Dr Schott juga memberikan pandangan yang tak kalah mencerahkan. Menurutnya, dalam dunia pendidikan yang penting bukan apa yang diajarkan tapi bagaimana proses belajar. Proses belajar yang proaktif di sekolah, di mana siswa terlibat aktif dalam pelajaran, lebih dibutuhkan. Anak-anak akan memahami pelajaran dengan terlibat di dalamnya.
Sekolah semestinya bisa membuka wawasan dan memberikan pencerahan kepada anak-anak. Seperti kata Schott, “Biarkan anak-anak pergi ke sekolah dan membuat pilihan ingin menjadi apa nantinya.”
[caption caption="Kriteria sistem pendidikan. Dok. Putera Samperna Foundation"]
Menyiapkan SDM yang Kompeten
Anak yang mampu membuat pilihan, bisa mengambil keputusan, tahu ingin dan akan menjadi apa nantinya tidak lahir dengan sendirinya. Adalah peran orangtua dan pendidik yang bisa menciptakan generasi dengan kemampuan berpikir analitis seperti ini.
Orangtua kembali punya peran teramat penting, karena orangtua lah yang membuat pilihan ke sekolah mana anaknya akan berlatih berbagai kemampuan, keterampilan, dan menggali ilmu pengetahuan sebagai bekal hidupnya nanti.
Memilih sekolah dengan kurikulum yang paling mendekati kompetensi global kemudian menjadi kebutuhan di era kini. Apalagi era pasar bebas sudah semakin di depan mata. Kalau SDM Indonesia tidak dibekali dengan kemampuan berstrandar internasional, jangan heran jika SDM kita berada di level kompetisi terendah.
“Pada 2030, kalau sistem pendidikan tidak melatih analytical thinking, problem solving, kompetensi di bawah kebutuhan pasar,” kata Nenny.
Menurut Nenny, Indonesia masih berada di level rendah soal pendidikan. Soal kemampuan berbahasa Inggris saja misalnya, sebagai salah satu cara menembus pasar global, Indonesia masih di bawah Vietnam.
“Vietnam bahasa Inggrisnya di atas rata-rata orang Indonesia,” ungkapnya.
Indonesia punya banyak persoalan untuk mengejar ketertinggalan dunia pendidikan yang bisa menelurkan SDM sesuai komptensi global. Soal akses pendidikan di Indonesia, dana masih jadi kendala utamanya.