Bayangkan, seandainya Ahok yang mempelopori Tamasya Al-Maidah, mungkinkah dianggap sebagai penistaan agama?
Sedangkan, “Al-Maidah” identik dengan religious yang selalu dijumpai dan didengar dalam masyarakat seperti kegiatan pengajian Al-Maidah, Khatam Al-Maidah, Syiar Al-Maidah, Makna Al-Maidah, dan lain-lain.
Apakah pantas Al-Maidah yang penuh nilai religi, kebarokahan dan pahala disandingkan dengan “Tamasya” sebagai symbol kesenangan duniawi?
Jelas sangat tidak pantas dan ini adalah pelecehan yang massif, agama telah diperlakukan tidak agamais tetapi diperlakukan dengan kolaborasi kesenangan duniawi dan politik yang disebut “Tamasya Al-Maidah” itu.
Siapa yang mempelopori aksi “Tamasya Al-Maidah” bisa dilihat dari struktur kepanitiannya terdiri orang-orang dari luar Jakarta.
Nabi Muhammad tidak suka dengan hal-hal yang dibuat demi tujuan agama
"Dari Manshur, Aku bertanya kepada Mujahid tentang maksud dari firman Allah, ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud’ apakah yang dimaksudkan adalah bekas di wajah? Beliau menjawab, “Bukan, bahkan ada orang yang ‘kapal’ yang ada di antara kedua matanya itu bagaikan ‘kapal’ yang ada pada lutut onta namun dia adalah orang bejat. Tanda yang dimaksudkan adalah kekhusyu’an” [Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3702]
Ketua panitia Tamasya Al Maidah adalah Ansufri Idrus Sambo merupakan guru spiritual Prabowo Subianto semasa di Yordania, tentu arah tujuannya sangat jelas untuk siapa aksi yang akan dilakukannya. (Sumber)
Jakarta punya hajatan pesta demokrasi sendiri dan tentu tidak dibenarkan bagi orang luar Jakarta ikut campur apalagi membawa symbol-symbol agama.
Kalau hanya alasan menjaga netralitas atau keamanan sudah ada TNI-Polri yang mampu mengawal tiap TPS sehingga kelompok yang mengatas namakan “Tamasya Al-Maidah” tidak berhak ikut campur.