[caption id="attachment_330627" align="aligncenter" width="630" caption="Seorang warga di Klaten sedang menunggui nasi yang ditanah di atas tungku dan kayu bakar (19/10/2014)."][/caption]
Pukul setengah tujuh pagi halaman belakang rumah yang sederhana itu sudah ramai dengan ibu-ibu. Beberapa di antara mereka terlihat membawa tungku. Ada juga yang menenteng panci-panci berukuran besar, wajan dan sejumlah wadah dari anyaman bambu. Sementara yang lain mulai menyiapkan beberapa bahan makanan seperti sayur, daging ayam dan beras. Untuk beberapa menit mereka tampak hilir mudik menata semua barang-barang itu sebelum akhirnya sebuah aktivitas menarik tersajidi halaman yang persis bersisian dengan sawah itu. Tungku-tungku mulai berkobar. Kayu bakar di dalamnya mulai termakan api dan perlahan menjadi arang.
[caption id="attachment_330637" align="aligncenter" width="353" caption="Menggoreng pisang menggunakan tungku."]
Beberapa hari lalu kompasianer Puri Areta menuliskan pengalamannya yang kesulitan mendapatkan anglo yakni sejenis tungku yang digunakan untuk memasak dengan arang. Membaca tulisan Bu Puri sayapun berkomentar dengan setengah bercanda bahwa saya akan pergi ke Klaten, daerah di Jawa Tengah yang dikenal sebagai salah satu sentra penghasil gerabah dan keramik termasuk tungku dan anglo. Tak disangka satu hari setelah tulisan Bu Puri yang menjadi headline di Kompasiana itu, saya beruntung bisa menyaksikan aktivitas masyarakat sebuah dusun di Klaten yang tengah memasak menggunakan puluhan tungku kayu dan anglo.
Di perkotaan apalagi kota besar, penggunaan tungku atau anglo untuk memasak jelas sudah dianggap ketinggalan zaman. Sementara di perdesaan, beberapa masyarakat juga sudah lama meninggalkan alat-alat dari tanah liat untuk keperluan memasak atau menyiapkan makanan. Namun di sejumlah desa di Klaten, memasak menggunakan tungku dan anglo adalah hal yang biasa dilakukan oleh masyarakatnya hingga kini.
[caption id="attachment_330638" align="aligncenter" width="576" caption="Tak hanya menggoreng pisang, memasak sayur berkuah juga dilakukan menggunakan tungku dan kayu bakar."]
[caption id="attachment_330639" align="aligncenter" width="381" caption="Masyarakat Klaten terbiasa menggunakan tungku dan kayu bakar untuk memasak makanan sehari-hari termasuk menggoreng ayam."]
Tidak hanya saat ada hajatan di mana masyarakat bergotong royong memasak untuk tuan rumah, tapi untuk memasak makanan sehari-hari mereka pun masih setia menggunakan tungku kayu bakar dan sesekali diselingi menggunakan anglo serta arang. Tak heran jika banyak dapur rumah mereka dibuat dengan dinding setengah terbuka.
Mereka bukan tidak mengenal kompor. Banyak masyarakat yang memiliki kompor gas di rumahnya namun bagi mereka memasak menggunakan tungku dan kayu bakar terasa lebih mantap. Apalagi sumber daya kayu bakar masih mudah dan murah mereka dapatkan. Merekapun akhirnya menggunakan kompor gas dan tungku secara bergantian. Namun banyak juga masyarakat yang hanya menggunakan kompor gas di saat-saat tertentu saja.
[caption id="attachment_330640" align="aligncenter" width="542" caption="Masyarakat Klaten membuat kue secara sederhana dengan tungku dan kayu bakar. Namun ternyata rasanya tak kalah enak dengan yang dibuat secara modern."]
[caption id="attachment_330641" align="aligncenter" width="368" caption="Nasi yang ditanak dengan tungku dan kayu bakar."]
[caption id="attachment_330642" align="aligncenter" width="560" caption="Kue dan ayam goreng hasil dari tungku."]
Menggunakan tungku dan anglo bagi sebagian masyarakat Klaten adalah bagian dari upaya merawat tradisi. “Lha, nggih sampun tradisine teng mriki tho, mas” (Lha,yang memang sudah tradisi di sini, mas). Begitulah komentar Mbah Manto ketika saya bertanya mengapa orang-orang masih memasak menggunakan tungku kayu bakar. Saat itu mbah Manto dan banyak orang lainnya tengah menyiapkan aneka makanan untuk keperluan hajatan yang digelar tuan rumah.
[caption id="attachment_330643" align="aligncenter" width="560" caption="Mengukus kue."]
[caption id="attachment_330644" align="aligncenter" width="369" caption="Kue berwarna hijau itu baru selesai dikukus menggunakan tungku dan kayu bakar."]
Memasak menggunakan tungku juga menjadi pengikat dan identitas gotong royong di antara masyarakat desa setempat. Apalagi jika sedang ada hajatan, pinjam meminjam tungku dan anglo adalah hal yang biasa karena tak semua orang memiliki banyak tungku di rumahnya.
Suasana saat itu memang sangat menarik. Selain diiringi percakapan dan guyonan khas masyarakat desa, mereka juga memasak seperti umumnya orang menggunakan kompor gas. Tak tampak ada masalah baik saat menyiapkan tungku, membakar kayu hingga memasak aneka makanan. Tak hanya ibu-ibu, beberapa anak muda pun terlihat membantu dan tak canggung berdekatan dengan tungku meski hawa di halaman belakang yang teduh itu menjadi lebih hangat oleh radiasi panas dari tungku. Mereka yang tak biasa mungkin tidak kuat berjam-jam duduk di dekat tungku yang membara seperti itu.
[caption id="attachment_330645" align="aligncenter" width="630" caption="Bukan tidak memiliki kompor gas, bagi sebagian masyarakat Klaten memasak menggunakan tungku adalah bagian dari upaya merawat tradisi. Selain masih banyaknya sumber daya kayu bakar membuat mereka leluasa untuk memasak makanan sehari-hari dengan tungku."]
Semua makanan yang disajikan dalam hajatan saat itu dimasak menggunakan tungku. Mulai dari menanak nasi dalam jumlah besar, memasak sayur berkuah hingga menggoreng pisang dan sosis solo yang jumlahnya ratusan potong. Ayam goreng dan sambal krecek pun tak ketinggalan dimasak di atas tungku. Dan yang paling menarik adalah aneka kue jajan pasar juga dibuat langsung menggunakan tungku di atas kobaran kayu bakar.
Sempat terpikirkan berapa lama waktu yang mereka perlukan untuk memasak banyak makanan hanya dengan tungku kayu bakar itu. Namun ternyata hanya kurang dari 6 jam aneka jenis makanan dan kue selesai dibuat menggunakan tungku-tungku itu. Menariknya rasa masakan dan makananitu ternyata tak berbeda dengan yang dimasak menggunakan kompor gas, bahkan terasa lebih nikmat. Sama sekali tak ada aroma sangit pembakaran kayu yang tertinggal di masakan-masakan itu meski wajan dan panci penggorengannya menjadi hitam legam oleh jelaga. Nasinya pulen dan kuenya pun enak, apalagi ada bumbu lain yang ditambahkan ke dalamnya yakni kesederhanaan.
[caption id="attachment_330628" align="aligncenter" width="623" caption="Seorang simbah sedang menggoreng pisang menggunakan tungku dan kayu bakar (19/10/2014)."]
Kini saya semakin paham mengapa masakan yang disiapkan dengan tungku dan anglo selalu terasa lebih nikmat karena di dalamnya ada unsur resep rahasia yakni tradisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H