‘Abdul muthallib atau kerap dipanggil kakek Nabi Muhammad adalah seorang pemuka besar suku quraisy. Beliau memiliki putra bungsu yang tampan dengan segi fisik yusuf di zamannya. Akhlaknya terpuji dan kecakapan berpikirnya tak perlu diragukan lagi. Dengan ini suku quraisy mudah mencarikan pendamping hidup untuk putra ‘Abdul Muthallib.
Sebuah wasiat dari mendiang Ka’ab bin Lu’ay telah mengalir dalam tubuh keluarga beliau. Kakek ketujuh Rasulullah juga pemimpin kaum quraisy pada zamannya telah mewanti-wanti keturunannya agar tidak melakukan perbuatan zina juga menikahi orang-orang yang memiliki garis keturunan yang pernah melakukan zina. Semua ini diberlakukan karena sang kakek yakin keturunannya akan ada yang menjadi nabi.
Karena itu beliau sangat hati-hati setiap menikahkan putranya. Apalagi ‘Abdullah putra bungsu kesayangan. Ia berusaha keras untuk tidak salah pilih. Sekali keliru, akan mengakibatkan kekecewaan sang putra mahota. Kekecawaan itu adalah tusukan perih tepat ke ulu hati ‘Abdul Muthallib yang tak akan bisa diobati.
‘Abdul muthallib telah mengambil keputusan. Ia berangkat ke perkampungan zuhrah untuk kunjungan lamaran. Pada keberangkatan ini beliau tidak hanya melayangkan satu lamaran. Namun, sekali berangkat beliau membawa satu misi degan dua sasaran sekaligus. Ia berkunjung kekediaman Wahab bin ‘Abdul Manaf bin Zuhrah yang memepunyai gadis cantik Bernama Aminah dan juga sepupu Aminah yang Bernama Halah putri dari wuhaib -saudara kandung Wahab-.
Siapa yang tidak akan menerima lamaran yang sangat indah dari seorang putra pemuka quraisy yang disegani. Seorang laki-laki rupawan ini menjadi sosok idaman para wanita yang tak perlu diragukan kemuliaannya bahkan tanggung jawabnya. Keduanya menerima lamaran dengan baik oleh Wahab dan Wuhaib. Akhirnya hasil dari lamaran Abdullah jatuh kepada Aminah binti Wahab pemimpin dari klan Zuhrah.
Hari dimana Abdullah bin Abdul muthallib untuk menikahi seorang gadis cantik Aminah binti Wahab pun tiba. Langkahnya yang gagah dan tenang berjalan menuju calon rumah mertua, semakin menambah wibawa mereka berdua. Disebuah jalan dekat ka’bah, rombongan mempelai laki-laki bertemu dengan Laila al-adawiyah, saudara perempuan Waraqah. Laila mengetahui bahwa akan lahir seorang nabi dari suku quraisy dari waraqah.
Sebagai seorang kristiani yang taat, Waraqah sangat rajin mempelajari kita-kitab kuno agama tersebut. Dari kitab itulah ia menemukan catatan yang menerangkan ciri-ciri nabi terakhir. Pernyataan ini terngiang dalam pikiran Laila. Wajar, ia melihat sebuah cahaya diwajah ‘Abdullah, dia berfikir mungkin ini adalah ayah dari calon nabi yang diutarakan Waraqah.
Tanpa mempedulikan puluhan pasang mata yang melihat dirinya, Laila mencoba menghentikan ‘Abdullah dan menyapanya.
“ ‘Abdullah, engkau hendak pergi kemana?”. Tanya Laila. Mungkin ini pertanyaan terbodoh yang pernah ia utarakan pada seseorang. Padahal sudah jelas ia mengetahui kalau ‘Abdullah sedang meuju pelaminan Bersama ayahnya.
“aku hendak pergi Bersama ayah” jawab ‘abdullah santai.
“ ‘Abdullah jika engkau engkau bersedia menerimaku sebagai istrimu makaa aku akan memberimu serratus ekor unta”. Ucap Laila dengan blak-blakan. Dengan bijaknya ‘Abdullah menjawab :
“Aku selalu mengikuti kehendak ayahku dan aku tidak akan pernah meninggalkannya.”
Jawaban itu mengakhiri perbincangan ‘Abdullah dan Laila. Lalu Ketika ia melanjutkan perjalanannya bahkan belum sampai dirumah ditujunya, ‘Abdullah dicegat Kembali oleh seorang wanita. Dia adalah Fathimah binti Murr al-Kha’tsamiyyah, seorang peramal yahudi yang mendalami kitab taurat.
“Wahai pemuda, maukah engkau sekarang bersetubuh denganku. Aku akan memberimu seratus unta jika kamu mau melakukannya?” ucap Fathimah tanpa rasa malu ini didasari dari keyakinannya bahwa ‘Abdullah calon ayah dari nabi yang ditunggu-tunggu oleh kaum yahudi dan nashrani.
“Segala sesuatu yang diharamkan, aku bersedia mati untuk menjauhinya. Sedangkan yang telah dihalakan maka aku harus mengetahui lebih jelas tentangnya. Bagaimana kau akan memenuhi permintaanmu yang tercela itu padahal orang yang mulia akan menjaga harga diri dan agamanya!” jawab ‘Abdullah dengan ketus sebagai sedikit pelajaran atas kelancangan perempuan itu.
Semua Wanita yang mendatanginya gigit jari karena beliau tetap tak goyah. Baktinya kepada orang tua membuatnya teguh dan tak sedikitpun tertarik untuk menanggapi goadaan-godaan itu. Pada saat itu tepat diusianya yang kedelapan belas ia mengucapkan akad nikah dihadapan Wahab, ayah Aminah dan menjadi suami sah dari Siti Aminah
Diambil dari kitab Lentera Kegelapan karya Purna Siswa 2010 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien Lirboyo Kota Kediri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H