan atau untuk mencari gebetan, namun saat kecil saya memiliki bentuk “asmara subuh” yang lain bersama teman-teman.

Semasa kecil di rentang masa saat duduk di bangku SD, saya biasa berjalan-jalan atau bersepeda bersama teman-teman seusai shalat subuh. Bukan jalan-jalan biasa di sekitar rumah, melainkan menempuh jarak hingga 4 kilometer sampai ke alun-alun kota.

Kami leluasa berjalan kaki dan bersepeda karena saat itu puasa sering bertepatan dengan libur sekolah. Jikapun tidak, sudah menjadi kebiasaan sekolah di masa itu memberi libur 1 minggu di awal Ramadhan.

Bergerak usai shalat subuh di saat hari masih gelap dan embun masih tebal menggantung, setapak demi setapak langkah kaki kami mengawali Ramadhan dengan penuh keriaan. Masih jelas di ingatan saya, suasana pagi di bulan Ramadhan saat itu bagaikan gerak jalan massal di masa sekarang. Banyak orang keluar dari desa, melewati persawahan, menyisir jalan lalu kembali ke rumah saat sinar matahari sudah mengenai tanah.

Ingatan saya juga mencatat bahwa kami selalu antusias melakukan hal itu karena ingin melihat keramaian di alun-alun kota. Sebagai anak desa, alun-alun kota adalah “tempat mewah” yang menyenangkan untuk dikunjungi. Apalagi saat itu perang petasan masih marak terjadi dan menjadi daya tarik yang asyik untuk ditonton di alun-alun. Saya dan teman-teman bahkan beberapa kali terlibat langsung dari aksi lempar petasan di alun-alun kota.

Jika sedang tak ingin berjalan kaki, maka saya dan teman-teman memilih bersepeda. Tak semua dari kami memiliki sepeda sehingga saat itu beberapa anak bergantian saling membonceng. Rutenya sama yakni menyusuri jalan desa, menyisir sawah, melintasi jalan raya dan bermuara di alun-alun kota. Di tengah jalan kami sering berhenti. Ada saja keriaan yang kami lakukan. Misalnya melempar sandal milik sesama teman dan jika sandal itu terlempar jauh ke tengah jalan maka kami akan tertawa. Kadang juga kami menabuh petasan sembari berharap orang yang lewat akan terkejut dan jika itu wanita maka akan menjerit.

Belasan tahun berselang, saya tak lagi menjalani “asmara subuh” seperti waktu dulu. Tak ada lagi keseruan Ramadhan dengan berjalan dan bersepeda bersama teman-teman diisi dengan berbagai tingkah seru dan nakal.

Namun kenangan itu masih ada dan selalu membuat saya tersenyum setiap kali mengingatnya. Satu fakta di balik kekonyolan “asmara subuh” di kala Ramadhan semasa kecil adalah puasa saya sering putus di tengah jalan. Begitu semangatnya berjalan kaki dan bersepeda seusai subuh membuat saya lapar dan haus ketika sampai di rumah.

Saya tak akan lupa bahwa saat itu setan sudah mulai berbisik menyuruh membatalkan puasa meski hari baru menginjak pukul 9 pagi. Jangan tanya siapa yang menang. Apakah malaikat bersayap putih di sebelah kanan saya atau setan berbaju hitam yang berbisik di sebelah kiri saya?. Namanya juga anak kecil. Semua gara-gara “asmara subuh”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun