Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Pameran Korupsi Sapi, Lambang Garuda dan Lukisan Orde Baru

12 Juni 2014   19:27 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:03 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pameran yang sedang digelar di Taman Budaya Yogyakarta hingga 22 Juni 2014 ini mungkin bisa menimbulkan alergi akut bagi sejumlah pihak. Mengusung tema “Legacies of Power”, ART JOG 2014 yang merupakan pagelaran seni rupa kontemporer terbaik se Asia Tenggara sekaligus salah satu yang unik di Asia, menjadikan momen tahun politik 2014 untuk menggali wajah demokrasi dan kepemimpinan yang selama ini mengawal Indonesia.

Wajah dan realitas demokrasi dan kepemimpinan Indonesia selama ini.

Dari ratusan karya yang dipamerkan, ada sejumlah masterpiece yang metafora dan sarkasme tentang demokrasi dan kepemimpinan nasional. Malangnya dari hasil penggalian maknanya kita harus menerima kenyataan ada banyak wajah yang compang-camping di negara ini. Sayangnya ada banyak binatang seperti tikus, sapi hingga buaya di dalam kepemimpinan nasional Indonesia selama ini.

Sejumlah karya yang dipamerkan dalam ART JOG 2014 memang cukup telak menyindir praktik demokrasi di Indonesia. Bahkan meski penuh dengan simbol, kacamata awam tak akan kesulitan untuk memahami makna dari setiap goresan, warna, bentuk dan susunan yang ditampilkan para seniman itu.

Di dalam ruang pamer kita dipaksa untuk melihat dan mengakui realita kepemimpinan Indonesia. Beberapa hal yang selama ini abu-abu, ditutup-tutupi atau bahkan dimanipulasi, kali ini diungkap penuh warna hingga jelas faktanya. Dengan demikian kita pun diajak merenungkan ke mana gerbong bangsa ini akan bergerak jika lokomotifnya penuh dengan kedzaliman.

Sedikitnya ada 4 karya yang dengan telak mengungkapkan realita dan kritik pada persoalan demokrasi serta kepemimpinan Indonesia. Yang pertama adalah 6 seri lukisan yang disusun dalam 1 komposisi terpasang di dinding di lorong masuk ruang pameran. Melalui beberapa simbol lukisan-lukisan itu merangkum masa orde baru. Menariknya 6 lukisan tersebut diletakkan di dinding persis di pintu masuk ruang pameran.

[caption id="attachment_310842" align="alignnone" width="600" caption="Seri lukisan yang menggambarkan masa Orde Baru."]

14025495911144788851
14025495911144788851
[/caption]

Jangan tersenyum kecut jika melihat lukisan sebuah pohon berdahan lebar berwarna kuning. Di bawahnya 2 laras senjata menghadap kanan-kiri. Sementara latar belakangnya adalah lambang sebuah lembaga. Tak usah bermain ala detektif, siapapun tahu bahwa lukisan ini sedang bergosip tentang sebuah partai yang pernah menjadi tameng orde baru.

[caption id="attachment_310843" align="aligncenter" width="558" caption="Seorang dengan senjata laras panjang di atas kubangan penuh tengkorak manusia."]

1402549718907431669
1402549718907431669
[/caption]

Lalu ada lukisan lain tentang sosok seorang tentara yang sedang mengarahkan senjatanya. Ia seperti berada di kubangan yang penuh dengan tengkorak-tengkorak manusia. Lagi-lagi tak perlu otak detektif untuk membaca simbol ini. Jika belum tersentak ada sebuah lukisan lagi yang bergambar seperti di bawah ini.

[caption id="attachment_310844" align="aligncenter" width="570" caption="Ringkasan kepemimpinan Indonesia selama 32 tahun."]

1402549816245714972
1402549816245714972
[/caption]

Lukisan-lukisan tersebut dan penempatannya di pintu masuk ruang pameran mengandung makna bahwa bangsa ini tak boleh melupakan bahwa pernah ada masa di mana Indonesia terpenjara dan tertindas oleh suatu rezim yang dzalim dan mengerikan. Ironisnya itu terjadi di saat Indonesia sudah merdeka. Orde baru adalah masa gelap dalam perjalanan bangsa yang tak boleh diulang lagi.

Esensi bahwa Indonesia tak boleh mengulang lagi zaman kelam itu berkorelasi dengan sebuah karya berikutnya yaitu “Menuju ke Masa Lalu”. Seni intalasi ini berupa lokomotif yang ditata dengan bagian depan menjauhi penonton. Lokomotif itu sedang bergerak ke mundur.

[caption id="attachment_310845" align="aligncenter" width="578" caption="Lokomoti yang berjalan mundur. Jangan sampai Indonesia kembali "]

14025500241685540490
14025500241685540490
[/caption]

Sebagai sebuah bangsa, perjalanan Indonesia ditentukan oleh pemimpin yang menarik sekaligus mendorong laju kehidupan bangsa ke arah kemajuan. Lokomotif adalah simbol untuk kepemimpinan nasional. Tapi apa jadinya jika lokomotif itu justru bergerak mundur?. Apa jadinya jika kepemimpinan Indonesia kembali disabotase oleh anak-anak ideologis orde baru?. Yudi Sulistyo menuliskan begini pada deskripsi karyanya itu:

“Karya ini merespon fase peralihan kekuasaan yang tengah dijalani oleh Indonesia. Lokomotif yang berjalan mundur menyimbolkan roda pemerintahan yang kembali pada system feodal, sementara aktor-aktor politik yang terlibat adalah wajah-wajah lama yang kemampuan untuk membawa bangsa ini menuju zaman yang lebih baik sungguh diragukan”.

Jadi apa mau kita bergerak mundur?.

Bahasa seni meski sering penuh simbol atau kiasan, namun sesungguhnya sangat menyakitkan jika mengenai sasaran. Sayangnya bahasa seni nyaris selalu tepat sasaran. Mereka yang sudah kebal terhadap unjuk rasa dan jeritan rakyat seketika berubah menjadi marah dan gusar jika seniman sudah melahirkan karya-karyanya untuk mengkritik. Orang biasa pun kadang lebih tersakiti dan tersinggung jika disindir dengan lagu atau gambar. Itu sebabnya pula ada orang yang memilih berpuisi untuk berusaha menghabisi lawannya. Ia sadar bahwa bahasa seni meski pelan menuju sasaran namun selalu berhasil menimbulkan “gempa” bahkan “tsunami”.

14025501821960125658
14025501821960125658
Ayo Lari!

Karya berjudul “Ayo Lari!” mungkin akan menimbulkan alergi berat, gatal-gatal, pandangan kabur hingga kejang-kejang jika saja mereka yang merasa digambarkan di dalamnya datang dan melihat karya tersebut. Suraji sang seniman menyertakan pengantar pedas untuk memahami karyanya:

“Penguasa yang berkuasa bisa dipastikan cenderung korup. Tahta, Harta, Wanita. “Ayo Lari” hanyalah satu kisah penguasa yang tersandung impor daging sapi yang suka mengoleksi hiasan dunia serta wanita”.

Karya instalasi tersebut berupa seekor sapi berwarna hitam yang sedang berlari. Sapi itu ditunggangi sejumlah karakter binatang lengkap dengan pakaian wanita dan perhiasan yang mencolok.

Anak muda jaman sekarang menyebut karya ini “makjleb banget!”. Sindiran di dalamnya meski bukan hal baru namun terasa lebih perih. Simbol, warna, bentuk dan deskripsi yang disatukan dalam karya “Ayo Lari!” bisa menimbulkan efek alergi yang berat andai orang-orang yang terkait dengan kasus impor daging sapi dan para simpatisannya melihat. Mungkin mereka akan bereaksi semua ini adalah konspirasi, fitnah dan pembunuhan karakter!”. Lalu kulit mereka mulai gatal-gatal dan segera meninggalkan pameran.

Seni selalu memiliki cara dan bahasanya sendiri Tak hanya tentang keindahan, kebijaksanaan dan kebajikan, bahasa seni juga lancar menggugat ketidakbenaran dan kebobrokan. Karya berikutnya tak kalah menggelitik, bahkan mungkin paling aktual. Perhatikan di bawah ini.

[caption id="attachment_310847" align="aligncenter" width="570" caption="Ada yang tersindir dan malu dengan karya ini?."]

14025503121629010749
14025503121629010749
[/caption]

Karya instalasi di atas mengandung makna yang dalam tentang keragaman. Semua orang Indonesia dijamin haknya untuk berbeda dan berkreasi di atas pondasi keragaman. Banyaknya perbedaan di Indonesia bukanlah persoalan karena pada dasarnya semua dicetak di atas cetakan yang sama yakni Bangsa Indonesia. Dengan demikian ada hal yang tak boleh diingkari dalam setiap perbedaan yakni jati diri ke-Indonesia-an.

Komposisi 8 pin logam Burung Garuda dan sebuah cetakannya di atas mungkin bisa membuat sejumlah orang menutup mukanya karena malu. Selagi masih menunjukkan banyak kemiripan bentuk dan menggambarkan satu cetakan, Garuda Pancasila bukanlah mainan.

Belum lama ini heboh di media mengenai logo menyerupai burung garuda berwarna merah “milik” salah satu kontestan pemilihan presiden yang salah penempatan. Ironisnya itu dilakukan oleh pihak yang berisikanahli konstitusi dan prajurit pengusung nasionalisme. Ambiguitas mereka cukup menggelikan. Kenapa? Karena sebelumnya mereka menggunakan Garuda Merah sebagai perwujudan lambang negara yang menggambarkan keluhuran dan ke-Indonesia-an mereka. Namun ketika dikritik mereka buru-buru berganti pendapatbahwa itu bukanlah lambang negara Garuda. Mereka telah bermain-main bukan hanya dengan argumen mereka sendiri, tapi dengan hal yang menyangkut ke-Indonesia-an.

Menariknya karya ini kemungkinan besar dibuat sebelum media ramai membahas tentang Garuda Merah. Karya dalam pameran ini melalui tahap kurasi dan seleksi jauh sebelum media mempergunjingkan Garuda Merah. Jika demikian berarti sekali lagi seniman menunjukkan kepekaan dan kejeniusan mereka dalam menangkap ketidakbenaran jauh sebelum masyarakat awam disadarkan oleh karyanya. Salut!.

Apakah para politikus dan calon pemimpin itu cukup bernyali untuk melihat karya-karya tersebut?. Semoga mereka tak alergi dan berkunang-kunang pandangannya. Atau justru mereka tetap bersandiwara dan mengumbar senyum tanpa dosa?.

Ketika cacian kata-kata hanya mengundang senyum tanpa menyentuh kesadaran, bahasa seni selalu bisa menyakitkan sekaligus mempermalukan. Itu sebabnya di masa otoriter di mana diktator berkuasa para seniman banyak dibungkam dan ruang-ruang kreatif mereka dilumpuhkan. Para penguasa dzalim sadar bahwa bukan suara unjuk rasa masyarakat yang bisa meruntuhkan menara kekuasaannya. Unjuk rasa bisa dengan mudah dibuat diam dengan menurunkan pasukan bersenjata. Tapi ada yang lebih mengancam dan membahayakan menara mereka yaknikarya dan bahasa para seniman. Di saat orasi dan diskusi seringkali penuh kepura-puraan, bahasa seni tak pernah basa-basi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun