[caption id="attachment_349835" align="aligncenter" width="500" caption="Peragaan busana muslim koleksi Sweet Royale olej Jeny Tjahyawati (FOTO:KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO)"][/caption]
Mendapatkan kesempatan menjadi peserta hangout KompasianaTV dengan topik Industri Kreatif tak sudi saya sia-siakan. Saya belum menjadi pelaku ekonomi kreatif yang sudah berkiprah banyak seperti beberapa peserta/kompasianer lainnya, namun saya merasa perlu bersuara dengan pengalaman saya mengikuti perkembangan industri fashion sejak 2010 silam.
Menjadi penulis media online yang bersentuhan dengan dunia fashion membawa kesenangan sekaligus menumbuhkan kepedulian dalam diri saya. Industri fashion, jangan melihat dunia ini sebagai sesuatu yang di awang-awang, dunianya kalangan menengah atas, atau dunia yang tak tersentuh. Dunia fashion melibatkan banyak pihak dan berbagai lapisan masyarakat. Kalau melihat lenggak-lenggok model di panggung busana, serta gaya desainer yang nyentrik dan unik penuh terobosan kreatif, mungkin kita sekilas melihat dunia fashion tak tersentuh. Namun, di balik panggung mode dengan kesan glamor yang melekat padanya, ada banyak pekerjaan yang melibatkan berbagai pihak, dari hulu hingga hilir, dari desainer sang pencetus ide hingga UKM yang mewujudkan ide menjadi aneka ragam pakaian mengangkat potensi lokal.
Industri fashion menggerakkan ekonomi kreatif, dari hulu ke hilir. Karena itulah banyak pekerjaan rumah yang menumpuk dan belum tertuntaskan hingga kini. Sejak 2010 saya mengikuti permasalahan atau bolehlah kita sebut tantangan industri fashion, ternyata hingga 2015, masalahnya masih sama.
Saya menyoroti bagaimana industri fashion kita masih berjalan sendiri-sendiri. Tak ada salahnya, toh pada akhirnya masyarakat semakin melek fashion dan produk lokal pun terangkat derajatnya. Namun, kalau mau bangsa ini besar dengan ekonomi kreatif dari sektor fashion, sektor apparel, sektor tekstil yang melimpah sumbernya di negeri ini, semestinya sinergilah yang menjadi penyatunya. Yang saya perhatikan, industri fashion masih dimanjakan dengan branding di dalam dan luar negeri, sementara urusan perdagangannya, urusan peningkatan kualitas produknya, dan berbagai PR lainnya, ternyata belum banyak kemajuannya.
Sebelum bersuara di KompasianaTV, saya pun mengonfirmasi kegalauan saya kepada teman-teman pelaku industri fashion. Kepada Mbak Ibah dan Mbak Dina Midiani dari Asosiasi Pengusaha Perancang Mode Indonesia (APPMI) saya bertanya perkembangan terkini. Kepada teman baik di Turki, seorang fashion stylist asal Indonesia yang kini menjabat sebagai manajer situs e-commerce muslim terbesar di Turki, Franka, saya pun berdialog. Sekadar ingin memastikan, apakah yang ada di pikiran saya sama halnya dengan mereka. Ternyata benar adanya. Saya menyimpulkan, industri fashion berjalan di tempat karena masalahnya masih saja sama dengan yang saya perhatikan beberapa tahun lalu.
Mbak Dina, yang juga adalah Direktur Indonesia Fashion Week atau IFW menekankan pentingnya sinergi dan menginginkan adanya kesempatan duduk bersama dengan pihak pemerintah mengenai kelanjutan rencana pengembangan industri fashion. Sementara Franka membandingkan, di Turki, perhatian lebih menuju pada kualitas produksi dan perdagangan produk fashion. Sedangkan di Indonesia, masyarakat kita masih asyik bertepuk tangan menikmati sajian di atas panggung mode. Perdagangan, penjualan, kualitas produk, belum dimaksimalkan.
Nah, yang jadi pertanyaan saya, kalau 2013 lalu pelaku industri fashion sudah merencanakan blueprint fashion hingga lima tahun ke depan (terhitung sejak 2013), terutama IFW yang sudah merancang berbagai program, lantas dengan terbentuknya badan baru, orang baru, pimpinan baru, struktur dan birokrasi baru, bagaimana kelanjutan rencana tersebut? Padahal, sudah waktunya mematangkan program dan beraksi. Karena menurut saya sudah cukup industri fashion berjalan di tempat dengan berbagai aktivitas branding semata, dari fashion week di Ibu Kota yang kini semakin banyak pilihannya. Hingga show atau promosi ke luar negeri, atau pelatihan melibatkan berbagai pihak dalam dan luar negeri yang selama ini sudah dijalankan. Tak ada salahnya dengan semua upaya itu, namun yang saya perhatikan dan ternyata teman-teman pelaku industri fashion pun mengiyakan, semua upaya itu belum memiliki tujuan dan arah yang jelas. Berbagai upaya dilakukan namun fondasinya kurang kuat, kegiatan berjalan tanpa tujuan jelas dan tidak ada evaluasi setelahnya. Kalau yang saya perhatian, urusan perdagangan produk fashion buatan desainer Indonesia dan diproduksi oleh UKM Indonesia tidak maksimal. Bukankah semestinya tujuan dari fashion show, promosi produk lokal, berujung pada penjualan yang menguntungkan berbagai pihak, dari desainer, penjahit, penghasil tekstil, hingga bagian terakhir dari proses produksi produk fashion?
Saya jadi ingin membandingkan. Saya ingat, pernah berkali-kali meliput kegiatan fashion yang diadakan atase dagang Thailand di Indonesia. Mereka serius mendukung talenta fashion negerinya untuk berpromosi dan berdagang di Indonesia. Mereka membiayai fashion show yang saya tahu biayanya sangat mahal, sehingga banyak desainer mati kutu kalau ingin menonjolkan terobosan atau ide "gila"nya kalau tak ada sponsor yang membiayai. Atase perdagangan Thailand mendukung pelaku industri kreatif bidang fashion dengan menyelenggarakan fashion show di mal premium di Indonesia. Tak hanya itu, semua produk itu dipamerkan dan dibuka kesempatan berdagang mencari reseller atau buyer di Indonesia.
Lalu apa yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk mendongkrak penjualan produk fashion karya desainer lokal? Tentu sudah banyak yang dilakukan tapi sudahkah tepat sasaran, benar-benar mendukung perkembangan produk fashion buatan dalam negeri.
Di dalam negeri saja, produk fashion Indonesia masih mencari tempat. Mulai muncul tren pakai produk fashion lokal seiring dengan berkembangnya gaya anak muda yang menonjolkan karakter personal. Alhasil, produk fashion yang dijual di department store lokal khas anak muda, atau online shop menjamur dan punya peminat. Sebenarnya masyarakat pun sudah melek fashion dan produk fashion lokal sudah diterima. Namun, coba lihat di mal premium di Ibu Kota atau kota-kota besar. Brand fashion internasional masih merajalela dan selalu sukses mendapatkan pelanggan. Bagaimana dengan brand fashion dari Indonesia?
Kalau Tex Saverio rancangannya bisa dipilih Lady Gaga, kalau Dian Pelangi dengan busana muslimnya diterima di Timur Tengah dan berbagai negara dengan berbagai upaya yang mereka lakukan mandiri, bagaimana dengan pelaku industri fashion lainnya yang tak seberuntung mereka?
Banyak persoalan di dunia fashion yang tak bisa dipandang sebelah mata. Seperti kata Mbak Dina, "Kita perlu duduk bersama." Dalam hal ini termasuk dengan Kepala Badan Ekonomi Kreatif, Triawan Munaf yang baru menjabat akhir Januari 2015.
Dalam kesempatan berdialog di KompasianaTV, hanya dengan waktu 30 menit, tak cukup membahas semua isu tersebut. Satu hal yang saya tanyakan kepada Pak Triawan dan mendapatkan jawaban adalah perihal koordinasi lintas kementerian.
[caption id="attachment_349836" align="aligncenter" width="479" caption="KompasianaTV"]
"Sekarang lebih fleksibel koordinasinya dengan kementereian terkait," kata Pak Triawan lewat sambungan telepon.
Semoga benar demikian Pak, karena sebelumnya, para pelaku industri fashion sudah menjajaki kesempatan bersinergi dengan 4 kementerian (UKM, Perdagangan, Perindustrian, Pariwisata dulunya Parekraf). Saya pun ikut memantau proses tersebut melalui tulisan-tulisan di media online.
Pada akhirnya, saya menunggu terobosan Pak Triawan untuk industri fashion. Saya paham dengan kesendiriannya tanpa staf dan benar-benar baru akan menjalankan tugas, banyak pekerjaan rumah yang harus perlahan dituntaskan. Presiden Jokowi memberikan waktu 3 bulan menyusun kelembagaan.
Harapan saya, semoga Pak Triawan memilih talenta terbaik yang tepat sesuai sektor industri kreatif. Semoga asosiasi di bidang fashion diajak duduk bersama seperti harapan Mbak Dina. Semoga BEK bersinergi dengan orang-orang yang tepat sesuai bidangnya masing-masing, karena ekonomi kreatif begitu luas cakupannya.
Kalau Turki, seperti teman saya Franka katakan, industri fashion di sana sudah sangat maju dan mengedepankan kualitas produksi dan maksimalkan penjualan, semoga terobosan BEK bisa mengangkat derajat produk fashion Indonesia ke depannya.
Apalagi kalau kita bicara fashion muslim yang sudah dicanangkan bahwa Indonesia akan menjadi kiblat fashion muslim di Asia per 2018, dan kiblat fashion muslim dunia pada 2020. Kalau industri fashion masih carut-marut, belum bersinergi, apakah mungkin target itu tercapai? Padahal potensinya ada, produknya terus berkembang, entrepreneurship terus bergerak cepat di bidang fashion muslim.
Lagi-lagi, semoga Pak Triawan bisa cepat-cepat melihat ini sebagai prioritas. Kalau dibilang film menjadi prioritas dalam program BEK, lantaran di dalam produksi film ada fashion di dalamnya, saya sangsi industri fashion bisa berkembang lebih pesat jika sebatas dilibatkan dalam bagian kecil sebuah produksi film misalnya. Bukan saya tidak setuju film Indonesia maju. Saya pendukung sejati film Indonesia. Namun, fashion, yang membuka begitu banyak peluang usaha bagi berbagai lapisan masyarakat Indonesia, semestinya juga diperhatikan secara khusus.
Kalau perlu ada gerakan bersama yang didorong BEK untuk mengangkat produk lokal, busana Indonesia, pakaian yang dibuat oleh pekerja kreatif industri fashion dari hulu hingga hilir. Kalau produk fashion buatan Indonesia masih kesulitan mendapatkan tempat berjualan di negeri sendiri, bukankah ini petanda belum ada terobosan terkini yang benar-benar memberikan perhatian kepada pelaku industri fashion Indonesia?
Selamat bekerja Pak Triawan Munaf, selamat bersinergi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H