[caption caption="Dok. Wardah Fajri"][/caption]Cinta dan patah hati, topik ini memang tak ada matinya, dan selalu jadi pilihan cerita dalam film. Termasuk di film drama romantis Thailand yang saya tonton Jumat (19/2/2016). Bagaimana si pembuat film mengemas isu abadi ini lah yang akan menentukan seberapa menarik dan membekasnya film tersebut.
Usai menonton Film Thailand berjudul Love H20, saya terhibur namun sayangnya tidak meninggalkan kesan membekas. Kisah cinta dan patah hati di film Thailand Love H20 dikemas dengan sangat sederhana, bahkan cenderung mudah ditebak arah ceritanya. Tidak ada konflik yang bikin “geregetan” dan penasaran untuk menyimak cerita dari awal hingga akhir film. Meski begitu, saya masih bisa menemukan pesan bahwa ketika hati terobati dari sakitnya putus cinta, maka cinta baru pun tumbuh dengan suburnya tanpa diduga.
Setidaknya film Love H20 ini menjadi pengingat bagi saya, agar jangan lupa menjaga hati, membuka diri, supaya selalu dikelilingi cinta. Meski cinta di film ini hanya dibatasi urusan perasaan lawan jenis. Bagi saya, film ini sedang mengingatkan kita untuk memelihara hati agar tak dikuasai perasaan negatif yang merusak dan menjauhkan dari damainya rasa cinta universal yang tak sekadar bicara soal hubungan pecintaan perempuan dan lelaki.
Saya pun menduga, barangkali film ini akan terasa berbeda bagi kalangan belia, yang sedang menikmati indahnya jatuh cinta. Film yang berkisah tentang perempuan patah hati ini mungkin kurang “greget” untuk orang dewasa berusia matang yang sudah melewati masa-masa mabuk cinta. Namun lain cerita bagi remaja yang sedang mabuk cinta. Sambil menonton, saya pun jadi mengingat berusaha menggali memori lama, kapan ya terakhir kali mabuk kepayang karena cinta dan tak karuan gara-gara patah hati? Sampai film usai saya tak menemukan jawabannya, karena memang sudah lama sekali masa-masa itu. Akhirnya saya kembali menyimpulkan, film ini barangkali lebih tepat ditonton oleh remaja.
Saya pun akhirnya mengalihkan perhatian ke hal teknis dari film Love H20. Saya menikmati lokasi syuting film Thailand yang mengangkat budaya tradisional Tiongkok. Pemilihan lokasi khusus yang tidak mainstream membuat saya menikmati sisi lain film ini. Lokasi yang membuat saya ingin menjelajah sisi lain Tiongkok yang indah. Saking indahnya, saya sampai berpikir jauh mengapa banyak warga Tiongkok merantau ke Kota atau bahkan ke luar negeri dan menyebar di berbagai negara, kalau ada tempat tinggal yang sangat indah di negeri asalnya. Ah, pikiran saya jadi ke mana-mana menyaksikan pemandangan indah sebuah desa di Tiongkok.
Penggambaran tentang sebuah hotel melegenda di kawasan tersebut juga membuat saya terusik ingin pergi menelusuri sendiri tempat itu. Saya pun melamun ingin traveling ke destinasi wisata Tiongkok yang diangkat film Thailand ini.
Setidaknya film ini mengangkat budaya dan memberikan inspirasi destinasi wisata di Tiongkok. Pengalaman beda yang saya rasakan dari film ini sungguh menghibur dan menyenangkan.
Rasa menyenangkan juga saya dapatkan di akhir film ini. Betapa ketika kita membuka hati, mengobati dan berdamai dengan diri, makan cinta hadir di sekeliling kita dan pada akhirnya kita pun bisa berbahagia.
Ya, film tipikal Happy Ending ada di “Love H2O”. Berbeda dengan film yang pernah saya tonton sebelumnya, yang membuat saya tak berhenti membicarakannya yakni “Heart Attack”. Keduanya film dari Thailand, berkisah tentang anak muda di era kekinian, namun beda kesan yang ditinggalkan. Bicara film pada akhirnya kembali kepada selera.
Yang pasti saya belajar dari film Thailand “Love H2O” ini, dan pegiat film semestinya juga mau belajar dari film luar apalagi ini masih level Asia. Untuk belajar, mencari kekurangan bukan untuk membanggakan diri sendiri tapi untuk menjadi motivasi supaya sineas Indonesia pun bisa mencipta karya film yang lebih baik.
Catatan saya untuk film ini soal teknis, meski saya bukan pegiat film, saya mendapati beberapa hal tidak rasional terutama dalam urusan wardrobe. Film ini seperti ingin mengangkat kekinian menonjolkan sisi seksi pemeran utama wanita dengan pilihan busana yang serba minim, baik pakaian atas atau bawah. Saking ingin menunjukkan kekinian atau mungkin keseksian, sayang sekali ada pemilihan wardrobe tak sesuai. Film semestinya juga rasional, kalau di suatu daerah yang sangat dingin suhunya, ketika penduduk setempat menutup rapat tubuh dengan pakaian tebal dan bertumpuk, lantas mengapa ada sosok yang menggunakan pakaian mini. Bolehlah digambarkan sebagai turis muda yang sedang tampil seksi, tapi logikanya, seorang petualang muda pun ketika akan mengunjungi suatu tempat akan melakukan riset, minimal daerah yang dikunjunginya seperti apa dan harus menyiapkan apa,berpakaian apa. Lalu digambarkanlah sosok utama di film ini kedinginan. Adegan yang saya bisa berempati merasakan, bagaimana tidak kedinginan di suhu dingin dataran tinggi yang minim oksigen, menggunakan pakaian mini sementara lawan mainnya menggunakan jaket.