Mohon tunggu...
Wardatus Sholihah
Wardatus Sholihah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Malang

Semangatt

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Apa Penyebab Sulitnya Seseorang Mengatur Emosi Dirinya?

21 November 2022   09:15 Diperbarui: 21 November 2022   09:35 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sulit Mengatur Emosi (Freeprik-UI Sehat Mental)

Pernah gak sih kalian ngerasain sikap marah banget sampai-sampai ngebentak teman yang berada disekitar kita dan berkata jahat ke mereka, sampai-sampai kita nyesel telah ngelakuin sikap tersebut. Dan terkadang kita juga ngerasain sikap sedih banget sampai-sampai gak mood atau malah males banget ngelakuin apa-apa pengennya tidur aja, tapi akhirnya pasti kita nyesel banget karena diajak teman untuk jalan-jalan atau bermain sesuatu untuk menghibur diri kita yang malas dan gak mau.

Hal seperti diatas pastinya banyak dari kita yang merasakannya entah itu marah, sedih ataupun cemas dan pastinya didalam diri kita pasti bertanya-tanya kenapa ya kok diri saya sedih banget? Kenapa ya kok saya marah banget? Sampai-sampai kemarahan saya gak terkontrolkan. Na kalau dilihat-lihat dari kejadian yang seperti itu ada hubungannya nih dengan regulasi emosi. Apa sih regulasi emosi itu?

Konsep Dasar Regulasi Emosi

Menurut Chen (2016) regulasi emosi merupakan proses seseorang dalam mengatur dan mengubah emosi dirinya atau orang lain. Setiap individu mampu tetap tenang ketika berada di bawah tekanan dengan memiliki keterampilan regulasi emosi. Jadi jika kita pahami dengan mudah regulasi emosi merupakan kemampuan untuk mengatur emosi yang kita rasakan. Lah tapi kok di penjelasan sebelumnya yang berhubungan tentang emosi katanya emosi itu tidak bisa dikontrol. Apakah emosi itu bisa kita ubah? Emosi itu bersifat otomatis tidak bisa diubah ataupun diatur seenaknya. Contohnya jika kita diputusin pacar pastinya respon formalnya cenderung bakal sedih, sama juga dengan kasus jika kita di serobot orang saat sedang ngantri bank atau saat di supermarket ya pastinya respon formalnya ya kita bakal ngerasa kesal dan marah. Nah responsinya adalah respon yang otomatis, emosi ini otomatis gak bisa kita ubah jadi karena sifatnya otomatis pasti emosi ini akan muncul setiap ada stimulus atau kejadian apapun dari luar. Kalau memang emosi sifatnya otomatis bagaimana meregulasi emosi dengan baik? Sebenarnya kita bisa melakukan satu hal penting yaitu kita bisa memutuskan untuk mengontrol perilaku dan persepsi supaya hal yang kita lakukan tidak berdampak negatif dan supaya emosi kita bisa terkendali dengan baik. Jadi marahnya itu memang gak bisa dikontol, sedihnya itu otomatis tapi perilaku kita setelah kita merasakan emosi itu sebetulnya bisa kita control bisa banget kita regulasi supaya nanti kondisi kita bisa lebih baik dan kita tidak melakukan hal yang negatif. Inilah yang dimaksud meregulasi emosi yaitu mengontrol diri kita untuk melakukan tindakan yang baik buat kita dan tidak terlarut dalam emosi yang kita rasain.

Nah kenapa regulasi emosi penting? Pertama, regulasi emosi ini penting untuk mengurangi dampak negatif dari emosi yang kita rasakan, kalau kita bertindak mengikuti emosi kita tanpa kita atur dulu ada kemungkinan tindakan yang kita lakukan bakal berdampak negatif atau cuma bikin kita puas sesaat saja yang akhirnya bakal bikin kita nyesel karena kita jadi terlarut dalam emosi kita ngikutin mentah-mentah tanpa dipikirkan sebelumnya. Hal yang umum si ini berhubungan dengan emosi marah misal kalau kita di serobot orang saat dalam antrian panjang terus pas diserobot kita mukul orang tersebut. Na hal ini kan merupakan tindakan yang tidak kita pikirkan dulu karena mukul orang itu bisa saja berdampak negatif kita bisa saja mendapatkan masalah kita bisa dilaporkan polisi atau dipukul balik dan jadinya bertengkar makanya pentingnya kita untuk meregulasi emosi kita supaya kita tahu mana tindakan yang harus kita lakukan dan mana yang harusnya kita hindari. Dalam kasus diserobot orang tadi kalau kita sudah menguasai regulasi emosi ini kita bakal bisa mikir lebih jernih dan kita bisa melakukan tindakan yang lebih baik dan ini gak berlaku cuma untuk emosi negatif, emosi positif pun kalau kita terima mentah-mentah bisa jadi berakibat buruk missal kita di chat pacar sedikit pasti kita bakal seneng banget kan terus menganggap bahwa dia suka padahal ternyata dia ngechat itu cuma nanya tugas atau kerjaan. Nah kan ekspektasinya jadi tinggi banget kalau misalnya nanti ternyata gak suka gimana? kalau misalnya kita di friendzone nin gimana? kan itu jadinya negatif buat kita. Padahal kita bisa bereaksi dengan sewajarnya. Kedua, regulasi emosi juga mempengaruhi hamper semua aspek kehidupan seperti kesehatan mental kita sendiri kita bisa stress kalau selalu nurutin emosi tetapi habis itu nyesel, hubungan sosial kita karena regulasi emosi yang buruk , performance kita ketika disekolah, di tempat kuliah, atau tempat kerja dengan regulasi emosi kita bakal bisa mengontrol emosi dan performance kita emosi kita bakalan stabil kalau kita punys performance yang buruk missal di sekolah, kuliah, atau tempat kerja begitu pun sebaliknya kita jadi tidak meremehkan pekerjaan ketika performance kita jadi baik. Regulasi emosi akan bisa membuat kita bisa bekerja dengan baik dibawah tekanan entah tekanan dari atasan, customer atau beban kerjaan dan lain sebagainya. Jika regulasi emosinya kurang baik pasti kita bakalan kesulitan ketika mendapat tekanan karena reaksi emosional tidak bisa dikontrol dan bakalan mengganggu performat kerjaan kita. Makanya tidak heran kalau regulasi emosi ini sering kali jadi indikator kedewasaan seseorang. Karena jika ada orang yang belum bisa menangani emosi hidupnya jadi kurang teratur. Selain itu, hidup juga akan terasa lebih sulit dan jadi stress banget ya itu akibatnya karena tidak terkontrol dan menghasilkan dampak negatif.

Bagaimana meregulasi dengan baik? Pertama, kita perlu tahu dan sadar emosi manusia. Kenapa harus ada sih? Biar kita tahu di area mana kita bisa menginfors kemampuan regulasi emosi ini. Na tahap-tahap nya yaitu

  • Stimulus

Stimulus adalah kejadian apapun yang menimpa kita entah itu kecelakaan karena ketabrak mobil, diputusin pacar, dichat pacar, dan lain sebagainya. Intinya stimulus adalah kejadian apapun yang terjadi ke kita.

  • Interpretasi

Ketika memberikan interpretasi terhadap kejadian atau stimulus yang terjadi. Misal stimulus yang terjadi adalah pacar kita tiba-tiba nanyai kabar kita lewat chat saat kita mengalami kejadian seperti itu kita akan menginterpretasi kejadiannya. Kalau dichat pacar pasti interpretasi dan pikiran kita pasti cenderung positif, kalau kejadiannya beda missal bukan di chat pacar tetapi kejadian antrian kita diserobot sama orang lain ini cenderung menimbulkan interpretasi yang negatif. Nah ketika kita sudah menginterpretasi kejadiannya tahap selanjutnya dalam emosi adalah tahap gejala.

  • Gejala

Ditahap gejala akan muncul gejala emosi yang kita rasain. Emosi itu kan ada macam-macam ya ada marah, sedih, senang dan lain sebagainya. Disini emosi terjadi secara otomatis, ada gejala mental ada gejala fisik misal kalau lagi marah gejala fisiknya adalah jantung yang berdetak lebih kencang, badan kita jadi panas, dan lain sebagainya. Gejala mentalnya adalah yang kita rasain dipikiran rasanya kesel, negatif dan lain-lain yang kita rasain biasanya pas lagi marah. Setelah tahap gejala tahap selanjutnya adalah tahap perilaku.

  • Perilaku

Ditahap ini kita melakukan suatu tindakan berdasarkan emosi yang sedang kita rasakan. Kalau missal konteksnya sama kayak tadi missal antrian kita diserobot orang lain maka ditahap ini kita bisa saja negur orang yang nyerobot antrian atau bisa jadi perilaku kita diam aja atau bisa jadi juga kita langsung mukul orang yang nyerobot antrian kita.

Nah bagaimana cara kita meregulasi emosi?

  • Mengontrol Ekspektasi

Kita bisa mengontrol ekspektasi kita terhadap kejadian yang akan terjadi. Ini bisa dilakukan sebelum kita mengalami suatu kejadian atau mengalami suatu stimulus. Jadi seperti ini bayangkan dua orang yang berbeda misal mawar dan rahmat dua-duanya sama bakalan dicopet pas lagi nonton konser. Nah ada hal yang berbeda dari dua orang ini perbedaannya adalah mawar sudah punya ekspektasi bahwa dia akan di copet ketika sedang nonton konser karena dia tahu bahwa didaerah yang ramai dan banyak orang terutama itu konser itu rawan banget sama copet sementara rahmat dia gak punya ekspektasi apapun dia gak tahu kalau dia bakalan dicopet dan kalaupun dia dicopet dia gak punya persiapan apapun. Na akhirnya kedua nya sama-sama dicopet dan sama-sama kehilangan uang sekitar tiga ratus ribu beserta surat-surat penting di dompetnya.

Menurut kalian siapa yang bakalan lebih sedih?

Dalam kasus ini cenderung yang bakalan sedih pastinya Rahmat karena tadi dia gak memasang ekspektasi apapun diawal kalau dia bakalan ke copetan bahkan mungkin ekspektasinya berlebihan banget seperti wah kayaknya saya akan bahagia banget melihat konser ini dan lain sebagainya. Sementara Mawar dia sudah punya bayangan bahwa dia bakal kecopetan saat nonton konser tapi ya gak papa lah siap-siap aja karena mawar sudah punya ekspektasi yang rendah dan sudah siap-siap Mawar jadinya gak terlalu kaget, gak terlalu sedih, dan gak terlalu kepikiran berlebih soal pencopetan ini. Mawar lebih bisa mengontrol emosinya ketika dia sudah kecopetan berbeda dengan Rahmat dia mungkin akan cenderung merasa sedih banget karena gak mengekspektasikan apa-apa tahunya malah kecopetan. Na ini adalah jenis regulasi yang pertama yaitu mengontrol ekspektasi. Intinya kalau kita mempunyai ekspektasi yang rendah terhadap sesuatu ekspektasi itu akan membantu kita untuk lebih tenang menangani potensi-potensi masalah yang akan datang.

  • Mengontrol Interpretasi

Setelah kita menerima sebuah kejadian atau stimulus sebenarnya kita bisa memikirkan kejadian itu dari sudut pandang yang berbeda. Pastinya secara otomatis kita cenderung akan merasakan emosi negatif ketika ada kejadian yang menimpa diri kita ketika kejadian itu negatif. Nah tapi sebenarnya kita punya pilihan untuk memikirkan ulang interpretasi atas kejadian tersebut secara kognitif jadi bisa dipikirin bisa diubah gitu dan ini bisa memengaruhi intensitas emosi yang kita rasakan. Ketika kita dijahatin orang kita bisa saja memilih untuk melakukan interpretasi terhadap kejahatan orang tersebut mungkin awalnya kita kesel karena ngerasa waduh kenapa sih orang ini tapi sebenarnya kita bisa nyoba lihat dari persepektif lain dibandigkan kita nyalahin dunia dan orang yang ngejahatin kita sepenuhnya kita bisa reinterpretasi se simpel ya kenapa si dia ngelakuin itu? Apa sebelumnya dia ngalamin hal yang sama kayak aku? Jika kita mengalami hal yang sama seperti itu apakah kita akan melakukan hal yang sama? Sebaiknya kita harus mengubah pemikiran kita bahwa anggaplah hal negatif yang kita alami sebagai tantangan dan kesempatan belajar untuk berkembang. Reinterpretasi ini bakalan ngaruh ke emosi yang kita rasakan karena tadi saat kita mengalami emosi kalau interpretasi kognitif kita negatif emosi itu akan semakin negatif sebaliknya kalau interpretasinya positif pas lagi marah, sedih dan emosi negatif lainnya kita rasakan itu semua emosi tadi bakalan bisa menghasilkan dampak positif yang besar banget buat kita. Misal kita lagi marah ya sudah kita kan sebenarnya bisa aja menginterpretasi kemarahan itu sebagai momentum buat kita berkarya seperti kita bikin musik gitu untuk menuangkan kemarahan kita atau misalnya kita lagi sedih kita bisa saja menuangkan kesedihan itu lewat tulisan yang kita buat. Menariknya, kalau misalnya bikin sesuatu didukung sama emosi kita yang pas banget karya kita jadi jauh lebih autentik dan jauh lebih bagus.

Ingat! Jangan begitu terlarut dalam emosi. Biasanya ini terjadi saat kita dibuat kesal sama orang terus kita ngerasain gejala emosinya terus kita ikutin emosi itu dan kita ngelakuin hal-hal yang bakalan kita sesali entah itu ngata-ngatain orang yang bikin kita kesal sampai kita gak jadi lagi temanan sama dia atau sampai berkelahi dan mecah-mecahin barang. Ini contoh yang umum banget dimana orang terlarut dalam emosinya dan membiarkan emosi itu mengontrol perilaku mereka. Selalu ingat bahwa perilaku itu bisa kita kontrol, dalam keadaan marah kita bisa milih untuk ngatain balik, kita bisa milih untuk minum air putih dulu biar tenang, kita bisa milih untuk diam dulu dan kita bisa memilih untuk langsung berkelahi saja. Ini yang harus kita sadari bahwa kita pasti punya pilihan kecuali dalam kasus tertentu misal kita mengalami depresi maka tentu kapasitas untuk memilih akan berbeda dengan orang yang tidak mengalami depresi tapi secara umum ingat bahwa kita bisa memilih. Jadi kita harus sadar bahwa perilaku adalah hasil pilihan, bukan hasil dari emosi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun