Semua orang yang suka memotret pasti pernah melakukan candid atau mengambil gambar, biasanya orang, secara “diam-diam”. Memotret candid, meski sering dilakukan diam-diam, bukan berarti harus dilakukan dengan “bersembunyi” atau menggunakan lensa tele. Dari jarak yang dekat, tanpa sembunyi candid pun bisa dilakukan. Yang penting sebisa mungkin menghindari kontak mata dan tanpa pemberitahuan.
Sebagai variasi untuk mendapatkan gambar, candid disukai karena sering menghasilkan foto dengan cerita yang kuat, menarik serta obyek dengan ekspresi yang natural. Terkesan mudah karena dilakukan tanpa arahan dan acak, memotret candid sebenarnya memerlukan kepekaan membaca cerita serta kejelian mengidentifikasi serta mengisolasi obyek. Namun karena memotret adalah sebuah seni dan hasil ekspresi yang subyektif, kesempurnaan trik tidaklah menjadi soal. Yang penting bagaimana melakukan candid yang asyik untuk menghasilkan foto yang setidaknya bagus untuk diri kita sendiri.
[caption id="attachment_306478" align="aligncenter" width="540" caption="pagi di dalam gerbong kereta"]
Saya mungkin bukan orang yang tepat untuk bicara mengenai etika memotret, candid beserta seni dan cara melakukannya. Tapi inilah beberapa hal yang sering saya lakukan dan menjadi batasan saat memotret candid.
Candid di Tempat Wisata atau Ruang Publik
Candid bisa dilakukan di mana saja seperti umumnya orang memotret, baik di dalam maupun di luar ruang. Di jalanan, taman, kendaraan umum dan sebagainya akan selalu ada obyek yang menarik untuk “dicuri” gambarnya. Tapi mengambil gambar di ruang publik yang ramai seperti tempat wisata selalu lebih leluasa. Kita tak akan dihantui banyak perasaan sungkan untuk memotret secara diam-diam. Kita bisa lebih “tenang” karena tak ada banyak pertanyaan dan pandangan aneh tertuju kearah kita selama memotret di tempat-tempat wisata.
[caption id="attachment_306480" align="aligncenter" width="304" caption="beda fokus"]
[caption id="attachment_306481" align="aligncenter" width="534" caption="pak tua dan kamera ponselnya"]
[caption id="attachment_306491" align="aligncenter" width="304" caption="sore itu di Malioboro: gadis berkerudung biru"]
Acara-acara perayaan seperti karnaval dan konser juga menjadi lingkungan yang ideal untuk memotret candid. Selain terselip banyak obyek menarik yang bisa di-candid, suasana karnaval dan konser juga menciptakan “pemakluman” untuk aktivitas memotret. Orang-orang di acara karnaval atau perayaan umumnya tak akan banyak bertanya ketika dirinya dipotret. Bahkan para penontonnya pun cenderung biasa saja sekalipun menyadari dirinya telah menjadi obyek foto diam-diam,
Oleh karena itu jika ingin mencoba candid, datanglah ke tempat wisata yang ramai, karnaval atau perayaan. Di sana candid bisa menjadi sangat mengasyikkan.
Bergaya ala Wisatawan
Saya seringkali “menyamar” menjadi wisatawan jika mengunjungi sebuah tempat di mana sejak awal saya berniat mengambil beberapa gambar termasuk candid. Bahkan untuk sekedar duduk-duduk sebentar di Malioboro, berjalan di trotoar atau tempat-tempat di mana saya sebenarnya tidak berstatus sebagai wisatawan, melainkan warga lokal, saya sering melakukannya, yakni berpakaian santai dan berperilaku ala wisatawan yang baru pertama kali mengunjungi tempat tersebut.
[caption id="attachment_306482" align="aligncenter" width="529" caption="tidur siang"]
Dengan berlaku sebagai seorang wisatawan kita akan mendapatkan “ruang” yang lebih terbuka untuk memotret. Adalah hal yang wajar seorang wisatawan gemar memotret. Oleh karena itu berlaku bak wisatawan atau pendatang bisa membuat lebih bebas dan dimaklumi untuk memotret. Kesempatan melakukan candid pun menjadi lebih leluasa.
Etika Bukan Larangan
Bagi saya candid bukanlah cara yang berbeda atau istimewa dalam mengambil gambar. Candid sama dengan memotret pada umumnya yakni sebuah kreasi dan seni memandang menggunakan media fotografi. Oleh karena itu jika ada yang menganggap candid adalah hal khusus sehingga diperlukan etika yang ketat, saya tidak setuju. Tapi saya sepakat bahwa setiap orang perlu memiliki kemampuan mengukur diri dan keadaan ketika memotret. Mengukur dan membaca keadaan akan membuat orang memiliki etika diri untuk memutuskan apakah ia perlu mengambil sebuah gambar atau melupakannya.
[caption id="attachment_306484" align="aligncenter" width="486" caption="cek bbm"]
[caption id="attachment_306485" align="aligncenter" width="513" caption="update status"]
Etika tersebut bukanlah larangan untuk melakukan candid. Semua kembali kepada seni memandang setiap orang. Saya misalnya, tidak sanggup memotret sosok tunawisma yang sedang berbagi makan atau menyuapi anaknya, betapapun bagi orang lain pemandangan itu adalah realita sosial dan obyek foto yang kuat. Sama halnya saya sering batal menekan shutter kamera jika obyek di depan saya mendadak menampilkan sesuatu yang teramat menyentuh, sekalipun bagi orang lain hal itu sah-sah saja untuk dipotret. Saya pun tidak cukup mampu untuk memotret candid jika yang tampak dalam bingkai foto saya nantinya adalah hal-hal yang mungkin bisa memalukan jika dipublikasikan, meski definisi memalukan pun berbeda-beda antar orang.
[caption id="attachment_306486" align="aligncenter" width="459" caption="jelang pentas"]