Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Catatan

[Kampretjebul4] Seribu Warna Sejuta Rasa di Pasar Tradisional

1 April 2015   13:50 Diperbarui: 4 April 2017   16:50 645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu hal yang suka saya lakukan setiap kali bepergian ke sebuah daerah adalah mengunjungi pasar tradisionalnya. Jika sepanjang usia saya baru tiga atau empat kali datang ke mall, maka sejak kecil hingga saat ini mungkin sudah ada ratusan kali saya menginjakkan kaki di pasar tradisional.

Para pedagang berbincang hangat satu sama lain sembari menanti pembeli.

Ibu adalah orang yang pertama kali mengenalkan saya dengan suasana pasar tradisional. Entah kenapa di masa kecil selalu saya yang diajak ke pasar tradisional dibanding dua saudara saya yang perempuan. Entah kenapa juga saya selalu senang diajak ke pasar yang saat itu identik dengan tempat yang pengap,, becek dan penuh sesak dengan orang-orang yang lalu lalang. Bahkan seringkali ketika ibu tak sedang berniat belanja ke pasar saya kerap mebujuknya untuk pergi ke sana.

Salah satu hal baik yang saya dapati karena suka pergi ke pasar sejak kecil adalah menjadi lebih tahu tentang sayuran dan bumbu masak dibanding kakak dan adik perempuan saya. Hal-hal kecil itu sangat menyenangkan bagi saya. Kesenangan berkunjung ke pasar tradisional akhirnya terus berlanjut sampai sekarang meski sering hanya mampir melihat-lihat suasana dan keramaian di dalamnya

Rasanya senang sekali melihat sayuran segar berwarna hijau berjejer, gundukan tomat berwana merah menyala serta cabe yang menggunung di kotak kayu. Kesenangan saya yang lain ketika berkunjung di pasar sewaktu kecil adalah mengaduk-aduk beras di kios penjual sembako.

[caption id="attachment_357916" align="aligncenter" width="383" caption="Hasil bumi buah-buahan lokal di pasar tradisional."]

1427594346157493670
1427594346157493670
[/caption]

[caption id="attachment_357915" align="aligncenter" width="539" caption="Mengenal aneka jenis empon-empon dan bumbu masak di pasar tradisional."]

1427594229792865300
1427594229792865300
[/caption]

Namun mengunjungi pasar tradisional tentu tak hanya membuat orang tahu aneka jenis sayuran, buah-buahan atau bumbu masak. Ada banyak kesan, warna dan rasa yang bisa ditangkap dan diresapi di pasar tradisional.

Hal yang biasa terjadi di pasar tradisional adalah interaksi apa adanya dan para manusia di dalamnya. Para pedagang akan saling menyapa ketika akan memulai aktivitas di lapak dan kios pasar. Tawar menawar antar pedagang dan pembeli. Lalu antar pembeli yang “bekerja sama” melakukan penawaran harga yang sama dengan tujuan meluluhkan hati sang pedagang. Semua itu adalah interaksi sosial yang terjadi begitu saja di pasar tradisional. Mereka tak selalu saling kenal nama tapi keriaan interaksi mereka adalah hal yang patut dirayakan bersama karena di tempat lain hal itu semakin jarang ditemui.

Tak hanya interaksi saling sapa dan menawar harga, pasar tradisional juga menjadi cagar berharga untuk melestarikan gotong royong dan saling membantu. Tak dipungkiri jual beli adalah kegiatan yang tak lepas dari persaingan dan mencari untung terutama bagi pedagang. Namun di pasar tradisional justru sering kita jumpai kerja sama antar penjual. Jika ada pembeli yang ingin mendapatkan 5 kg daging tapi sang penjual hanya bisa menyediakan 3 kg, maka tak jarang sang penjual bersangkutan akan mengarahkan pembeli untuk mendapatkan 2 kg berikutnya di tempat rekannya berjualan. Bahkan seringkali dijumpai ada seorang penjual yang memberikan sebagia dagangannya kepada penjual lainnya yang memerlukan stok dagangan sejenis. Mereka sama-sama mencari untung tapi tak lupa untuk saling membantu.

Sebaliknya jika di saat ada dua orang pembeli ingin mendapatkan belanjaan yang sama namun salah seorang di antaranya lebih dulu membeli, maka pembeli pertama akan mengalah untuk membagi dan menyisakannya untuk didapatkan pembeli kedua. Itulah yang terjadi di pasar tradisional.

Hal selanjutnya yang membuat saya selalu bergairah berkunjung ke pasar tradisional karena inilah saatnya kembali bertemu dengan makanan-makanan serta jajanan tradisional yang murah dan nikmat. Makanan tradisional memang belum sepenuhnya menghilang. Di sejumlah gerai, rumah makan dan mall beberapa makanan tradisional juga bisa dijumpai. Tapi percayalah kenikmatannya tak akan pernah bisa mengalahkan sajian ala pasar tradisional.

[caption id="attachment_357914" align="aligncenter" width="573" caption="Menanti pembeli di Pasar Kanoman Cirebon."]

14275941211160747924
14275941211160747924
[/caption]

[caption id="attachment_357913" align="aligncenter" width="400" caption="Penjual dan pembeli jajanan tradisional di Pasar Badhog, Jawa Tengah."]

14275940421365576117
14275940421365576117
[/caption]

Di pasar tradisional saya bisa membeli lagi oyek, cenil dan grontol dengan alas bungkus daun pisang dan taburan kelapa yang baru diparut saat ada pembeli. Menikmatinya seketika membangkitkan memori lama sewaktu kecil. Di pasar tradisional juga saya bisa menemukan lagi sayur buntil daun keladi kesukaan dan pecel bunga kecombrang yang tak banyak lagi dijual.

[caption id="attachment_357912" align="aligncenter" width="382" caption="Simbah penjual tempe di Pasar Mandiri, Purbalingga, Jawa Tengah."]

1427593932335891539
1427593932335891539
[/caption]

Lain dari itu, pasar tradisional adalah tempat sederhana untuk meresapi sebuah nilai yang luar biasa yakni kerja keras. Ada banyak para manula yang di usia senjanya masih berjualan di pasar. Mereka memikul wadah-wadah berisi dagangan. Mereka duduk menyebar di sudut pasar. Kulit keriput dan wajah rentanya memang memancarkan rasa lelah, tapi sepanjang itupul mereka tak kenal menyerah. Menanti satu persatu pembeli datang meminati dagangan mereka yang tak seberapa harganya. Melihat mereka ada rasa yang butuh berkali-kali untuk dipikirkan bagi diri sendiri. Sejauh mana kita berkarya dan menyumbang kebaikan?. Sementara para orang tua itu telah lebih dulu berjalan.

[caption id="attachment_357911" align="aligncenter" width="545" caption="Siang yang sibuk dan panas di Pasar Cawas, Klaten, Jawa Tengah."]

14275938161044225043
14275938161044225043
[/caption]

Pasar tradisional lebih dari sekadar bangunan dengan orang-orang yang berjualan dan pembeli yang berdatangan. Di sana berserakan warna dan rasa kehidupan. Warna dan rasa lainnya itu bisa disimak di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun