Perayaan Sekaten di Yogyakarta juga identik dengan kinang yang terdiri dari daun sirih, tembakau, gambir, kapur dan bunga Kanthil. Lima unsur ini melambangkan rukun Islam yang ditegaskan kembali dengan jumlah kelopak bunga Kanthil yang biasanya disisakan berjumlah lima. Semua unsur tersebut disatukan dengan daun sirih sebagai pembungkusnya.
[caption id="attachment_344486" align="aligncenter" width="581" caption="Sego Gurih, ikon lain dari Sekaten Yogyakarta. Pada minggu terakhir perayaan Sekaten puluhan penjual Sego Gurih berjejer di sekitar Masjid Gedhe Kauman bersama para penjual Endhog Abang dan Kinang."]
[caption id="attachment_344487" align="aligncenter" width="594" caption="Aneka lauk dan isian Sego Gurih."]
Tak hanya “Endhog abang” dan “Kinang” yang banyak dijual di saat-saat akhir Sekaten. Puluhan penjual Sego Gurih juga berjejer memenuhi sekitar Masjid Gedhe Kauman. Sego gurih atau Nasi gurih dibuat berwarna kuning atau putih yang melambangkan keagungan, keemasan dan ketulusan. Sego gurih disajikan dengan lauk dan tambahan yang beraneka rupa seperti kacang tanah goreng, kedelai hitam, serundeng, abon, telur dadar, telur pindang, suwir ayam, kerupuk, mentimun dan irisan kobis. Rasanya yang gurig dan tampilannya yang semarak mengandung harapan setiap orang yang memakannya akan mendapatkan kebahagiaan.
[caption id="attachment_344488" align="aligncenter" width="594" caption="Dua orang simbah penjual bunga dan Kinang duduk bersandar pada dinding Pagongan Masjid Gedhe Kauman tempat Gamelan Sekaten ditabuh."]
Gamelan Sekaten, Endhog Abang, Kinang dan Sego Gurih adalah tradisi-tradisi Sekaten yang sarat makna dan ajaran. Sayangnya tradisi-tradisi itu kini seolah berserakan tanpadirawat semestinya. Menyaksikan hampir semua penjual endhog abang dan kinang adalah para manula, begitupun para penikmat Gamelan Sekaten yang sebagian besar adalah para orang tua yang berjalan membungkuk, seperti sedang menyaksikan tradisi-tradisi yang sedang berjalan menuju senja kalanya. Semoga itu tidak terjadi.
[caption id="attachment_344491" align="aligncenter" width="594" caption="Simbah penjual Sego Gurih."]
[caption id="attachment_344492" align="aligncenter" width="594" caption="Simbah penjual Kinang menunggu pembeli di belakang Pagongan Masjid Gedhe Kauman."]
Sudah semestinya masyarakat dan pemerhati budaya bekerja sama untuk membangkitkan rasa menghargai tradisi Sekaten dengan tidak melepaskannya dari akar budaya dan sejarah syiar agama di masa lampau. Jika ada masyarakat yang salah mengartikan tradisi tersebut, maka yang perlu dilakukan adalah memberikan pemahaman ulang, bukan dengan “membunuh” Sekaten. Sekaten dan tradisi-tradisinya yang luhur adalah entitas budaya yang perlu dirawat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H