Sore semakin tua, lampu peron dan ruang tunggu stasiun menyala bersamaan dengan pengumuman dari pengeras suara agar calon penumpang kereta senja Bengawan segera mempersiapkan diri. Tanpa menunggu lama para penumpang bangkit dari duduknya menuju jalur dua. Sebentar kemudian suara gemuruh terdengar dari timur dan dua sorot lampu terlihat di kejauhan. Semakin dekat dan akhirnya lokomotif itu memasuki stasiun Lempuyangan Yogyakarta.
Pedagang asongan menjajakan jualannya di dalam gerbong kereta Bengawan yang tengah berhenti di stasiun pada 28 Maret 2014.
Ada perbedaan yang terasa saat pertama kali naik kereta pada tahun 2012 dengan kesempatan-kesempatan berikutnya. Layanan kereta api memang bertambah baik, terutama pada kebersihan, ketertiban dan fasilitas gerbong. Misalnya, kini di gerbong termurah pun yakni ekonomi tersedia dua kontak listrik di setiap dua pasang bangku. Pendingin udara di setiap gerbong juga lumayan membuat nyaman, berbeda pada tahun 2012 saat saya merasakan putaran kipas angin tak cukup mengusir gerah berkepanjangan. Toiletnya pun kini lebih manusiawi, setidaknya secara berkala ada petugas yang membersihkan dan memberikan pengharum selama kereta berjalan.
Namun dari banyak perubahan layanan di atas gerbong kereta, satu hal yang patut dicermati adalah keberadaan pedagang asongan. PT. KAI melalui beberapa daerah operasi dan stasiun-stasiun di wilayah operasionalnya masing-masing menerapkan kebijakan yang cukup revolusioner tentang pedagang asongan di dalam stasiun termasuk di dalam peron, ruang tunggu dan gerbong kereta. Tentu saja kebijakan ini berujung pada penolakan. Beberapa bulan di awal penerapan kebijakan ini demonstrasi dan protes para pedagang asongan terjadi di banyak stasiun. Namun PT. KAI kukuh pada keputusannya untuk merapikan dan menertibkan stasiun termasuk untuk meningkatkan kenyamanan penumpang selama perjalanan.
Di luar penolakan para pedagang asongan, kebijakan ini juga mengangetkan banyak penumpang pada awalnya. Ada yang setuju, ada yang keberatan, tapi ada juga yang menganggap ada tidaknya pedagang asongan di atas gerbong tidak berpengaruh kepada kenyamanan perjalanannya.
Lalu apakah kereta api kini telah benar-benar bebas dari pedagang asongan?. Semua foto dalam tulisan ini adalah suasana gerbong kereta api senja Bengawan yang saya tumpangi dari Yogyakarta pada Jumat, 28 Maret 2014 yang lalu. Kereta Bengawan adalah satu dari beberapa kereta lintas selatan yang melayani relasi Solo-Jakarta PP. Pedagang asongan tetap bisa masuk ke dalam stasiun dan menaiki gerbong. Sebelumya pada akhir tahun 2013 saya beberapa kali menumpang kereta api bisnis Senja Utama dan kereta ekonomi Bogowonto. Kondisinya tak jauh berbeda, pedagang asongan tetap bisa dijumpai di dalam gerbong meski tidak terlalu banyak.
Jadi seperti apa sebenarnya penerapan kebijakan penertiban pedagang asongan di lingkungan stasiun dan di dalam gerbong ini diterapkan?. Setiap Daerah Operasi (Daop) dan stasiun sepertinya menerapkan kebijakan pedagang asongan dengan ketentuan yang berbeda-beda. Boleh jadi ada beberapa stasiun yang tegas mengusir pedagang asongan, sementara Daop atau stasiun lain mengambil kompromi dengan tetap memperbolehkan pedagang asongan naik ke dalam kereta dengan beberapa ketentuan. Hasilnya hingga kini kereta api sebenarnya tak benar-benar bebas dari pedagang asongan.
Di stasiun Lempunyangan Yogyakarta misalnya, pedagang asongan bisa masuk ke dalam ruang tunggu dan naik ke dalam gerbong ketika kereta berhenti. Para pedagang itu mengenakan seragam dengan warna hitam dan merah. Yang mereka jajakan sama dengan pedagang asongan kereta era sebelumnya, mulai dari minuman dingin, minuman panas, bakpia, mie siap saji hingga nasi bungkus. Para pedangan itu menyisir setiap gerbong menghampiri penumpang yang mungkin berniat membeli. Mereka menyudahi aktivitas berjualan ketika kereta hendak berangkat.
Ada yang menarik dari keberadaan pedagang asongan di stasiun Lempuyangan. Melihat mereka bisa memasuki ruang tunggu penumpang hingga gerbong dengan mengenakan seragam mungkin saja para pedagang itu telah berstatus "resmi". Seragam yang mereka kenakan menjadi semacam boarding pass untuk berjualan. Mungkinkah mereka dipungut uang izin untuk tetap bisa berjualan di atas gerbong meski hanya selama kereta berhenti?. Jika benar,apakah ini berarti para pedagang asongan di stasiun Lempuyangan telah dikapitalisasi oleh pihak stasiun atau yang lainnya?. Saya tak tahu pasti jawabanya, tapi kapitalisasi memang tidak selalu jelek.
Untuk beberapa kepentingan kapitalisasi bisa saja dibolehkan. Kapitalisasi pedagang asongan di stasiun mungkin salah satu bentuk kompromi atau jalan tengah agar para pedagang asongan tidak kehilangan sumber penghidupannya. Sebagai konsekuensinya mereka harus mau diatur dan berkoordinasi dengan pihak stasiun dengan beberapa kesepakatan misalnya hanya menjajakan di dalam gerbong saat kereta berhenti atau hanya boleh berjualan dari luar pintu gerbong.
Meninggalkan Stasiun Lempuyangan kereta kemudian berhenti di beberapa stasiun. Pemandangan yang sama pun kembali terjadi, para pedagang asongan kembali masuk menjajakan aneka makanan, minuman dan oleh-oleh khas daerah di mana stasiun itu berada. Kali ini para pedagang asongan itu tak mengenakan seragam. Meski jumlahnya tak banyak, tapi mereka juga tetap bisa menyisir gerbong.
Malam itu, ibu ini mendapatkan rezekinya saat 6 bungkus jualannya dibeli oleh seorang penumpang kereta Bengawan.
Namun di beberapa stasiun dengan daerah operasi berbeda pedagang asongan benar-benar tak dijumpai baik di dalam perong, ruang tunggu maupun di dalam gerbong. Stasiun Purwokerto adalah salah satu stasiun yang bebas dari pedagang asongan di dalam ruang tunggu dan gerbong. Di stasiun Purwokerto pedagang asongan hanya boleh berjualan di bagian luar stasiun seperti tempat parkir dan di sekitar loket tiket.
Hal ini menunjukkan bahwa ternyata setiap stasiun dan daerah operasi kereta api menerapkan kebijakan pedagang asongan dengan kelonggaran yang berbeda. Apakah hal tersebut berdampak baik?. Pedagang asongan di dalam kereta mungkin memang menganggu bagi sebagian penumpang, namun banyak juga penumpang yang menunggu-nunggu kehadiran mereka. Makanan dan minuman yang mereka jajakan adalah teman perjalanan yang nikmat. Meski para pedagang asongan sering menjual makanan dan minuman dengan harga di atas standar, namun jajanan mereka masih lebih murah dibanding harga jajanan yang sama yang disediakan oleh petugas kereta.
Nasi bungkus dari pedagang asongan adalah teman perjalanan yang nikmat bagi sebagian penumpang kereta.
Ketiadaan pedagang asongan membuat PT. KAI “memonopoli” pasar di atas gerbong. Hal ini tidak menjadi persoalan andaikan makanan dan minuman yang disediakan oleh petugas KAI di dalam gerbong dijual dengan harga yang tidak terlalu mahal. Bayangkan sepiring nasi goreng ala PT. KAI dengan porsi kecil dijual dengan harga Rp. 23.000-25.000. Begitupun dengan teh panas dalam gelas plastik seukuran cangkir dijual Rp. 5.000.
Sebaliknya, memperbolehkan para pedagang asongan dengan ketentuan yang tidak transparan membuat “kapitalisasi” pedagang asongan berpotensi menjadi lahan pungutan liar atau korupsi. Hal ini bisa terjadi jika para pedagang asongan di beberapa stasiun harus membayar sejumlah uang izin untuk bisa berjualan di dalam gerbong atau peron.
Para pedagang asongan itu sama dengan para banyak penumpang kereta, sama juga dengan para petugas yang menyertai perjalanan kereta. Mereka semua adalah orang-orang yang menjadikan gerbong kereta sebagai sumber penghidupan. Mereka berjualan di malam hari dengan harapan mendapatkan rupiah untuk uang saku sekolah anak di pagi hari dan makan di siang harinya. Oleh karena itu kebijakan pedagang asongan ala PT. KAI sebaiknya dipertegas batasannyakecuali jika setiap daerah operasi dan stasiun bebas membuat aturan sendiri-sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H