Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Merawat Hubungan Tetangga Melalui "Rewang" dan "Nyinom"

2 Juni 2013   07:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:39 2334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gotong royong adalah salah satu ciri khas masyarakat Indonesia yang mengutamakan kehidupan selaras dan harmoni antar sesama. Gotong royong atau yang secara gamblang diterjemahkan sebagai kerja sama, bahu membahu melekat kuat sebagai kearifan sosial yang dijumpai dan dimiliki oleh hampir semua suku bangsa yang ada di Indonesia. Di Bali masyarakat merawat nilai gotong royong melalui tradisi subak. Sementara masyarakat Aceh memiliki ritual khanduri yang mencerminkan kolektivitas tinggi dalam berbagi. Masyarakat Dayak pun menunjukkan hal serupa ketika membuka lahan.

Demikian halnya dengan masyarakat Jawa. Gotong royong begitu lekat dengan keseharian masyarakat Jawa terutama mereka yang tinggal di daerah pedesaan dengan pertanian sebagai corak keseharian mereka. Tapi tak hanya lekat dengan masyarakat petani. Gotong royong di Jawa pada dasarnya melekat pada banyak latar belakang masyarakat. Namun harus diakui bahwa gotong royong lebih terawat di masyarakat pedesaan dibanding perkotaaan. Saling sapa memang masih terjadi di masyarakat kota, tapi pada umumnya sistem mereka tak menyediakan ruang dan waktu yang cukup untuk merawat kekerabatan antar tetangga. Sementara di desa masyarakat tak sekedar merawat kekeluargaan tapi menjalankannya dalam bentuk yang paling nyata dan menyentuh hal yang hakiki.

Hari sudah menjelang siang ketika saya tiba di tempat kelahiran orang tua di selatan Klaten, Jawa Tengah. Setelah menempuh 1 jam perjalanan dari kota Jogja, saya sampai di sebuah desa yang setiap kali warganya keluar rumah, hamparan sawah langsung menyambut. Di sini pula matahari terbit dengan mudah dilihat sebagai bola merah yang perlahan beranjak naik menjangkau langit. Lalu saat siang tiba barisan perbukitan Gunung Kidul menjadi latar yang jelas bagi persawahan.

13701337321216284748
13701337321216284748
Jalan di dekat rumah kakek & paman di desa Tanjungan, Klaten, Jawa Tengah

Di desa ini warga akan menyapa ramah siapapun yang ditemuinya di jalan meski tak dikenal sekalipun. Pengendara sepeda motor atau sepeda kumbang tua jika berpapasan pun pasti akan menitipkan salam “monggo”. Di sini saya merasa semua orang mengenal saya meski hampir tak ada satupun dari mereka yang saya tahu namanya. Yang saya tahu mereka adalah para tetangga keluarga kakek dan paman saya yang hari itu akan menggelar syukuran.

Memasuki rumah paman, saya menuju ke dapur dan halaman belakang. Di sana ada banyak wanita beragam usia dari yang muda sampai beberapa orang simbah berpakaian Jawa duduk beralas tikar. Suasananya sangat ramai. Di antara mereka hanya satu atau dua orang yang mengenali sebagai salah satu anggota keluarga besar yang sedang menggelar hajat. Sayapun demikian, hanya sedikit dari mereka yang saya kenal sebagai tetangga dekat keluarga simbah dan paman.

Ada banyak kegiatan di dalam dapur dan halaman belakang rumah. Para tetangga wanita itu membersihkan sayuran, memotong buah, memasak nasi hingga menggoreng peyek kacang. Hari itu mereka melakukan apa yang oleh masyarakat Jawa disebut “Rewang” atau di beberapa daerah lain dikenal juga dengan “Sambatan” yaitu kegiatan membantu tetangga yang sedang memiliki hajat. Kegiatan sukarela ini dikerjakan secara bersama-sama tanpa imbalan.

Sedari pagi mereka sudah berdatangan dan hampir semua makanan untuk upacara syukuran dibuat sendiri dan dikerjakan langsung oleh mereka. Keluarga paman dan kakak-kakak sepupu saya sendiri lebih banyak mempersiapkan  keperluan di halaman depan tempat acara akan dilaksanakan. Sesekali mereka ke belakang untuk menanyakan jika ada bahan-bahan masakan yang kurang atau belum terbeli. Selebihnya acara memasak dan menata hidangan di dapur dikerjakan secara bersama-sama oleh para tetangga.

Sepanjang pula itu saya menatap bentuk persaudaraan yang kuat di antara mereka. Padahal sebagian besar dari mereka tak memiliki ikatan darah dengan keluarga paman. Gelak tawa dan obrolan dalam bahasa Jawa yang sebagian besar masih saya pahami membuat saya ikut tersenyum menyaksikan kehangatan dan semangat gotong royong mereka. Hal yang belakangan sudah sangat jarang saya jumpai di tempat kelahiran saya di mana setiap ada hajatan kegiatan “rewang” memang masih terjadi, namun umumnya hanya anggota keluarga atau kerabat dekat yang melaksanakannya.

Lewat tengah siang semakin banyak orang yang datang dan bergabung di belakang. Rupanya sudah menjadi kebiasaan di antara mereka jika ada tetangga yang menggelar hajatan, dapur atau halaman belakang adalah tempat tujuan mereka. Rumah keluarga Jawa di pedesaan yang umumya berhalaman luas baik di depan maupun belakang akan selalu ramai dengan aktivitas memasak setiap kali ada acara seperti ini.

1370130689322369974
1370130689322369974
13701310531540564580
13701310531540564580

Saat "rewang" para tetangga memasak dan menata makanan secara bersama-sama.

Mendekati sore hari hampir semua masakan sudah selesai dibuat. Beberapa makanan kecil pun sudah siap. Kegiatan selanjutnya adalah menatanya ke dalam ratusan piring dan wadah-wadah kecil. Lagi-lagi kegiatan ini dilakukan oleh para tetangga. Dan ketika para  tamu mulai berdatangan hingga akhirnya syukuran dimulai, giliran belasan remaja dan beberapa pria masuk ke dalam rumah. Jumlahnya yang banyak  dan sebagian di antaranya berseragam batik membuat  saya bertanya-tanya siapa mereka dan apa keperluannya. Rasa takjub saya bertambah saat rombongan pria tersebut mengambil alih pekerjaan para ibu-ibu sebelumnya. Diam-diam saya bertanya kepada salah satu ibu di belakang. Ternyata belasan remaja pria itu banyak di antaranya adalah anak-anak dari para tetangga yang membantu memasak sedari pagi. Mereka sedang “nyinom” alias membantu melayani menyiapkan dan menghantarkan hidangan kepada para tamu.

13701315101551870520
13701315101551870520

1370131750868090379
1370131750868090379

13701320341617999896
13701320341617999896
Belasan pria anak tetangga mempersiapkan makanan untuk mereka hantar kepada para tamu. Kegiatan ini disebut "nyinom"

Bagaikan event organizer yang bekerja dengan sangat rapi, para remaja yang “nyinom”  terlihat cekatan memindahkan dan mengangkat sejumlah piring berisi nasi, sayur dan berbagai makanan kecil dengan menggunakan nampan kayu. Selama hampir satu jam mereka hilir mudik mengantarkan makanan dan membawa kembali piring-piring kosong dengan cara seperti itu. Saya sempat mencoba mengangkatnya dan ternyata itu tidak mudah. Daripada merusak kerapian kerja mereka, saya memilih untuk tetap berada di dalam menyaksikan semua hal menakjubkan dari para tetangga ini. Mereka bergotong royong untuk sebuah hal yang oleh banyak orang saat ini diserahkan kepada jasa catering dan event organizer modern. Hal yang luar biasa dikerjakan para tetangga paman karena mereka membantu dan mengerjakan semuanya dari pagi hingga acara usai malam harinya. Tak ada uang di balik itu semua, mereka yang pulang usai “rewang” hanya membungkus makanan-makanan untuk keluarga mereka di rumah. Sementara para remaja yang “nyinom” sudah cukup senang dipersilakan menikmati hidangan yang sama dengan yang mereka hantarkan sebelumnya kepada para tamu.

13701815931817219188
13701815931817219188

Para tetangga menata makanan ke dalam piring-piring yang akan dihantarkan kepada tamu. Kegiatan "rewang" bisa berlangsung dari pagi hingga malam.

Ada banyak makna dan pelajaran di balik “rewang” dan “nyinom” hari itu. Selain menunjukkan betapa kuatnya ikatan kekeluargaan mereka, para tetangga itu juga menunjukkan bagaimana semestinya gotong royong dirawat sebagai bagian budaya bangsa Indonesia. Dalam kesederhanaan, mereka meninggalkan pekerjaan di sawah dan pasar untuk meluangkan satu hari bersilaturahmi dan berbagi. Tak hanya merawat gotong royong, para tetangga ini pun mengajarkan bentuk toleransi yang paling hakiki dan tak sebatas teori. Banyak di antara tetangga yang membantu hari itu memiliki keyakinan berbeda dengan kami. Hanya belasan meter dari rumah paman juga berdiri sebuah gereja yang tiap minggu ramai jemaat. Tapi bagi mereka berbagi tak pernah mengenal status dan agama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun