Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Di Bawah Langit Cirebon: Berjalan Kaki Melihat Wajah Kota Udang

3 April 2014   15:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:08 6422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari sudah gelap ketika kaki saya menginjak tanah Cirebon untuk pertama kalinya pada 28 Maret 2014 yang lalu. Lama tak mengisi liburan dengan berwisata mengunjungi tempat-tempat yang jauh, akhirnya saya kembali merasakan sensasi mengenal kota-kota di luar daerah. Memanfaatkan libur panjang akhir pekan Hari Raya Nyepi, saya mengunjungi kota Cirebon selama 2 hari. Menumpang kereta api ekonomi senja Bengawan, saya berangkat dari stasiun Lempunyangan Yogyakarta pada 28 Maretpukul 16.30 WIB. Enam jam kemudian keretapun tiba di tujuan. Inilah pengalaman saya pertama kali menjejak tanah Cirebon untuk melihat wajah kotanya.

[caption id="attachment_301597" align="aligncenter" width="616" caption="Kota Cirebon"][/caption]

Selain beberapa penumpang yang turun bersama saya dan sedikit orang yang sedang duduk di peron menunggu kereta malam, suasana stasiun Cirebon Prujakan sudah cukup sepi. Sambil berjalan meninggalkan kereta saya bertanya ke seorang petugas keamanan stasiun tentang alat transportasi yang bisa saya gunakan untuk menuju penginapan yang berjarak 1,5 km dari stasiun Prujakan. Dengan jarak hanya 1,5 km sebenarnya kaki saya sudah biasa melangkah, tapi berhubung malam sudah menginjak pukul 21.30 WIB dan gerimis sempat turun, sayapun belum mengenal Cirebon, niat untuk berjalan kaki menuju penginapan saya lupakan.

Melewati pintu keluar stasiun puluhan orang menyambut menawarkan jasa tumpangan. Kebanyakan adalah tukang becak dan tukang ojek. Ada juga beberapa angkot yang menunggu dan hanya satu taksi yang saya lihat malam itu. Mengikuti saran petugas keamanan kereta, sayapun memilih becak untuk mengantar ke penginapan.

[caption id="attachment_301632" align="aligncenter" width="494" caption="Suasana malam Kota Cirebon dari atas becak menuju penginapan"]

1396487672619148387
1396487672619148387
[/caption]

Dengan ongkos Rp. 15.000, itupun setelah tawar-menawar, saya tiba di penginapan di pusat kota Cirebon yang sudah saya pesan sehari sebelum berangkat. Penginapan di Jalan Siliwangi itu cukup ternama karena sangat dekat dengan stasiun Cirebon Kejaksan dan Balaikota Cirebon. Saya menginap di kamar paling murah yakni kelas standar dengan tarif diskon 10% belum termasuk pajak. Sesampainya di kamar, tidur menjadi pilihan untuk memulihkan tenaga karena esok pagilah rencana jelajah kota Cirebon saya mulai.

Sabtu pagi, 29 Maret 2014, setelah meneguk segelas teh panas dan sepotong roti tawar yang disiapkan petugas penginapan, saya mulai menjelajah kota Cirebon. Dengan bantuan Nokia map saya memilih berjalan kaki untuk menatap wajah kota Cirebon. Beruntung penginapan saya berada di jantung kota sehingga mudah untuk dijadikan patokan meski saya tetap merasa perlu bertanya dan meminta saran dari petugas resepsionis sebelum memulai perjalanan.

Ada 2 versi yang menjelaskan asal-usul kata Cirebon. Pertama Cirebon berasal dari istilah Caruban yang artinya percampuran karena penduduk di Cirebon merupakan percampuran berbagai suku bangsa, agama, adat dan mata pencaharian. Versi kedua berpendapat Cirebon berasal dari kata Cai-Rebon yang berarti kurang lebih air rebon, rebon sendiri adalah udang kecil. Itulah sebabnya Cirebon sering disebut sebagai kota udang.

[caption id="attachment_301598" align="aligncenter" width="560" caption="Wajah Jalan Siliwangi di jantung kota Cirebon"]

13964827881472142861
13964827881472142861
[/caption]

Kota Cirebon dibelah oleh beberapa ruas jalan utama seperti Jalan Siliwangi, Jalan Karanggetas dan Jalan Kartini. Dari ketiga jalan utama tersebut Kota Cirebon bisa dengan mudah disusuri. Kaki saya pun mulai melangkah menapaki Jalan Siliwangi untuk selanjutnya menuju lokasi-lokasi lain yang menjadi landmark Cirebon.

Keringat pekat begitu lengket di kulit padahal saya baru melangkah belasan meter meninggalkan penginapan. Jam juga baru menunjuk pukul 8 lewat. Saat itulah saya ingat lagi bahwa saya sedang berada di kota pelabuhan pantai utara Jawa. Meski di Jogja juga sudah terbiasa dengan panas, tapi di Cirebon panas pesisir terasa berbeda. Apalagi di sepanjang Jalan Siliwangi tak banyak pohon teduh.

[caption id="attachment_301599" align="aligncenter" width="583" caption="Balaikota Cirebon di Jalan Siliwangi"]

13964829032036554347
13964829032036554347
[/caption]

[caption id="attachment_301600" align="aligncenter" width="567" caption="Stasiun Kejaksan Cirebon di Jalan Siliwangi. Stasiun Kejaksan adalah tempat pemberhentian dan pemberangkatan kereta bisnis dan eksekutif"]

13964830091597158863
13964830091597158863
[/caption]

Jalan Siliwangi adalah jantung kota Cirebon. Di sini balaikota dan kantor DPRD serta beberapa perkantoran termasuk sejumlah bank berdiri. Stasiun Kejaksan yang merupakan stasiun kereta api utama di Cirebon juga berada di Jalan Siliwangi. Selain itu ada banyak hotel dan penginapan dari kelas Melati sampai bintang 3 di ruas jalan ini. Padahal menurut pengamatan saya dan cerita beberapa orang yang saya temui kunjungan wisatawan di Cirebon tidak setinggi kota wisata lainnya. Banyak wisatawan di Cirebon hanya transit atau menjadikan Cirebon sebagai destinasi antara sebelum menuju obyek wisata di Jawa Tengah dan DIY. Oleh karena itu meski ada banyak hotel dan penginapan, tingkat okupansinya tidak terlalu tinggi. Itu sebabnya sejumlah penginapan sering memberikan diskon untuk bersaing menarik wisatawan.

[caption id="attachment_301601" align="aligncenter" width="560" caption="Meski tidak terlalu lebar, trotoar di Jalan Siliwangi masih cukup luang bagi pejalan kaki"]

13964831831995624791
13964831831995624791
[/caption]

Meski menjadi jantung kota, trotoar di Jalan Siliwangi masih lumayan leluasa ditapaki pejalan kaki. Tidak banyak pedagang kaki lima yang mengambil alih trotoar. Bicara tentang pedagang kaki lima di Cirebon, satu yang menarik perhatian saya adalah hampir semua pedagang kaki lima di kota Cirebon menjual teh botol dengan satu merek yang sama. Jika kita membeli es teh di kaki lima kita tidak akan mendapatkan teh yang diseduh khusus, melainkan teh botol yang dituangkan ke dalam plastik.

Hanya saja trotoar di Jalan Siliwangi tidak terlalu lebar dan dibeberapa bagian menyempit karena keberadaan pot-pot tanaman berukuran besar. Pot-pot itu mungkin bertujuan untuk menghalau sepeda motor atau kaki lima yang hendak naik ke trotoar, tapi ukurannya juga terlalu menyita ruang untuk pejalan kaki.

[caption id="attachment_301610" align="aligncenter" width="584" caption="Kampanye damai sejumlah massa simpatisan PDIP berjalan kaki melewati Jalan Siliwangi"]

13964843171439522773
13964843171439522773
[/caption]

Di sepanjang Jalan Siliwangi kita bisa menjumpai beberapa bangunan yang halaman depannya memiliki gapura khas Cirebonan yakni sepasang gapura terbuat dari susunan batu bata merah. Bentuk ini mungkin meniru gapura di Kraton Kasepuhan Cirebon.

[caption id="attachment_301603" align="aligncenter" width="553" caption="Alun-alun Kejaksan Kota Cirebon"]

13964835331984980504
13964835331984980504
[/caption]

[caption id="attachment_301604" align="aligncenter" width="567" caption="Bunderan Kejaksan Cirebon dengan tugu tanda kota"]

1396483610261672925
1396483610261672925
[/caption]

Setengah kilometer berjalan saya tiba di Alun-alun Kota Cirebon atau yang dikenal dengan Alun-alun Kejaksan. Di sudut alun-alun ini juga terdapat bunderan Kejaksan dengan tugu tanda kota. Alun-alun Kejaksan berupa lapangan rumput dengan tanah yang tidak rata dikelilingi pagar tinggi bercat putih. Pintu masuk ke dalam alun-alun ditandai dengan gapura atau gerbang yang menghadap ke jalan Siliwangi. Tidak ada yang istimewa dengan Alun-alun Kejaksan. Selain kurang rapi, bau pesing juga tercium saat saya mengelilingi alun-alun.

[caption id="attachment_301602" align="aligncenter" width="535" caption="Masjid At Taqwa Kota Cirebon di sisi Alun-alun Kejaksan. Bentuk masjid ini mirip dengan Masjid Kampus UGM di Yogyakarta."]

1396483405418435281
1396483405418435281
[/caption]

Jika ada yang menarik dari Alun-alun Kejaksan adalah keberadaan Masjid Agung At-Taqwa yang bersisian dengan alun-alun. Masjid At-Taqwa berukuran cukup besar dengan warna coklat dan emas dominan menghias dindingnya. Sayap kiri masjid bersambungan dengan Islamic Center yang tampak seperti aula atau convention hall. Yang menarik dari Masjid At-Taqwa adalah bentuk bagian depannya sangat mirip dengan Masjid Kampus UGM. Bahkan bentuk jalan dan taman di depannya juga serupa dengan masjid kebanggaan UGM.

[caption id="attachment_301605" align="aligncenter" width="567" caption="Suasana lalu lintas di kawasan pusat belanja dan pertokoan kota Cirebon"]

13964837491090451377
13964837491090451377
[/caption]

[caption id="attachment_301606" align="aligncenter" width="567" caption="Pusat Grosir Cirebon"]

139648387952145165
139648387952145165
[/caption]

Meninggalkan Alun-alun Kejaksan dan Masjid Agung, saya kembali berjalan kaki. Setelah menyeberang bunderan Kejaksan, sepenggal ruas Jalan Siliwangi masih tersisa sekitar 500 meter lagi. Ternyata wajah kota di sepenggal Jalan Siliwangi setelah bunderan Kejaksan ini cukup kontras dengan wajah separuh Jalan Siliwangi sebelumnya. Kali ini saya mendapati wajah kota Cirebon dengan banyak departemen store, pertokoan bertingkat dan pusat grosir. Deretan reklame dan baliho menghiasi langit Cirebon di tempat ini. Trotoarnya pun sudah disesaki kaki lima dan parkir kendaraan. Saya bahkan beberapa kali harus berjalan di bahu jalan bersama-sama dengan kendaraan yang melaju. Lalu lintas di sini cukup ramai dengan banyak angkutan kota berwarna biru lalu lalang di jalanan.

[caption id="attachment_301611" align="aligncenter" width="482" caption="Toko oleh-oleh khas Cirebon"]

139648451683411780
139648451683411780
[/caption]

Menuntaskan Jalan Siliwangi, saya berhenti sejenak dengan bersandar di atas jembatan yang memisahkan Jalan Siliwangi dan Jalan Karanggetas. Setelah berbincang singkat dan menanyakan beberapa hal tentang Cirebon ke seorang warga, saya pun melanjutkan melangkah dengan panas yang makin terasa menyengat.

[caption id="attachment_301609" align="aligncenter" width="616" caption="Wajah Jalan Karanggetas Kota Cirebon"]

13964841707211054
13964841707211054
[/caption]

Kali ini saya tiba Jalan Karanggetas. Menyusuri jalan ini saya kembali mendapati wajah kota Cirebon yang unik dan berbeda dengan yang baru saja saya saksikan di Jalan Siliwangi. Saya dibuat bertanya-tanya melihat banyaknya bangunan tinggi yang rata-rata berlantai dua dan terkesan sudah cukup berumur berbaris di sepanjang kanan dan kiri jalan. Apakah ini bagian dari kawasan kota tua Cirebon?.

[caption id="attachment_301613" align="aligncenter" width="567" caption="Suasana lalu lintas di Jalan Karanggetas Kota Cirebon"]

13964848911015484365
13964848911015484365
[/caption]

[caption id="attachment_301614" align="aligncenter" width="561" caption="Jalan Karanggetas adalah kompleks pertokoan dengan bangunan tua"]

13964850901738622330
13964850901738622330
[/caption]

Yang paling menarik adalah banyak sekali toko emas dan perhiasan di Jalan Karanggeras. Bahkan di sepanjang trotoar kita bisa menemukan puluhan orang dengan kotak kayu dan kaca berukuran sedang bertuliskan “menerima jual emas”. Ini pertama kalinya saya menemukan begitu banyak toko emas dan penjual emas di sebuah ruas jalan. Apakah masyarakat Cirebon sangat gemar berinvestasi perhiasan emas?.

[caption id="attachment_301615" align="aligncenter" width="560" caption="Toko emas banyak dijumpai di sepanjang Jalan Karanggetas"]

1396485226604316036
1396485226604316036
[/caption]

[caption id="attachment_301616" align="aligncenter" width="555" caption="Selain toko emas, di sepanjang trotoar Jalan Karanggetas juga berjejer puluhan orang yang menyediakan jasa jual beli emas"]

13964853461019906026
13964853461019906026
[/caption]

Di Jalan Karanggetas kita juga bisa menjumpai banyak persimpangan jalan yang ramai. Beberapa kali dijumpai sejumlah angkutan kota, sepeda motor dan becak “bertemu” berebut jalan di persimpangan.

Meninggalkan Jalan Karanggetas saya memasuki Jalan Pasuketan. Di sini saya langsung disambut pemandangan banyak pedagang di sepanjang jalan yang menjual aneka kelopak bunga, pakaian hingga makanan. Uniknya ada banyak penjual Soto Madura di tempat ini. Entah bagaimana awal ceritanya dahulu sehingga banyak Soto Madura dijumpai di Cirebon. Mungkin saja hubungan dagang antara Madura dan Cirebon sudah berlangsung sangat lama.

Menghabiskan Jalan Pasuketan saya terus berjalan ke selatan hingga sampai di Jalan Pulasaren. Kondisi Jalan Pulasaren lumayan teduh karena banyak pohon besar di pinggir jalan. Di Jalan Pulasaren saya menjumpai sebuah gereja besar bercat putih dan merah muda.

[caption id="attachment_301612" align="aligncenter" width="374" caption="Gereja di Jalan Pulasaren"]

13964847921226487144
13964847921226487144
[/caption]

[caption id="attachment_301618" align="aligncenter" width="550" caption="Pedagang HP bekas di sepanjang Jalan Pulasaren"]

13964858531255728541
13964858531255728541
[/caption]

Ada yang sangat menarik di sepanjang Jalan Pulasaren yakni para penjual yang menjajakan handphone bekas dengan menggelarnya begitu saja di pinggir jalan. Setiap kali melihat para penjual tersebut, setiap itu pula saya melihat banyak calon pembeli. Rupanya jual beli handphone bekas ala kaki lima seperti ini cukup diminati di Cirebon. Sebaliknya saya tak banyak menemukan toko handphone di sepanjang jalan yang sudah saya lalui. Padahal di kota-kota lain toko handphone dan tempat pengisian pulsa baik yang berukuran sedang maupun besar banyak dijumpai. Sementara di Cirebon penjual handphone bekas ala kaki lima justru banyak berbaris di pinggir jalan.

Setelah beristirahat sebentar saya melanjutkan berjalan berbalik arah kembali menuju Jalan Pasuketan dan Karanggegetas. Saat itu sudah 2,5 jam saya berjalan kaki. Tiba di persimpangan Panin Bank, saya bertanya ke seorang warga tentang tujuan saya berikutnya. Ternyata kali ini saya harus menumpang angkutan umum dan saya beruntung berada di tempat yang tepat karena angkutan umum itu akan melewati simpang Panin Bank.

[caption id="attachment_301619" align="aligncenter" width="505" caption="Simpang Panin Bank"]

13964859911190967736
13964859911190967736
[/caption]

Tak menunggu lama angkutan umum berwana biru dengan kode GP muncul di hadapan. Masuk ke dalamnya saya pun meluruskan kaki sejenak sambil menikmati perjalanan. Kali ini saya menuju Batik Trusmi.

[caption id="attachment_301620" align="aligncenter" width="567" caption="Di dalam angkot menuju batik Trusmi melewati Jalan Raya Cirebon-Bandung"]

1396486054922999074
1396486054922999074
[/caption]

Sekitar setengah jam perjalanan di dalam angkutan saya melewati Jalan Raya Cirebon Bandung dan Tuparev. Rupanya kedua jalan tersebut adalah akses utama menuju Bandung dan keluar kota Cirebon. Pantas saja selain ruas jalannya yang lebar, lalu lintas juga cukup ramai dengan banyak bis, truk dan mobil pribadi lalu lalang. Sementara itu becak dan sejumlah pengguna sepeda tampak hati-hati melintasi jalanan ini.

[caption id="attachment_301621" align="aligncenter" width="510" caption="Pengguna sepeda di tengah ramainya lalu lintas Jalan Cirebon-Bandung"]

13964861491352956031
13964861491352956031
[/caption]

[caption id="attachment_301623" align="aligncenter" width="510" caption="Gerobak penjual Empal Gentong di jalan Cirebon-Bandung"]

1396486477711739563
1396486477711739563
[/caption]

Dari dalam angkutan umum saya mengamati kondisi Jalan Raya Cirebon Bandung. Di sepanjang jalan ada banyak toko grosir sandal serta sepatu. Beberapa penjual empal gentong ala kaki lima dan gerobak dijumpai di pinggir jalan selain toko oleh-oleh makanan kecil.

[caption id="attachment_301624" align="aligncenter" width="560" caption="Perempatan Plered menuju sentra Batik Trusmi Cirebon"]

13964867251112016258
13964867251112016258
[/caption]

Di perempatan Plered angkutan umum yang saya tumpangi berhenti. Ternyata untuk ke Batik Trusmi saya harus menaiki becak atau berjalan kaki sejauh 600 meter ke utara. Turun di perempatan Plered suasana lalu lintas sangat ramai. Sebuah tiang tinggi berwarna emas dengan plang besar berwarna merah bertuliskan “Selamat Datang di Batik Trusmi” berdiri tegak di tengah jalan. Di samping kanan dan kirinya terdapat deretan toko dan ruko berlantai dua dengan wajah yang sudah cukup berumur. Sementara beberapa penjual pakaian menggelar dagangannya di trotoar dengan payung dan terpal seadaanya.

[caption id="attachment_301625" align="aligncenter" width="560" caption="Selamat Datang di Trusmi"]

1396486947665460617
1396486947665460617
[/caption]

Karena hari semakin terik saya memilih menunda sesaat untuk mengunjungi Batik Trusmi. Setelah bertanya ke seseorang warga saya berjalan setengah kilometer ke selatan menuju Masjid Raya Plered di dekat RRI Cirebon. Setelah membasuh muka saya menunggu waktu shalat dzuhur sambil beristirahat.

[caption id="attachment_301629" align="aligncenter" width="501" caption="Jalan menuju Trusmi dipenuhi bendera dan spanduk kampanye sebuah partai politik"]

13964871911271265845
13964871911271265845
[/caption]

Pukul 12.30 seusai shalat berjamaah saya akhirnya menuju Batik Trusmi. Setelah berjalan kaki 1 km saya pun tiba di kawasan Trusmi. Di sepanjang jalan berjajar beberapa toko batik. Bahkan sebuah toko yang baru dibuka, ditandai dengan banyaknya karangan bunga ucapan selamat, bentuknya bisa dibandingkan dengan Mirota Batik di Yogyakarta. Namun gerai penjual batik di Trusmi yang tersohor hanya ada satu yakni Pusat Grosir Trusmi. Reklame besar di depan toko berdinding kaca menjadi tanda keberadaan pusat grosir tersebut.

[caption id="attachment_301630" align="aligncenter" width="578" caption="Pusat Grosir Batik Trusmi Cirebon"]

13964873211531285175
13964873211531285175
[/caption]

Di dalam Pusat Grosir Batik Trusmi saya mendapati hampir semua kemeja batik dan kain batik dijual dengan potongan harga. Bahkan ada sejumlah jenis kemeja dan kain yang dijual Rp. 100.000 per 3 potong. Batik yang dijual di Trusmi kebanyakan memang batik dengan motif Cirebonan yakni mega mendung atau pewayangan dengan warna dasar yang sangat “ngejreng” seperti hijau muda, merah muda, merah dan biru. Motifnya pun cukup besar sehingga sangat mencolok. Tapi batik dengan motif Jogja dan Solo dengan warna dasar coklat atau keemasan jugadijual di Trusmi.

Namun sayang setengah jam di Trusmi saya tak menemukan kemeja batik yang cocok dengan selera yakni batik dengan warna dasar gelap dan motif yang tidak terlalu besar.

Akhirnya pukul 14.00 saya meninggalkan Batik Trusmi dan kembali berjalan kaki menuju Perempatan Plered untuk menunggu angkutan kota menuju pusat kota Cirebon. Turun di Alun-alun Kejaksan, saya berjalan pulang menuju penginapan.

Hari itu saya sudah melihat wajah kota udang, merasakan sensasi berjalan kaki di bawah langit Cirebon. Satu kesan membekas di ingatan adalah kota Cirebon lumayan cantik sebagai alternatif destinasi wisata dan menarik untuk dijelajahi dengan berjalan kaki.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun