Selasa, 22 Juli 2014, mobil pengantar yang menjemput dari bandara bergerak menuju barat kota Jogja. Melewati jalan lingkar utara saya dan sejumlah penumpang lainnya dihantar menuju tempat pemberangkatan bis AKAP.
[caption id="attachment_316523" align="aligncenter" width="570" caption="Perjalanan mudik melintasi Jalan Daendels peninggalan kolonial di pesisir selatan DIY hingga Jawa Tengah (22/7/2014)."][/caption]
Sepanjang perjalanan melewati jalan lingkar utara Yogyakarta pemandangan khas mudik mulai terlihat. Di sejumlah titik terjadi antrian kendaraan yang didominasi bis AKAP dan truk-truk besar penuh muatan. Padatnya antrian kendaraan besartersebut menurut kabar akibat dari pengalihan jalur pasca amblesnya jembatan Comal di Pemalang. Beruntung kepadatan tersebut terjadi ke arah timur. Sementara perjalanan mobil pengantar kami ke arah barat terasa lebih lancar.
[caption id="attachment_316524" align="aligncenter" width="528" caption="Bus AKAP dan truk besar penuh muatan melintasi jalan lingkar utara Yogyakarta pada H-6 Lebaran 2014."]
Sekitar 20 menit kemudian mobil pengantar tiba di tujuan. Saya pun segera turun untuk melakukan check in dengan menyerahkan bukti pembelian tiket yang sudah diprint secara on line. Tak lama kemudian bis eksekutif AKAP yang ditunggu tiba dan menepi. Usai meletakkan tas berisi pakaian ke bagasi saya segera naik mencari tempat duduk sesuai tiket. Dengan perlahan bis keluar meninggalkan area parkir menuju jalan raya. Perjalanan mudik pun dimulai.
Hanya 5 menit setelah meninggalkan tempat keberangkatan bis langsung terjebak kemacetan, Hampir selama 30 menit bis hanya bergerak 1 km. Ternyata kemacetan disebabkan oleh adanya antrian puluhan bis yang mengantri mengisi bahan bakar di SPBU di depan.
[caption id="attachment_316525" align="aligncenter" width="570" caption="Kepadatan kendaraan di Jalan Wates Kulonprogo DIY pada H-6 Lebaran 2014 didominasi oleh bus AKAP dan truk besar."]
Lepas dari kemacetan tersebut bis melaju lancar melintasi Jalan Wates Kulonprogo. Dari arah berlawanan sejumlah bus AKAP lainnya dan truk-truk besar terus berdatangan. Sementara di beberapa ruas jalan sejumlah truk gandeng tampak menepi untuk beristirahat.
Melewati kota Wates bis meluncur lancar meninggalkan Yogyakarta. Namun saat tiba di perbatasan DIY dan Jateng bis tiba-tiba menikung berbelok ke kiri meninggalkan jalur selatan yang menjadi rute regular. Rupanya bis yang kami tumpangi memilih menggunakan jalur alternatif melintasi pantai selatan Jateng atau yang biasa dikenal sebagai Jalan Daendels.
[caption id="attachment_316526" align="aligncenter" width="513" caption="Memasuki Jalan Daendels, jalur alternatif utama di selatan DIY dan Jawa Tengah."]
Jalan Daendels di pantai selatan perbatasan DIY dan Jawa Tengah adalah satu dari beberapa ruas jalan peninggalan masa kolonial. Meski sudah berumur sangat tua namun jalan ini masih digunakan sebagai salah satu akses penghubung DIY dan Jawa Tengah. Di saat musim mudik lebaran Jalan Daendels ini menjadi jalur alternatif utama kendaraan pemudik yang melintasi selatan DIY dan Jawa Tengah. Ruas Jalan Daendels yang biasa digunakan sebagai jalur alternatif dimulai dari perbatasan DIY-Purworejo hingga Kutowinangun di Kebumen.
Sepanjang 2 kilometer pertama Jalan Daendels adalah ruas jalan yang lebar dengan aspal yang sangat halus seolah perjalanan akan berlangsung lancar dan bebas macet. Namun sepenggal 2 km pertama tersebut tak ubahnya pemberi harapan palsu karena puluhan km berikutnya dari Jalan Daendels adalah bagian yang sangat berbeda.
[caption id="attachment_316527" align="aligncenter" width="569" caption="Melintasi aspal Jalan Daendels yang berlubang."]
[caption id="attachment_316528" align="aligncenter" width="540" caption="Selain berlubang, ada banyak sekali tambalan yang tidak rata di sepanjang Jalan Daendels membuat kendaraan terguncang selama melaju."]
Layaknya jalur alternatif yang minim fasilitas, kondisi Jalan Daendels sebenarnya kurang ideal untuk dilalui kendaraan dalam jumlah besar. Aspal yang berlubang dan tambalan di beberapa bagian yang tidak rata membuat setiap kendaraan akan berguncang saat melaju. Selain itu ruas jalannya yang semakin menyempit mendekati Kebumen membuat sejumlah kendaraan harus mengalah untuk berhenti atau bahkan menepi keluar bahu jalan jika berpapasan dengan kendaraan dari arah berlawanan.
[caption id="attachment_316529" align="aligncenter" width="573" caption="Selain kendaraan pemudik, Jalan Daendels juga dipadati truk-truk yang melaju ke arah DIY."]
[caption id="attachment_316530" align="aligncenter" width="584" caption="Sempitnya Jalan Daendels membuat kendaraan dari arah yang berlawanan harus bergantian mengalah untuk memberi kesempatan melaju."]
Jalan Daendels juga minim penerangan sehingga tidak ideal untuk dilintasi malam hari. Tidak hanya itu, selama perjalanan 2 jam atau lebih kendaraan yang melintasi Jalan Daendels harus memastikan stok bahan bakar di tangki cukup karena tidak ada SPBU di sepanjang jalur alternative ini. Kantor polisi dan fasilitas kendaraan juga sangat jarang dijumpai. Hanya ada 1 atau 2 puskemas yang dijumpai di tepi jalan. Oleh karena itu melintasi Jalan Daendels memerlukan persiapan dan perhitungan yang matang.
Meskipun demikian bukan berarti Jalan Daendels sama sekali tidak menyenangkan untuk dilalui. Jalan ini bahkan menyajikan pemandangan yang tak biasa yang tak akan dijumpai jika kita melintasi jalur regular di selatan DIY dan Jawa Tengah. Saya pribadi bahkan menyebut perjalanan mudik melintasi Jalan Daendels sebagai sensasi mudik wisata karena selama melintasi jalur ini mata kita akan disuguhi pemandangan-pemandangan manis. Kerugian besar jika selama melewati Jalan Daendels kita memejamkan mata atau menutu tirai kaca mobil atau bus.
Diambil dari dalam bus yang melaju berguncang di atas aspal yang tidak rata, berikut ini adalah foto-foto pemandangan yang berserakan selama 2 jam perjalanan melintasi Jalan Daendels dari perbatasan DIY-Purworejo hingga memasuki wilayah Kebumen.
[caption id="attachment_316531" align="aligncenter" width="589" caption="Peternakan dan ladang hijau di sisi Jalan Daendels."]
Melintasi Jalan Daendels berarti menikmati hijaunya pemandangan di pesisir pantai selatan DIY dan Jawa Tengah. Bagaimana tidak sepanjang puluhan kilometer hamparan ladang aneka jenis tanaman terhampar tepat di sisi jalan. Berhektar-hektar kebun cabai, jagung, kacang tanah hingga papaya membentuk untaian warna hijau yang menyejukkan mata. Ada juga barisan pohon kelapa yang menjulang tinggi dengan daun yang henti bergoyang ditiup angin. Pemandangan semakin manis dengan beberapa bangunan rumah yang terselip di tengah-tengah luasnya ladang menghasilkan citra landskap yang unik dan tak biasa.
[caption id="attachment_316532" align="aligncenter" width="570" caption="Ladang-ladang hijau membentuk pemandangan manis di sepanjang Jalan Daendels."]
[caption id="attachment_316533" align="aligncenter" width="570" caption="Petani dan warga lokal melintasi ladang di sepanjang Jalan Daendels."]
[caption id="attachment_316535" align="aligncenter" width="367" caption="Pemandangan cantik di Jalan Daendels, sebuah rumah di tengah hamparan ladang hijau."]
Mudik melalui Jalan Daendels juga berarti tur wisata dari atas kendaraan. Dengan sangat manis bis akan melaju di atas jembatan di mana beberapa meter saja mata memandang hamparan pantai akan jelas terlihat. Tak hanya satu pantai saja tapi setidaknya ada 3 pantai yang akan menyapa kita saat melintasi Jalan Daendels.
[caption id="attachment_316534" align="aligncenter" width="570" caption="Pemandanga Istimewa. Jalan Daendels menghadirkan pengalaman mudik yang istimewa dengan jajaran pantainya yang indah."]
[caption id="attachment_316538" align="aligncenter" width="536" caption="Barisan pohon kelapa menjulang tinggi di sepanjang Jalan Daendels."]
Usai menyuguhkan landskap ladang dan pantai yang manis, Jalan Daendels menyuguhkan sensasi mudik melintasi perkampungan warga. Selain membelah lading dan melewati pantai, Jalan Daendels juga membelah area pemukiman warga. Oleh karena itu di beberapa ruas kendaraan akan melaju tepat di depan halaman rumah warga. Jangan juga heran jika saat melaju kita bisa dengan jelas menyaksikan rapat pengurus desa di sebuah kantor desa yang hanya berjarak 2 meter dari jalan raya. Begitu dekatnya Jalan Daendels dengan halaman rumah warga juga membuat selama perjalanan atap dan kaca kendaraan akan bergemuruh karena bersentuhan dengan dedaunan dan ranting pohon di halaman rumah warga. Benar-benar sensasi mudik yang tak biasa.
[caption id="attachment_316539" align="aligncenter" width="554" caption="Melintas di depan halaman rumah warga."]
Selama 2,5 jam melintasi Jalan Daendels, bis yang saya tumpangi akhirnya berbelok kembali memasuki jalur reguler. Wisata mudik pun berganti dengan sensasi macet khas mudik lebaran. Saat itu jalur selatan di Kebumen disesaki bus-bus AKAP dan barisan truk besar yang berjalan merayap menuju kearah timur.
[caption id="attachment_316542" align="aligncenter" width="576" caption="Meninggalkan Jalan Daendels dan kembali memasuki jalur reguler di selatan Jawa Tengah yang disesaki kendaraan pemudik dan truk-truk besar."]
Beruntung kami sudah dibawa berwisata sebelumnya melintasi Jalan Daendels sehingga kemacetan yang terjadi berikutnya tak terlalu menjadi soal karena indahnya pemandangan di sepanjang Jalan Daendels masih membekas di mata. Melintasi Jalan Daendels telah memberikan pengalaman mudik yang tak biasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H