Semua hal yang terpampang nyata di Yogyakarta seakan selalu bercerita. Setiap sudut kota ini seakan berkisah, tentang apapun, tentang hal-hal yang remeh sampai masalah serius yang kerap membuat orang berkerut dahinya. Tentang makanannya, wisata, budaya, kehidupan masyarakat hingga modernisasi yang mengubah sebagian wajahnya. Tak hanya di setiap sudutnya, setiap ruas kota Jogja juga tak pernah berhenti bercerita. Jika tak percaya, duduklah saja diam di Malioboro dan pandangi apa saja yang melintas di depan mata. Rentetan kisah terlahir di sana.
Becak Malioboro, bagian dari sejarah dan budaya yang masih memiliki tempatnya di tengah Yogyakarta yang semakin modern
Becak, alat transportasi tradisional ini hampir ada di setiap daerah di Indonesia. Seolah telah menjadi bagian sejarah peradaban manusia Indonesia, becak menjadi salah satu saksi bagaimana sebuah kota dengan masyarakat dan budayanya berkembang. Tapi zaman seringkali memakan pelakunya yang tak mampu mengikuti langkah maju dan perubahan modern. Kota yang semakin sesak membuatnya kian terdesak. Di beberapa daerah becak telah punah. Di banyak kota besar becak disingkarkan demi sebuah wajah baru bernama metropolitan.
Tapi tidak di Yogyakarta, becak selalu menempati tempatnya sebagai bagian dari khasanah kota ini. Tak hanya dicintai oleh warganyanya, becak di Yogyakarta juga menjadi bagian dari alasan orang berwisata. Dan becak-becak Malioboro mewakili wajah becak di Yogyakarta yang tetap lestari sebagai bagian dari khasanah budaya yang terjaga dan tak kehilangan nilainya.
Memang tak sedikit cerita tentang kekesalan yang tersisa usai menaiki becak di Malioboro. Mulai dari pengayuh becaknya yang kerap memaksakan tujuan hingga menjebak penumpangnya dengan beragam cara untuk menarik ongkos yang tinggi. Oleh karena itu jika hendak menaiki becak di Malioboro, pastikan kita sudah memiliki tujuan dan wajib menawar karena semua alat transportasi tradisional di tempat ini tak lepas dari tarif kesepakatan. Jangan terbuai dengan tawaran ongkos murah pengayuh becak jika itu mengantarkan kita kepada tempat yang tak ingin kita kunjungi.
Ada ratusan becak yang resmi terdaftar dan beroperasi di Malioboro. Jumlah itu bertambah banyak jika becak-becak ilegal ikut dihitung. Tapi apa bedanya becak yang resmi dan ilegal ?.
Mungkin hanya di Yogyakarta becak mendapatkan keluhurannya dan diperlakukan layaknya kendaraan bermotor. Di Yogyakarta termasuk Malioboro, becak-becak dilengkapi dengan nomor seperti halnya kendaraan umum berplat kuning. Peraturan walikota Jogja Nomor 25 tahun 2010 mewajibkan becak dan andong/kereta kuda memiliki Surat Ijin Operasional Kendaraan Tidak Bermotor (SIOKTB) untuk dapat beroperasi. Dengan SIOKTB tersebut becak juga harus dilengkapi dengan Tanda Nomor Kendaraan Tidak Bermotor (TNKTB). TNKTB bentuknya mirip dengan plat motor dan mobil. Bentuknya berupa kotak berukuran 20 x 7,5 cm, berwarna kuning, bertuliskan YB yang berarti Yogya Becak diikuti oleh serangkain angka yang menunjukkan nomor urut. Sementara di sisi kanan bawah bertuliskan kecil tahun dan bulan berlakunya TNKTB. Plat Nomor becak wajib dipasang di belakang dan depan badan becak. Tak kurang ada 800 becak resmi yang tercatat beroperasi di Malioboro dari total lebih dari 8000 becak yang ada di Yogyakarta, termasuk yang tidak resmi.
Lajunya yang lamban mungkin mewakili filosofi Jawa “alon-alon asal kelakon”. Bentuknya yang itu-itu saja boleh jadi menunjukkan prinsip “nerimo” sekaligus menitipkan pesan bahwa nilai-nilai budaya seharusnya terus dijaga dan dicintai apapun zamannya. Tak akan maju sebuah peradaban jika tak diawali dari sebuah kesederhanaan. Itulah suara becak.
Selalu menarik untuk memandangi setiap becak yang melintasi Malioboro. Mereka tak hanya bersaing berbagi jalan dengan transportasi modern. Tapi juga bersaing menarik penumpangnya. Ada tukang becak yang nakal dengan memanfaatkan keluguan wisatawan untuk merauk banyak rupiah. Ada yang kerap setengah memaksa dan terus mengikuti berjalan di belakang sampai akhirnya ia menyerah. Kadang kita memandang benci kepada tukang-tukang becak seperti demikian. Tapi saya yakin mereka tak pernah berangkat dari rumah dengan niat demikian. Kehidupanlah yang memaksa mereka bersaing satu sama lain dengan menggunakan beragam cara demi memastikan Rp. 20.000 dapat dibawa pulang untuk keluarga setiap hari.
Tapi banyak juga yang ramah dan tulus berbagi cerita kepada penumpang seperti halnya guide memandu dalam perjalanan. Beberapa malam yang lalu saya beruntung menaiki becak dari seorang pengayuh berumur. Sepanjang jalan dari Purawisata di Jalan Katamso hingga Hotel Inna Garuda yang berjarak 3 km dengan baik beliau berbagi cerita tentang kehidupannya. Tarikan nafas serta bunyi derit becaknya tak menghentikannya berbagi kisah tentangnya yang setiap hari mulai mengayuh di kala malam karena teriknya siang sudah terlalu panas untuk tubuh tuanya. Lalu saat subuh menjelang ia pulang dengan mengayuh lagi sejauh puluhan kilometer. Hingga akhirnya saya tiba di tujuan, beliau tampak senang mendapatkan Rp. 10.000 rupiah dari tangan saya. Saya tersenyum ketika dia berkata saya adalah penumpang pertamanya malam itu.
Memang banyak para pengayuh becak yang sudah renta di Malioboro. Usia mereka mencapai 60 tahun dan beberapa di antaranya sudah mengayuh becak selama lebih dari 30 tahun. Pengayuh becak berumur ini biasanya memiliki pelanggan sendiri termasuk para pedagang pasar Beringharjo. Uniknya kebanyakan para pelanggannya juga orang yang sudah berumur. Tak heran jika banyak mbah-mbah kakung mengayuh becak di Malioboro membawa penumpang mbah-mbah putri dengan keranjang dagangan. Sungguh pemandangan yang manis, mengharukan tapi juga mengundang senyum. Becak-becak tua itu seolah membahasakan kehidupan pengayuh dan penumpangnya yang tak kenal lelah dan tak mau menyerah takluk pada usia dan keadaan. Putaran roda dengan besi berkaratnya seperti ingin menunjukkan begitulah manusia seharusnya menjalani kehidupan. Terus berputar mengikuti jalan meski kadang kita tak tahu ke mana dan bagaimana harus melewatinya.
Sementara becak-becak lain lalu lalang membawa pasangan-pasangan berwajah ceria. Bentuknya memang kuno dan identik dengan orang berbaju bau keringat menyengat. Lajunya pun lambat dan hanya mampu ditumpangi 2 orang. Tapi justru itulah yang membuatnya romantis ketika dinaiki berdua.
Selalu ada kisah yang lahir di Yogyakarta. Setiap sudutnya membuat orang susah lupa. Bahkan becaknya pun berbicara. Roda-roda tua, besi yang berkarat dan badan kayu yang tak kenal lapuk itu seolah bercerita. Cerita tentang kehidupan yang kerap memaksa manusia memanfaatkan kelemahan sesamanya. Tentang kesederhanaan dan ketulusan yang tetap terjaga di tengah desakan kemajuan zaman. Kelestarian becak dan keteguhan pengayuhnya seolah berbicara tentang kekuatan untuk tak menyerah pada keadaan.
Bapak, mbah, teruslah mengayuh becak dan membuat orang bahagia. Lalu istirahatlah di kala waktu meminta kalian melakukannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H