Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Endhog Abang" dan Mereka yang Melampaui Masa Merawat Budaya

22 Januari 2014   16:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:34 1409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di bawah terik matahari dengan naungan payung seadanya mereka duduk bersimpuh di tengah lalu lalang manusia yang kebanyakan hanya melewati mereka begitu saja. Beberapa bahkan tanpa naungan. Sepanjang hari mereka menjaga bakul berisikan sesuatu yang tak banyak dikenali “manusia sekarang”. Dan saat mendung tiba disusul gerimis, tubuh-tubuh renta itu mencoba bangkit sekuat tenaga. Buru-buru mengangkat bakul, menggendongnya dan mencari tempat berlindung. Tapi mereka tak pergi dari tempat itu, mereka hanya menepi sejenak untuk kembali dan terus merawat apa yang mereka sebut sebagai tradisi dan budaya.

Dua simbah di halaman Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta. Mereka adalah penjual Endhog abang dan pembeli yang setia merawat tradisi dan budaya di tengah kemeriahan Sekaten.

Ada pemandangan manis yang kental di setiap perayaan Sekaten Yogyakarta termasuk pagelaran tahun ini. Di halaman Masjid Gedhe Kauman yang merupakan masjid agung Yogyakarta sejumlah orang tua yang banyak di antaranya sudah lanjut usia duduk melantai menghadap beberapa bakul dan wadah berisi sejumlah “ubo rampe”. Ada endhog abang, kinang, kacang rebus, pisang rebus hingga pecut mainan.

13903821151521518203
13903821151521518203
Sejumlah penjual Endhog abang dan Kinang mencoba bertahan di tengah keramaian perayaan Sekaten Yogyakarta 2014

Para simbah berpakaian kebaya itu menyebar di beberapa sudut halaman masjid. Namun demikian yang mereka lakukan hampir sama yakni merangkai dan menata sesuatu. Ada yang memasukkan daun sirih, tembakau dan  lainnya ke dalam gulungan daun pisang. Satu persatu gulungan kemudian ditata di tampah anyaman bambu. Sementara yang lain membuat sesuatu yang unik yang baru pertama kali saya lihat. Telur berwarna merah itu mereka tusuk dengan sebilah bambu berukuran kecil. Di antara tusukan itu mereka pasang hiasan dari guntingan kertas seadanya.

“Niki endhog abang, mbiyen cah cilik kan seneng” (ini telur merah, dulu anak kecil suka), simbah itu menjawab rasa ingin tahu saya. Dan selanjutnya dengan agak terbata, sambil terus merangkai tusukan-tusukan telur lainnya, ia sedikit bercerita tentang makna endhog abang.

Endhog abang atau telur merah adalah telur rebus yang kulitnya diberi perwarna merah yang hanya dijumpai saat pagelaran Sekaten. Tradisi endhog abang konon sudah berlangsung ratusan tahun semenjak Sekaten ada dan menjadi tradisi di lingkungan Kraton Yogyakarta. Endhog abang ditusuk dengan sebilah bambu berukuran kecil lalu diberi hiasan seadanya. Semuanya bukan tanpa makna. Endhog abang adalah simbol dari bersatunya manusia dengan penciptanya. Endhog abang adalah gambaran dari manusia yang sejatinya lemah seperti bayi merah yang baru lahir. Agar kuat dan mampu lurus menjalani kehidupan manusia perlu disokong oleh keyakinan yang kuat yakni agama. Sokongan itu dilambangkan dengan tusukan bambu.

Endhog abang adalah bentuk kearifan lokal orang Yogyakarta di masa dahulu untuk mengajarkan kepada anak-anak mereka tentang kepatuhan kepada Tuhan. Seiring dengan berkembangnya tradisi Sekaten yang digelar untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW, Endhog abang pun menjadi bagian dari syiar perayaan Sekaten.

13903824501316081437
13903824501316081437
Seorang simbah sedang merangkai Endhog abang dengan guntingan kertas sederhana

13903825301672832675
13903825301672832675
Di Sekaten selain penjual Endhog abang ada juga para simbah yang menjual pecut mainan perlambang anjuran agar manusia senantiasa bekerja keras

Namun sayang di saat perayaan Sekaten terus bertahan meski dengan beberapa pergeseran, Endhog abang justru semakin tak dipandang. Masyarakat tak banyak lagi yang tahu jika telur merah ini adalah bagian dari tradisi Sekaten yang sesungguhnya. Kemeriahan pasar malam dan kegembiraan masyarakat berbelanja kebutuhan di dalamnya memang menenggelamkan Endhog abang dan beberapa simbol penting Sekaten lainnya.

Di halaman Masjid Gedhe Kauman ada beberapa penjual Endhog abang dan simbol-simbol sekaten lainnya. Hampir semuanya sudah berusia lanjut. Usia senja mungkin menjadi alasan mengapa mereka lebih banyak duduk dan diam sepanjang berjualan. Sementara itu tak terlalu banyak orang yang menghampiri mereka. Setiap kali ada yang membeli usianya tak jauh berbeda.

Simbah penjual Endhog abang melayani pembeli yang juga seorang simbah. Sangat manis, interaksi para simbah itu membuat saya tersenyum diam-diam. Meski pada saat yang hampir bersamaan ada pertanyaan menghampiri termasuk untuk diri sendiri?. Ke mana kita?. Ke mana “manusia sekarang”?. Haruskah para simbah itu yang terus merawat budaya-budaya ini?.

13903826851690326140
13903826851690326140

13903827261749993291
13903827261749993291
Endhog abang itu dijual oleh para simbah, pembelinya pun kebanyakan orang tua dan para simbah lainnya yang mengerti maknanya.

Kenyataannya hampir semua yang membeli Endhog abang adalah para simbah. Sementara tak banyak orang tua yang mengajak anak kecil mereka menghampiri para simbah itu. Oleh karena itu pemandangan para simbah yang berjualan endhog abang dan para simbah lainnya yang membelinya juga menyiratkan fakta menyedihkan. Betapa jauhnya generasi muda dari tradisi dan budayanya sendiri. Memang tak semuanya demikian tapi kenyataannya daya tahan budaya Indonesia selama ini justru ditopang oleh para lanjut usia. Mereka lebih dari sekedar terikat memori masa kecil, para simbah itu sedang menjaga identitas Indonesia dengan merawat kearifan lokal dan budaya mereka.

Para simbah penjual Endhog abang itu seperti melawan zaman. Meski mereka mungkin tak berfikir demikian, tapi di saat yang sama kesetiaan mereka merawat budaya dan kearifan lokal beradu dengan lunturnya kesadaran generasi muda akan kearifan lokal itu.

Sedihnya banyak generasi muda cenderung mudah menghakimi simbol-simbol seperti Endhog abang sebagai sesuatu yang melawan agama. Mereka enggan mengerti bahwa pecut melambangkan anjuran untuk bekerja keras dan kinang 5 rupa menyimpan arti rukun Islam. Sebaliknya banyak “manusia sekarang” menganggap hal-hal kuno tersebut dekat dengan sesajen untuk mengusir makhluk halus. Oleh karena itu kesadaran mengenal budaya dan memahami maknanya perlu dibangun di kalangan generasi muda. Pemerintah dalam hal ini Indonesia travel, pemerhati budaya, masyarakat dan akademiis perlu bekerja sama membangkitkan semangat menghargai tradisi dan kearifan lokal.

Kearifan lokal bukanlah sesuatu yang kuno. Tradisi juga tidak serta merta sebuah pembelokan ajaran agama. Sebagai bagian dari kekayaan bangsa, kearifan lokal adalah identitas yang harus dijaga untuk memperkuat ketahanan budaya. Di dalamnya terkandung filosofi universal ‘hamemayu hayuning bawana’ yangmengajarkanmanusia untuk selalumengutamakanharmoni,keselarasan,keserasiandan keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam, manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan.

Perayaan Sekaten sudah berakhir. Halaman Masjid Agung dan Alun-alun Utara Kraton Yogyakarta pun kembali seperti sedia kala. Selanjutnya pemandangan-pemandangan yang sama akan kembali tersaji akhir tahun nanti. Kita lihat akankah para simbah itu yang akan kembali duduk di pelataran masjid?. Akankah mereka lagi yang menawarkan endhog abang dan kita yang lagi-lagi tak mengenali maknanya?.

Kita mungkin boleh bangga menyebut diri sebagai pewaris masa depan negara. Tapi jangan tanyakan sejauh mana para simbah itu sudah menjaga Indonesia. Mereka bahkan sudah lebih dulu ke ujung masa merawat budaya di saat kita yang lebih muda berjalan meninggalkan semuanya.

1390382221295295144
1390382221295295144
"Endhog abang" adalah simbol tradisi Sekaten sekaligus bagian dari kearifan lokal masyarakat Yogyakarta untuk mengingatkan bahwa manusia memerlukan Tuhan sebagai penuntun dan penopang kehidupan. Dan para simbah itu telah melampaui masa untuk merawatnya.

Dalam diam para simbah yang bertahan puluhan tahun menjual Endhog abang itu sedang menjaga identitas budayanya. Dalam diam mereka terus duduk tak beranjak menyindir “manusia sekarang” yang berjalan meninggalkan budayanya. Dalam diam para simbah itu secara luar biasa melampaui masa demi merawat budaya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun