Sebagai makhluk yang terlahir dibekali dengan akal, manusia dapat berpikir untuk melakukan berbagai cara dalam menyelesaikan masalahnya. Karena itulah teknologi bisa berkembang. Berkembangnya teknologi adalah salah satu cara manusia untuk menyelesaikan masalahnya dan hidup lebih baik lagi, dengan menggunakan akal yang dimiliki tersebut teknologi dapat berkembang.
Semakin berkembang dan majunya teknologi di dalam kehidupan ini merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari, karena majunya teknologi sejalan dengan majunya ilmu pengetahuan. Banyaknya manfaat positif yang diberikan dari setiap inovasi-inovasi teknologi bagi kehidupan manusia, memudahkan segala pekerjaan manusia. Terutama di era globalisasi seperti sekarang, dimana segalanya serba daring dan penggunaan handphone sudah seperti hal yang wajib bagi semua orang, termasuk para pemuda-pemudi yang mana tak bisa lepas dari segala kehidupan virtualnya.
Pada nyatanya, kemajuan teknologi tak hanya membawakan dampak positif seperti kemudahan bagi manusia dalam menjalani hidupnya. Namun juga membawakan dampak negatif seperti ketergantungan terhadap penggunaannya. Membayangkan sehari saja tanpa adanya jaringan internet dan gadget, rasanya akan lebih sulit dalam menjalani kehidupan karena sudah terbiasa melakukan apa saja menggunakan internet dan gadget. Di saat segala kemudahan itu muncul, muncul lah rasa kesepian dan keterasingan, hal tersebut dapat berbentuk lunturnya rasa solidaritas, kebersamaan, dan juga silaturahmi. Penemuan teknologi seperti televisi, komputer, internet, laptop, gawai dan lainnya dapat membuat seseorang terlena dengan dunia yang tercipta melalui layar tersebut.
Di era serba digital seperti sekarang ini, melihat banyak orang yang sibuk menatap layar gawainya bukanlah pemandangan yang asing lagi. Hal tersebut merupakan hal yang sudah biasa. Penggunaan media sosial yang semakin marak terutama oleh para pemuda sudah seperti bagian dari hidupnya. Bangun tidur diawali dengan mengecek layar gawai sampai akhirnya tertidur kembali ditemani oleh gawai. Pemuda dan media sosial tidak bisa dipisahkan. Melalui media sosial, pemuda dapat melakukan hal-hal yang kreatif melalui konten-konten yang diunggahnya. Dan semakin banyak yang tertarik terhadap konten tersebut maka hal tersebut dapat dijadikan sebagai ladang uang. Sehingga banyak orang yang berlomba-lomba membuat konten yang menarik untuk diunggah.
Namun, hadirnya media sosial juga bisa menghilangkan rasa kesepian pada seseorang di kehidupan nyatanya. Media sosial menjadi pelarian bagi beberapa orang dan menjadikannya sebagai kehidupan virtual. Hadirnya globalisasi menjadi alasan juga mengapa seseorang lebih suka menghabiskan banyak waktu bermain media sosial. Melalui media sosial, ia bisa melakukan interaksi dan mendapatkan banyak teman baru di dalamnya.
Kehidupan virtual ini menjadi semakin nyaman, membuat seseorang lebih betah hidup di dalamnya. Apalagi jika sudah terjerumus ke dalam dunia rolaplayer, yaitu merupakan permainan peran dimana seseorang akan berprilaku seolah-olah seorang idol yang ia perankan.
Roleplyer ini sangat marak di twitter, biasanya seseorang akan berperan sebagai karakter anime dan idol asal Korea. Biasanya, hal tersebut dilakukan oleh para penggemar yang berusia remaja. Mereka akan membuat sebuah akun Twitter dan melakukan kegiatan seperti update status tentang karakter atau tokoh yang diperankannya di timeline, sudah seperti selayaknya sedang memainkan peran dari karakter atau tokoh tersebut.
Menurut Achsa & Affandi (2015:2), keunikan dari  roleplayer  adalah  bermain  dengan  imajinasi. Dengan bermain dan berperan selayaknya karakter atau tokoh yang diperankannya tersebut, membuat para pemainnya mendapatkan pengalaman emosi kedekatan dengan karakter atau tokoh tersebut. Permainan ini juga disebut sebai socio-drama, yang mana merupakan dramatisasi dari segala eksplorasi yang muncul dari interaksi dengan orang lain dalam lingkungan sosialnya.  Dengan bermain  peran  selayak  tokoh  idola  di  kehidupan sehari-hari bersama para roleplayer lainnya  dapat mengantarkan ekspresi kekaguman mereka sehingga tampak begitu menarik (Safitri, 2014).
Perilaku pemuda di dalam kehidupan virtualnya ini dapat dikaji melalui teori dramaturgi yang dikemukakan oleh Erving Goffman. Menurut Goffman (1959), dramaturgi adalah sandiwara kehidupan yang disajikan oleh manusia. Situasi dramatik yang seolah-olah terjadi di atas panggung sebagai ilustrasi untuk menggambarkan individu-individu dan interaksi yang dilakukan mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Melati (8: 2016) menjelaskan bahwa dramaturgi adalah sebuah teori yang dapat menginterpretasikan kehidupan sehari-hari dari manusia. Disini manusia diibaratkan sedang memainkan sebuah pertunjukan di atas panggung. Dan di dalam panggung tersebut, terdiri dari panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage). Di panggung depan terdapat setting dan personal front, yang kemudian dapat dibagi lagi menjadi  penampilan (appearance) dan gaya (manner).
Sama halnya seperti yang dilakukan kebanyakan seseorang dalam bermedia sosial, dimana mereka menunjukan sisi yang berbeda saat berada di depan layar yang diibaratkan sebagai panggung depan dan saat berada di belakang layar yaitu kehidupan pada kenyataannya atau diibaratkan sebagai panggung belakang.
Sebagai contoh, para rolepayer yang berperan sebagai karakter anime atau idol Korea sebenarnya hanya manusia biasa. Kebanyakan dari mereka masih remaja, seperti masih SMA atau masih kuliah. Saat berada di akun twitter roleplay-nya (front stage), ia akan berperan semirip mungkin dengan tingkah laku karakter yang diperankannya. Ia berinteraksi dengan yang lainnya tanpa saling mengetahui kehidupan di balik layar tersebut (back stage), dimana di balik layar tersebut ia hanya lah manusia biasa, bukan seorang idol atau karakter yang sesungguhnya. Kehidupan virtual ini diibaratkan sebagai panggung depan, dan kehidupan yang sesungguhnya diibaratkan sebagai panggung belakang. Seperti ini lah kehidupan yang dijalani oleh manusia dalam bermedia sosial, manusia selalu memiliki sisi yang berbeda untuk ditunjukan atau disembunyikan.
.
.
.
.
.
Referensi:
Damsar. 2011. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Prenada Media.
Soekanto, Soerjono. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
Harymawan, RMA. (1993). Dramaturgi. Bandung: Rosda Karya
Rais, N. S. R., Dien, M. M. J., & DIEN, A. Y. (2018). Kemajuan teknologi informasi berdampak pada generalisasi unsur sosial budaya bagi generasi milenial. Mozaik, 10(2), 299364.
Wahyudi, H. S., & Sukmasari, M. P. (2018). Teknologi dan kehidupan masyarakat. Jurnal Analisa Sosiologi, 3(1).
Ngafifi, M. (2014). Kemajuan teknologi dan pola hidup manusia dalam perspektif sosial budaya. Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi, 2(1).
Aprilia, R., Sriati, A., & Hendrawati, S. (2020). Tingkat kecanduan media sosial pada remaja. Journal of Nursing Care, 3(1).
Aulia, I. M., & Sugandi, M. S. (2020). Pengelolaan Kesan Roleplayer K-Pop Melalui Media Sosial Twitter (Studi Dramaturgi Pada Akun Twitter Fandom Di Kota Bandung). Epigram, 17(1), 75-84.
Gantina, G. G. (2021). FENOMENA KOREAN ROLEPLAYER DI MEDIA SOSIAL TWITTER (Studi Fenomenologi Korean Roleplayer Di Media Sosial Twitter) (Doctoral dissertation, FISIP UNPAS).
Suneki, S., & Haryono, H. (2012). Paradigma Teori Dramaturgi Terhadap Kehidupan Sosial. CIVIS, 2(2).
Mutia, T. (2018). Generasi Milenial, Instagram Dan Dramaturgi: Suatu Fenomena Dalam Pengelolaan Kesan Ditinjau Dari Perspektif Komunikasi Islam. An-Nida', 41(2), 240-251.
Melati, M. (2016). Analisis Konsep Dramaturgi Erving Goffman Dalam Pola Penggunaan Ruang Publik Kafe Oleh Mahasiswa di Kota Surakarta. SOSIALITAS; Jurnal Ilmiah Pend. Sos Ant, 5(2).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H