Baru setegah film berjalan, saya sudah mendapatkan banyak pesan dan makna di baliknya. Saat si Uni/Mak menolong Hans, pemuda Papua yang ditemuinya tergeletak di jembatan penyebrangan, kita belajar indahnya toleransi, kejujuran, kebaikan dan niat membantu sesama apa pun warna kulit, agama, suku dan label seseorang, tanpa prasangka.
Uni adalah sosok langka yang mau menolong orang tak dikenal bahkan kemudian mempekerjakannya, sosok ibu yang peka, barangkali punya kelebihan bisa melihat adanya potensi dalam diri seseorang yang baru dikenalnya dan memberi kesempatan agar potensi itu berkembang. Inilah poin dari Tabula Rasa yang berarti memulai sesuatu tanpa prasangka, seperti kertas kosong.
Hans, adalah sosok pemuda yang bermimpi besar. Meninggalkan panti asuhan di Serui, demi wujudkan cita-cita sebagai pemmain bola profesional. Impuannya pupus karena kakinya patah dan klubnya lebih memilih mencari bibit baru daripada harus merawat Hans yang memakan biaya. Sepenggal kisah Hans menjadi Sebuah potret dunia sepakbola kita yang lemah dalam pembinaan talentanya.
Sosok yang juga menggambarkan realitas di Indonesia atau bahkan di seluruh dunia, adalah uda Parmanto, si juru masak. Tokoh ini mewakili para oportunis dan orang yang penuh prasangka. Singkat cerita, uda Parmanto tak sudi ada Hans di Lapau karena akan menambah pengeluaran. Lalu ia mencari lahan lain yang lebih menguntungkan demi tuntutan membiayai keperluan rumah tangganya. Ia pun mencuri resep Uni dan bekerja di restoran padang ber-AC yang jauh lebih mewah tampilannya, berlokasi berdekatan dengan Lapau yang selama ini menjadi sumber penghidupannya.
Sementara uda Natsir adalah penengah. Sosok yang memang dibutuhkan di negeri multikultur seperti Indonesia. Sosok yang bisa mengkomunikasikan segala sesuatunya, meredakan konflik, menanggapi perbedaan sebagai hal biasa yang tak perlu dihadapi secara emosional.
Tak banyak tokoh dihadirkan dalam film ini, namun banyak makna yang bisa digali. Banyak Pertanyaan yang dibiarkan tak terjawab. Film ini sekan mengajak penontonnya untuk memberi jawaban versi masing-masing termasuk akhir ceritanya yang bagi sebagian orang dianggap, "menggantung".
[caption id="attachment_326679" align="aligncenter" width="600" caption="Pemeran Tabula Rasa (Dok Lifelike Pictures)"]
Di bawah Production House Lifelike Pictures (sebelumnya telah memproduksi film ‘Pintu Terlarang' dan ‘Modus Anomali'), film ini diproduseri Sheila Timothy (Lala Timothy) dengan Co. Produser Vino G. Bastian, disutradarai oleh Adriyanto Dewo, dan script ditulis oleh Tumpal Tampubolon.
"Open ending", demikian kata Vino saat berbincang dengan penonton usai Nobar. Vino dan Jimmy Kobogau (Hans) tiba-tiba saja muncul di depan layar seusai film berakhir dalam kegiatan Nobar Tabula Rasa, Jumat, 26/9/2014. Rupanya, usai Nobar, pemain dan produser ini membuka kesempatan kepada Kompasianer dan komunitas lainnya untuk bertanya dan berdiskusi singkat soal film ini.
"Tiap kehidupan enggak selalu happy ending," kata Vino. Termasuk dalam sepotong kisah kehidupan yang ingin disampaikan lewat film ini. Ending Tabula Rasa sengaja dibuat seakan menggantung, meski sebenarnya adalah, menurut saya, memberikan ruang penafsiran yang lebih bebas kepada penonton. Siapa pun boleh menafsirkan perjalanan Hans, Lapau, dan setiap orang yang diperankan dalam film tersebut.
Penasaran? Dukung kreativitas sineas Indonesia dengan datang segera ke bioskop (bukan beli VCD bajakan), dan tafsirkan sendiri apa makna di balik film yang satu ini. Saya yakin Anda akan mendapatkan pembelajaran, sekecil apa pun itu.