[caption id="attachment_330645" align="aligncenter" width="630" caption="Bukan tidak memiliki kompor gas, bagi sebagian masyarakat Klaten memasak menggunakan tungku adalah bagian dari upaya merawat tradisi. Selain masih banyaknya sumber daya kayu bakar membuat mereka leluasa untuk memasak makanan sehari-hari dengan tungku."]
Semua makanan yang disajikan dalam hajatan saat itu dimasak menggunakan tungku. Mulai dari menanak nasi dalam jumlah besar, memasak sayur berkuah hingga menggoreng pisang dan sosis solo yang jumlahnya ratusan potong. Ayam goreng dan sambal krecek pun tak ketinggalan dimasak di atas tungku. Dan yang paling menarik adalah aneka kue jajan pasar juga dibuat langsung menggunakan tungku di atas kobaran kayu bakar.
Sempat terpikirkan berapa lama waktu yang mereka perlukan untuk memasak banyak makanan hanya dengan tungku kayu bakar itu. Namun ternyata hanya kurang dari 6 jam aneka jenis makanan dan kue selesai dibuat menggunakan tungku-tungku itu. Menariknya rasa masakan dan makananitu ternyata tak berbeda dengan yang dimasak menggunakan kompor gas, bahkan terasa lebih nikmat. Sama sekali tak ada aroma sangit pembakaran kayu yang tertinggal di masakan-masakan itu meski wajan dan panci penggorengannya menjadi hitam legam oleh jelaga. Nasinya pulen dan kuenya pun enak, apalagi ada bumbu lain yang ditambahkan ke dalamnya yakni kesederhanaan.
[caption id="attachment_330628" align="aligncenter" width="623" caption="Seorang simbah sedang menggoreng pisang menggunakan tungku dan kayu bakar (19/10/2014)."]
Kini saya semakin paham mengapa masakan yang disiapkan dengan tungku dan anglo selalu terasa lebih nikmat karena di dalamnya ada unsur resep rahasia yakni tradisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H