Pihak yang paling menentukan keberhasilan suatu daerah adalah pihak birokrasi, birokrasi sebagai ujung tombak penentu dari berbagai persoalan sehingga wajar saat Jokowi-Ahok terpilih sebagai pasangan Gubernur DKI Jakarta 2014 lalu langsung melakukan reformasi birokrasi.
Puluhan tahun penyakit akut birokrasi yang “Dilayani” berhasil diubah menjadi birokrasi “Melayani” dan faktanya warga DKI Jakarta sangat merasakan dampak positif pelayanan birokrasi yang diberikan, tentu dibarengi imbalan berupa reward dan peningkatan penghasilan berupa gaji yang berlipat ganda dibandingkan sebelumnya
Kawalan ketat terhadap birokrasi yang melayani, disiplin dan rasa tanggung jawab sangat menonjol saat Ahok diangkat sebagai Gubernur, tidak sedikit para birokrasi yang dianggap malas dan tidak professional harus menerima akibat berupa pemecatan, mutasi atau diganti.
Hasi survey membuktikan bahwa sekitar 75 persen warga merasa puas atas kinerja Ahok-Djarot. Namun disisi lain, sebagian besar kalangan birokrat merasa terbebani, tidak bebas, tersiksa seperti terpenjara atas kepemimpinan Ahok-Djarot.
Waktu yang hanya sekitar tiga tahun kepemimpinan Ahok-Djarot tidak cukup untuk mengubah birokrat menjadi melayani dibandingkan birokrat yang dilayani sudah akut penyakitnya sehingga ketika Ahok-Djarot tidak terpilih lagi, tentu memberi kabar gembira bagi mayoritas birokrat yang merasa terkekang kepemimpinan Ahok-Djarot dengan karakter yang tegas dan keras.
Sementara, Anies-Sandi yang dianggap santun diduga akan mengembalikan kondisi kerja birokrat seperti dulu lagi karena type yang mereka miliki cenderung lamban dan molor seperti contoh peristiwa pertemuan dengan Ahok harus menggunakan Helikopter untuk menghindari telat.
Sikap lemah lembut, tidak tegaan, pemaaf walaupun sering terjadi kesalahan berulang kali, bahkan tersimpan rasa ketidak pedulian seperti contoh saat kampanye yang dilakukan pendukungnya memuat sentiment primordial yang sangat massif tidak dikecamnya karena merasa diuntungkan dan lain-lain membawa dampak psikologis warga dan birokrat.
Psikologis yang tidak tertib aturan dan tidak disiplin perlahan muncul kembali pasca Ahok-Djarot tidak terpilih, faktanya sudah terlihat dibeberapa tempat.
Warga yang pernah direlokasi namun menolak tinggal di Rusun mulai kembali ke tempat semula, sedangkan warga yang tinggal di rusun akan berbondong-bondong menyusul warga yang sudah duluan dengan membangun kembali rumah ala kadarnya alias perkampungan kumuh. (Sumber)
Jika itu terjadi maka bencana banjir besar akan terancam, normalisasi sungai sulit terwujud, sementara rusun-rusun yang sudah ada terancam kosong tanpa penghuni, program rusun yang terus dibangun Ahok-Djarot kemungkinan berhenti diganti program rumah DP Nol Rupiah yang bisa ditentukan lokasinya oleh warga.
Mereka memastikan bahwa Gubernur terpilih sudah berjanji tidak akan melakukan penggusuran maka secara otomatis habitat yang dulu pernah ada akan kembali lagi sambil menagih janji “Bapak Gubernur janji tidak akan melakukan penggusuran”.