[caption id="attachment_340475" align="aligncenter" width="563" caption="Butet Kartaredjasa (tengah) bersama Teater Gandrik mementaskan lakon"Tangis" di PKKH UGM dalam rangka Hari Antikorupsi Internasional yang diselenggarakan oleh KPK (9/12/2014)."][/caption]
“Untuk apa memberantas korupsi jika satu mati namun ribuan korupsi baru terus muncul?”
Bertempat di Gedung Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH), Universitas Gadjah Mada (UGM),Teater Gandrik mementaskan lakon “Tangis” di hadapan ribuan penonton pada Selasa malam (9/12/2014).
“Tangis” adalah salah satu bagian utama dari Festival Antikorupsi 2014 dalam rangka peringatan Hari Antikorupsi Internasional yang digelar oleh KPK dan berpusat di Yogyakarta. Pertunjukan itu dihadiri sejumlah pejabat dan tamu birokrat serta anggota DPR mulai para Komisioner KPK, Ketua BPK, Wakil Jaksa Agung, Kabareskrim Polri, dan Ketua Komisi III DPR RI.
Teater Gandrik sendiri adalah kelompok teater kontemporer ternama dan legendaris di Indonesia. Kelompok yang didirikan di Yogyakarta pada 13 September 1983 oleh Jujuk Prabowo, Heru Kesawa Murti, Susila Nugraha, Sepnu Heryanto, Novi Budianto itu, terus eksis di dunia seni pertunjukan nasional hingga kini. Beberapa anggotanya terkenal sebagai seniman dan aktor watak ternama di Indonesia, sebut saja Djaduk Ferianto, Butet Kartaredjasa dan Susilo Nugroho “Den Baguse Ngarso”.
[caption id="attachment_340476" align="aligncenter" width="594" caption="Den Baguse Ngarso (kiri, pakaian Jawa) bertindak sebagai dalang dalam lakon Tangis yang dibawakan secara dramatic reading (dok. pribadi)."]
“Tangis” malam itu dibawakan secara dramatic reading, yaitupementasan dengan membaca teks. Konsep ini telah lama ditinggalkan oleh Teater Gandrik dan pertunjukan semalam adalah pertama kalinya mereka kembali membawakan teknik tersebut. Konsep yang sering dibawakan pada tahun 1980-an awal itu membuat pertunjukan sangat cair layaknya sketsa. Penonton pun bisa mengetahui proses pembacaan naskah oleh para aktor layaknya latihan namun sebenarnya itulah pertunjukan sesungguhnya.
[caption id="attachment_340477" align="aligncenter" width="371" caption="Butet Kartaredjasa berperan sebagai Abiyoso, sang tokoh utama (dok. pribadi)."]
Diangkat dari naskah “Tangis” dan “Abiyoso”, lakon “Tangis” berkisah tentang pengusaha batik bernama Abiyoso (Butet Kartaredjasa) yang meski sukses namun dikenal peragu dan kurang tegas. Ia menghadapi dilema dan kegalauan karena ditinggal oleh sahabatnya Muspro yang meninggal akibat bunuh diri. Kasak-kusuk pun berkembang seputar penyebab bunuh diri tersebut. Muspro dikabarkan bunuh diri karena terlilit hutang.
[caption id="attachment_340478" align="aligncenter" width="572" caption="Dialog Abiyoso dan Prasojo (dok. pribadi)."]
[caption id="attachment_340479" align="aligncenter" width="594" caption="Dialog para buruh pembatik dengan sang "]
[caption id="attachment_340480" align="aligncenter" width="563" caption="Dialog antara "tante mandor" dan putra Abiyoso."]
Abiyoso pun berniat menunjuk Prasojo, putra Muspro untuk menggantikan posisi ayahnya di perusahaan batik. Namun Prasojo menolak keinginan Abiyoso dengan alasan belum pantas. Di sisi lain istri Abiyoso berusaha menghendaki anaknya sendiri sebagai pengganti posisi Muspro. Abiyoso pun menghadapi pilihan sulit antara keinginannya menunjuk Prasojo yang dinilainya lebih siap atau mengangkat anaknya sendiri yang ia anggap belum pantas. “Koalisi” untuk merebut posisi yang ditinggalkan oleh Muspro pun terbentuk.
Belum tuntas masalah koalisi perebutan posisi di perusahaan batik, Abiyoso harus menghadapi kenyataan perih lainnya. Istri almarhum Muspro datang dan mengungkit jasa-jasa suaminya kepada Abiyoso di masa lampau. Sang istri berusaha meyakinkan Abiyoso untuk mengangkat putranya sebagai pengganti Muspro di perusahaan batik. Abiyoso pun mulai tertekan ketika istri Muspro membuka sebuah cerita lama tentang sejarah pendirian perusahaan batik Abiyoso. Dari dialog keduanya terbukalah fakta bahwa perusahaan batik itu didirikan dengan uang suap yang diterima Abiyoso dari pihak asing.Abiyoso pun terkejut mendengar cerita itu dan berharap tak diungkit lagi. Konflik cerita pun semakin meninggi.
[caption id="attachment_340481" align="aligncenter" width="571" caption="Dialog antara Abiyoso dan istri Muspro yang mengungkit skandal suap yang diterima Abiyoso."]
Kritik guyon dan satir-satir yang dikemas halus namun menusuk merupakan dua hal menarik yang menjadi orientasi lakon Tangis. Dan sepertinya itulah yang menjadi identitas Teater Gandrik selama ini di mana para pemainnya terkenal lihai mengolah panggung sebagai permainan yang penuh dengan permainan watak. Oleh karena itu sepanjang pentas yang berlangsung selama hampir 2 jam tersebut Butet dan para aktor Gandrik kerap mengeluarkan celetukan penuh sindiran. Misalnya saja: “Sekarang bukan jamannya prihatin, tapi jamannya kerja, kerja dan kerja..”,“Macan yang gagal jadi macan Asia itu biasanya sensitif”.Bahkan sejak pertunjukan dibuka, Den Baguse Ngarso yang bertindak sebagai dalang sudah mengeluarkan banyak sindiran, antara lain: “Tidak korupsi tapi pemborosan jalan terus”.
[caption id="attachment_340482" align="aligncenter" width="594" caption="Wakil Ketua KPK, Busyro Muqodas (dua dari kiri) dan Ketua BPK (berpeci) tampil dalam dialog pemberantasan korupsi di sela-sela pementasan "]
[caption id="attachment_340483" align="aligncenter" width="594" caption="Kabareskim Polri (dua dari kiri) dan Wakil Jaksa Agung (pakaian batik) mengisi dialog dalam pentas "]
Pentas semakin menarik dengan iringan musik dan nyanyian yang dibawakan secara langsung berisi lirik yang juga penuh sindiran. Tak hanya diisi oleh dialog para aktor teater, “Tangis” juga diisi dengan perbincangan antara Den Baguse Ngarso dan Butet bersama Wakil Ketua KPK, Kabareskrim Polri, Ketua BPK dan Wakil Jaksa Agung yang turut naik ke atas panggunguntuk berbincang seputar korupsi dalam dialog yang cair dan sesekali mengocok perut.
[caption id="attachment_340484" align="aligncenter" width="594" caption="Dalang menyampaikan intisari di akhir pertunjukkan."]
“Tangis” adalah sindiran untuk para penguasa sekaligus ejekan untuk diri sendiri agar becermin bahwa permainan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dekat dengan keseharian kita bahkan pada tingkat keluarga sekalipun.Penyesalan dan kesengsaraan akibat praktik kotor tersebut sering kali mendatangkan tangis di kemudian hari. Di sisi lain ada kesadaran dan keinginan untuk menjauhkan diri dari KKN namun terkadang orang kerap menyerah oleh keadaan: “Untuk apa memberantas korupsi jika satu mati namun ribuan korupsi baru terus muncul?”.Itulah pertanyaan yang dibiarkan menggantung menutup pertunjukan Tangis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H