Kunjungan 10 Kompasianer beserta admin Kompasiana, jurnalis kompas.com, ANTARA dan Republika bersama Pertamina ke Bali dan Banyuwangi pada 8-11 Oktober yang lalu benar-benar menghadirkan pengalaman baru. Lebih dari sekadar liburan gratis, kunjungan ini juga menambah pengetahuan seputar lingkup kegiatan Pertamina dalam sektor penyediaan gas terutama elpiji. Melihat serta mengunjungi kapal Pertamina Gas 2 lalu menyimak garis besar pekerjaan yang harus diemban oleh para awaknya membangkitkan rasa bangga kepada orang-orang yang selama ini mengorbankan waktu, tenaga dan mungkin keselamatannya demi menjaga ketahanan stok elpiji Indonesia. Kunjungan selama 4 hari itupun menjadi perjalanan yang sangat berharga.
Layaknya perjalanan ke sebuah daerah bersama orang-orang baru, kunjungan ini pun menyisakan sejumlah kejadian yang tak terlupakan, yang sayang untuk dibuang begitu saja tanpa tersampaikan.
[caption id="attachment_329732" align="aligncenter" width="560" caption="Kompasianer asal Yogyakarta terombang-ambing di jalanan mencari makan tak lama setelah tiba di Bali Rabu malam (8/10/2014)."]
Apa yang dialami oleh 4 kompasianer asal Yogyakarta mungkin agak menggelikan. Saya bersama Afandi Sido, Nfkaafi alias Pak Dwi dan Arifah Wulansari tiba di Bali 3 jam lebih dulu dibanding rombongan kompasianer lain dan pihak Pertamina yang terbang bersama dari Jakarta. Ketika check in di hotel, entah apa yang terjadi sehingga ada ketidaksingkronan antara daftar nama dan nomor kamar kami selaku tamu yang didaftarkan atas nama Pertamina PTC. Kami pun harus menunggu beberapa saat sampai petugas penerima tamu melakukan update ulang dengan mencocokkan KTP kami berempat.
[caption id="attachment_329733" align="aligncenter" width="560" caption="Ayam goreng minim rasa seharga Rp. 119.000 menyelamatkan perut kami malam itu."]
[caption id="attachment_329734" align="aligncenter" width="311" caption="Green tea seharga Rp. 49.000 sejenak menjadi minuman mewah yang harus dinikmati sampai cangkirnya kering."]
Namun kejadian itu masih tergolong wajar karena apa yang kami alami setelah check ini kamar lebih memilukan. Ketika bertanya apakah layanan kami sudah termasuk makan malam, sang resepsionis tidak bisa menggaransi karena fasilitas tambahan yang dipesankan gratis untuk kami hanya sarapan dan laundry. Jadilah malam itu setelah merapikan diri di kamar kami berempat memutuskan keluar meninggalkan hotel untuk mencari makan malam.
Sialnya hotel tempat kami menginap masih tergolong berada di kompleks Bandara Ngurah Rai sehingga sepanjang kaki kami melangkah hanya lampu jalan dan hilir mudik kendaraan yang kami jumpai. Ada hampir satu kilometer kami melangkah seperti musafir kelaparan di kegelapan malam Denpasar. Melewati trotoar hingga turun ke bahu jalan, lalu menembus gang sebelum kemudian memutuskan memutar kembali. Sempat terbersit keinginan untuk kembali ke bandara dan mengisi perut di sejumlah gerai di sana namun akhirnya kami memutuskan kembali ke hotel dengan perut kosong. Saat itu jam sudah menunjukkan lewat pukul 22.00 WITA.
Beruntung saat malam semakin larut kami mendapat kabar baik. Mba Arifah menelepon perwakilan Pertamina yang turut dalam rombongan Jakarta dan rupanya kami dipersilakan makan malam di restoran hotel dengan biaya yang ditanggung penyelenggara. Kepada petugas restoran kamipun menyampaikan hal itu dan segera dilayani.
Bingung memilih berbagai menu saya memutuskan memesan ayam goreng seharga Rp. 119.000 dan secangkir green tea seharga Rp. 49.000. Mas Fandi yang sempat memesan Nasi Goreng Bali akhirnya mengganti menu setelah diberi tahu kalau Nasi Goreng Bali termasuk menu haram untuk muslim. Sementara Pak Dwi memesan nasi udang goreng dan segelas jus yang menurutnya enak luar biasa.
Sambil menunggu pesanan tiba sejenak kami memperbincangkan mengenai harga makanan di restoran itu. Dan setelah hidangan tersaji giliran kami sejenak membahas rasa makanan masing-masing. Ayam goreng seharga Rp. 119.000 milik saya rasanya sangat biasa. Mungkin disesuaikan dengan lidah orang barat yang tak terlalu suka bumbu rempah yang kuat. Ayamnya pun bukan ayam kampung sehingga ketika digigit terasa hambar. Boleh dibilang harga ayam goreng itu sangat overrated dan tidak sebanding dengan rasanya.
Sementara secangkir green tea panas yang saya dan mba Arifah pesan rasanya nyaris sama dengan teh celup yang banyak dijual di pasaran. Namun sebagai penikmat teh saya masih bisa menikmati cita rasanya apalagi saat itu udara malam Denpasar terasa dingin. Tentang harganya yang Rp. 49.000 tak perlu dibahas apalagi harus membandingkannya dengan harga makanan dan minuman di Yogyakarta. Yang penting malam itu kami tak harus mengalami nestapa karena kelaparan sepanjang malam.
[caption id="attachment_329738" align="aligncenter" width="457" caption="Siluet kompasianer menunggu penerbangan ke Banyuwangi di Bandara Ngurah Rai Denpasar pada hari kunjungan ke-2."]
[caption id="attachment_329739" align="aligncenter" width="420" caption="Juru foto juga manusia yang punya hasrat dan naluri ingin difoto."]
[caption id="attachment_329740" align="aligncenter" width="490" caption="Tak ada yang tahu apa yang terjadi dengan admin Kompasiana ini. Mba Nur Hasanah mungkin sedang galau atau lelah."]
Kejadian lain saya alami sendiri ketika hendak mandi setelah check in malam itu. Awalnya saya berniat berendam sebentar dengan air panas untuk mengurangi lelah dan pegal di badan. Namun setelah menunggu agak lama air dari kran tak kunjung kelar. Beberapi kali memutar ulang kran hasilnya tetap nihil, air panas tetap tak mengalir. Sayapun akhirnya memutuskan mandi dengan shower di ruangan kaca. Di sinilah kejadian menggelikan itu terjadi. Selesai mandi saya mendapati bath tub sudah terisi dengan air panas. Bukan hanya itu saja uapnya ternyata hampir memenuhi ruangan kamar mandi hingga kaca-kaca di dalamnya berembun. Suhu di dalam kamar mandi pun menghangat. Parahnya saya gagal mematikan kran sehingga air panas terus mengalir. Entah apa yang terjadi padahal beberapa menit sebelumnya air sama sekali tak keluar dari kran namun kini justru tak bisa dihentikan. Selesai berpakaian sayapun keluar kamar mandi dan meminta tolong Pak Dwi untuk coba menghentikan aliran air panas tersebut. Beberapa menit kran tak juga berhasil ditutup dan sayapun telah bersiap menelepon pihak hotel untuk memberitahu insiden konyol ini. Namun belum sampai menyentuh gagang telepon, Pak Dwi berhasil menutup kran air panas itu. Mungkin itulah sambutan selamat datang dari “penunggu kamar”.