Istanbul, Turki menjadi tempat bertemunya perempuan berhijab dari berbagai negara dengan latar belakang budaya, juga persepsinya tentang fashion muslim. Di negara sekuler dengan mayoritas warganya adalah muslim, sebuah pertunjukkan fashion muslim digelar, Istanbul Modest Fashion Week atau IMFW, menghadirkan media asing dan komunitas hijab dari berbagai negara. Bahkan sosok perempuan berhijab, para influencer, pun hadir merayakan ajang silaturahim perempuan berpakaian tertutup yang bagi sebagian orang di Turki atau negara barat lainnya, masih asing bahkan disebut konservatif.
Memantau media sosial beberapa teman di Turki, pada 13-14 Mei 2016 saat berlangsungnya IMFW, saya tergerak ingin menuliskan cerita para perempuan Indonesia yang berpartisipasi dalam ajang silaturahim komunitas hijabers dunia ini. Mengikuti beberapa kegiatan mereka melalui media sosial membuat saya terkagum-kagum, saya pun turut berbagi kebanggaan lewat media sosial. Hingga akhirnya saya membaca artikel dari media ternama di Inggris, Daily Mail ini, saya semakin tergerak ingin menuliskan opini sekaligus bertanya, kenapa media mainstream di Indonesia tak mengangkat kisah menarik para perempuan Indonesia ini?
Artikel di Daily Mail ini bukan sekadar laporan kegiatan International Modest Fashion Week, namun ada isu di dalamnya, tentang perspektif masyarakat Turki bahkan warga dunia tentang modest fashion/conservative wear/muslim fashion, apa pun itu istilahnya, yang mewakili busana muslim. Silakan membacanya di sini.
Membaca artikel itu saya berasumsi, bukan perkara mudah mengadakan pergelaran akbar, pertama kalinya, hajatan fashion muslim di negara yang masih asing dengan busana muslim Saya pikir, ini adalah terobosan yang dijalankan dengan penuh keberanian. Berlangsungnya IMFW ini menjadi sorotan dunia. Kantor berita ternama The Associated Press bahkan mengirim jurnalisnya meliput ajang ini.
Saat mulai menulis ini, saya belum mendapatkan informasi lebih banyak dari teman-teman di sana. Mungkin karena mereka masih sibuk menghelat acara. Pesan saya pun berbalas dari teman Chaera Lee yang mewakili Indonesia dengan brand fashion muslimnya, MeeMaa Style atas mentoring desainer fashion muslim ternama Indonesia, Najua Yanti Ramadhan.
Chaera Lee adalah perempuan Indonesia, desainer yang mendapatkan kesempatan dan memiliki kesiapan memamerkan kreasi fashion muslimnya di komunitas dunia. Atas arahan dari mentornya, Najua Yanti (Founder Hijabersmom Community), Chaera Lee yang aktif di Hijabersmom Community Bekasi, mengenalkan koleksi fashion muslim MeeMaa Style bersama Lisandra.
Selain Najua Yanti, Chaera Lee juga mewakili Indonesia di IMFW bersama para seniornya, Hannie Hananto, Monika Jufry, Irna Mutiara, serta dua brand mewakili Indonesia Fashion Chamber (IFC) yakni Anggia Handmade dan De Irma.
Istilah Fashion Muslim tak dimunculkan di pergelaran ini. Melakukan gebrakan dengan tetap menghargai perbedaan sudut pandang, saya nilai menjadi alasan di balik penggunaan nama Modest Fashion Week. Istilah “Modest” memang kerap diasosiasikan dengan busana muslim atau fashion muslim. Istilah yang menunjukkan bahwa perempuan berjilbab menggunakan busana yang santun, menutup auratnya, tidak membentuk lekuk tubuh, tidak transparan, tidak ketat, namun tetap bisa bergaya dengan berbagai selera penggunanya.
Bagi saya, pilihan busana kembali kepada selera dan gaya personal seseorang termasuk perempuan berjilbab, juga dipengaruhi proses perjalanan hidupnya dalam memahami hijab, bahkan tingkat ekonominya pun berpengaruh. Soal memilih busana muslim yang tetap memenuhi aspek gaya hidup, namun patuh pada syariat, saya pun mengambil kesimpulan pribadi, butuh pengeluaran lebih untuk itu dan tingkat ekonomi seseorang akan mempengaruhi daya beli. Umumnya busana muslim yang stylish dan syar’i harganya cukup tinggi. Pilihannya, padu padan busana, lebih hemat namun kadang ada beberapa aspek persyaratan dasar tak terpenuhi. Hingga akhirnya paling aman pilih gamis atau abaya yang stylish, lalu berjilbab yang menutupi dada, maka terpenuhilah kriteria busana muslim di antaranya longgar atau tidak ketat, tidak transparan, tidak membentuk lekuk tubuh.
Sampai di sini saya mau katakan bahwa busana muslim, fashion muslim, busana Islami sangat banyak variannya. Kreativitas desainer, UKM, dan industri teruji dengan semakin tingginya kebutuhan busana muslim, apalagi di Indonesia dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, yang setidaknya ada kebutuhan bagi pengguna hijab ataupun tidak untuk berbusana muslim, baik dalam keseharian maupun penggunaan khusus dalam perayaan agama. Baik dari kalangan yang sedang belajar berhijab sampai yang tahapannya sudah nyaman berbusana abaya/gamis dengan beragam modelnya.
Melalui ajang IMFW, Turki sebagai negara yang dapat menghubungkan Asia dan Eropa, menjadi tempat pertemuan strategis untuk mengenalkan busana muslim. Fashion muslim pun sangat mungkin berkembang pesat memenuhi kebutuhan warga dunia. Semakin bertumbuhnya perempuan berjilbab yang leluasa menjelajah dunia, merantau untuk belajar dan bekerja di negara barat misalnya, maka kebutuhan fashion muslim akan tetap ada, karena komunitasnya perlahan terbentuk di seluruh negara di dunia.
Beda individu beda gaya personalnya, maka selama ada beragam pilihan busana muslim terbukalah peluang untuk produsen dan bervariasi pilihan untuk konsumen. Nah, apalagi beda negara beda lagi kebutuhan busana muslimnya. Perempuan berjilbab di Inggris berbeda kebutuhan pakaiannya dengan perempuan berjilbab di Timur Tengah. Bukan hanya soal fungsi pakaian, tapi juga warna dan motifnya. Kalau Timur Tengah berani bermain warna, itulah sebabnya Dian Pelangi punya pasar besar di Timur Tengah, beda lagi dengan Inggris yang lebih menyukai warna gelap. Lain lagi dengan Turki yang gaya busananya cenderung formal cenderung konservatif.
Di luar penerimaan yang beragam atas hadirnya inspirasi busana Islami di International Modest Fashion Week, pergelaran ini sebenarnya menjawab kebutuhan perempuan berjilbab di seluruh dunia. Mereka butuh berjejaring, bukan hanya sekadar mencari inspirasi busana muslim dunia, namun juga saling menguatkan karena bagaimana pun sisterhood dibutuhkan. Menjadi pengguna jilbab di negara yang belum sepenuhnya menerima bukan perkara mudah rasanya, meski saya belum pernah mengalaminya. Namun lihat saja sekitar kita, di Indonesia, di negara yang menerima Islam sebagai agama resminya dan mayoritas pemeluknya, kita bergaya atau berpenampilan dengan busana muslim yang sedikit berbeda saja, bisa menuai perbedaan persepsi bahkan adu argumen tiada henti.
Indonesia barangkali negara Islam yang paling ajaib dengan berbagai keragamannya. Soal busana muslim saja bisa banyak versi dan variasinya. Pada akhirnya, pilihan kembali kepada pengguna, bukan soal benar atau salah, namun mana yang paling nyaman dikenakannya sesuai karakter dirinya, gaya personalnya, namun ajakannya adalah tetap memerhatikan aspek dasar busana muslim dan rasanya semua perempuan sedang berproses belajar untuk bisa mempraktikkanya lebih utuh.
International Modest Fashion Week menjadi pembuka mata dunia tentang busana muslim/pakaian Islami/fashion muslim. Langkah yang cerdas dan berani karena berangkat dari negara yang sedang membangun Demokrasi termasuk dalam hal berpakaian untuk perempuan muslim.
Berkumpulnya perempuan berhijab dari seluruh dunia di Istanbul, Turki selama dua hari, semua berpakaian tertutup yang disebut Daily Mail sebagai busana konservatif, membawa pesan bahwa perempuan berhak menentukan pilihan atas busananya sendiri, bukan hanya bicara gaya personal tapi hak menutup auratnya.
Saya pun turut bersemangat menyaksikan dari jauh pergelaran fashion ini. Modanisa, ritel online fashion muslim berbasis di Turki, memberikan dukungan penuh sebagai sponsor utama event yang berlangsung dua hari menghadirkan 70 desainer seluruh dunia termasuk dari Indonesia ini. Bukan hanya desainer Indonesia yang terlibat, seorang perempuan Indonesia pun punya andil besar. Adalah Franka Soeria yang menjadi salah satu konseptor, inisiator, sekaligus pelaksana IMFW.
Franka Soeria, namanya sudah dikenal di komunitas hijab dunia melalui alahijab. Franka membangun komunitas hijab mempertemukan hijabers dari berbagai negara yang memiliki kesamaan, memakai dan menyukai bahkan mengikuti tren fashion hijab. Komunitas yang dibangunnya berangkat dari dunia maya. IMFW menjadi gathering perdana komunitas hijab dunia ini. Tak heran jika antusiasme hijabers dunia sangat tinggi atas fashion event ini.
Meski sebagian warga Turki memisahkan fashion dan Islam, bahwa ada anggapan sebagian kecil masyarakat bahwa fashion dan Islam tak bisa dipertemukan, Demokrasi tetap berjalan. Bahwa ada sebagian lagi masyarakat yang merasa nyaman di lingkungan pengguna dan penyuka fashion muslim, Islamic clothing.
Saya pun akhirnya bisa berbincang dengan Franka lewat media sosial usai IMFW. Banyak fakta mengejutkan juga membanggakan datang dari ceritanya.
Mulai dari pemberitaan media internasional yang ternyata bukan hanya AP, Daily Mail tapi juga Guardian, New York Times, Washington Post bahkan Vogue. Sayangnya media di Indonesia hanya dua saja yang mengangkat IMFW, padahal ada perempuan Indonesia sebagai salah satu penggagas ajang fashion muslim dunia ini, dan ada desainer Indonesia yang tampil di IMFW perdana.
“Pengunjung 10.000 dari 30 negara,” kata Franka mengawali ceritanya.
Franka melanjutnya, respons dunia bagus terhadap IMFW meski baru berlangsung pertama kali dan menjadi sesuatu hal baru di Turki. Event ini bisa dibilang revolusioner karena menyatukan dua dunia, yakni masyarakat sekuler dengan masyarakat berhijab, dua hal yang kata Franka sangat terpisah di Turki.
Sesuatu yang baru inilah menjadi daya tarik media asing. Meski sebenarnya, kata Franka, fashion event semacam ini sudah lebih dahulu dilakukan di Indonesia. Namun terkendala jarak yang jauh, beberapa media internasional tak bisa hadir di ajang fashion muslim Indonesia.
Bukan hanya media internasional, influencer, blogger dunia juga memeriahkan IMFW. Franka menyebutkan Dina Tokio, Hijarbie, Noor Tagouri (anchor berhijab pertama di dunia), kolumnis Melanie Elturk, hingga Samah Safi dari industri perfilman pun hadir.
Selain Franka, ada Ozlem Sahin di balik IMFW ini. Kedua perempuan ini adalah Advisory Council IMFW, penggerak ajang fashion muslim di Istanbul. Kalau Franka perannya lebih kepada jaringan internasional, Ozlem yang berlatar belakang fashion mainstream fokus pada jaringan di dalam negeri Turki.
Dengan perannya menghubungkan jejaring internasional, Franka yang tinggal di Turki, tetap bertanah air Indonesia dan ingin koleganya ikut maju bersamanya. Franka pun membuka penawaran seluas-luasnya kepada desainer fashion muslim Indonesia, dan berangkatlah beberapa nama tadi.
IMFW pun menjadi ajang mengenalkan Indonesia dengan keragaman busana muslimnya. Dengan sambutan positif dunia, melalui pemberitaan media, ramainya Instagram yang lebih populer di dunia internasional, juga respons positif warga dunia, IMFW menjadi wadah mengenalkan fashion muslim dari Indonesia.
"IMFW is everywhere in the social media" kata Franka, meski di Indonesia tak terdengar gegap gempitanya.
Selamat datang kembali desainer fashion muslim Indonesia yang sudah menjadi 'duta' di Istanbul Turki, dan selamat pulang kampung Franka Soeria yang akan mendatangkan fashion designer Turki, Italia, Uni Emirat Arab, Bangladesh, juga Malaysia ke Indonesia memeriahkan Muffest 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H