Terdiri seratus dua puluh ayat, urutan ke lima dari keseluruhan surat kitab suci Al-Quran yaitu surat Al-Maidah, hanya karena pidato Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Kepulauan Seribu menyebut surat Al-Maidah 51 yang dianggap penodaan agama oleh pihak tertentu kemudian dimanfaatkan untuk aksi bela Al-Maidah dan berlanjut dengan aksi Tamasya Al-Maidah di Tempat Pemungutan Suara (TPS) Pilkada DKI Jakarta putaran kedua 19 April 2017.
Surat Al-Maidah telah diperlakukan tidak pada tempatnya, melenceng jauh dari unsur religious Rahmatan Lil’Alamin yang justru lakonnya oleh penganutnya sendiri.
Jauh sebelumnya agama/Surat Al-Maidah sudah dijadikan alat politik dan sekarang merambah sebagai alat hiburan.
Alat Politik
Contoh kasus yang dialami Ahok saat menjadi calon kepala daerah di Bangka Belitung adalah salah satu korban dari politik agama pihak tertentu sehingga tokoh besar kita Almarhum Gus Dur harus turun gunung mengklarifikasi atas tindakan oknum pelaku Black Campaign.
Peristiwa tersebut terus berlanjut ke DKI Jakarta yang lebih massif seperti penolakan jenazah hingga ke liang lahat hanya karena perbedaan pilihan harus terkena imbas walaupun sudah tidak bernyawa lagi. Sadis!
Agama terutama Al-Maidah 51 sudah menjadi trend ampuh untuk menjatuhkan lawan politik apalagi lawannya berbeda agama minoritas. Isu politik SARA akan terus berlanjut selama pesta demokrasi seperti Pilkada masih ada.
Alat Hiburan
Al-Maidah tidak hanya dijadikan alat politik serius, tetapi dijadikan alat hiburan juga berupa “Tamasya Al-Maidah”.
Kata “Tamasya” identik dengan hal-hal yang berbau hiburan diluar sifat religi. Masyarakat Indonesia lebih familiar dengan sifat-sifat kesenangan misalkan tamasya ke Ragunan bersama keluarga, ke taman safari, ke Ancol, tamasya ke Las Vegas, ke Macau, ke kalijodo, ke taman Sari, ke gunung kawi, ke gunung kemukus, ke tembok cina dan lain-lain.
Bayangkan, seandainya Ahok yang mempelopori Tamasya Al-Maidah, mungkinkah dianggap sebagai penistaan agama?
Sedangkan, “Al-Maidah” identik dengan religious yang selalu dijumpai dan didengar dalam masyarakat seperti kegiatan pengajian Al-Maidah, Khatam Al-Maidah, Syiar Al-Maidah, Makna Al-Maidah, dan lain-lain.
Apakah pantas Al-Maidah yang penuh nilai religi, kebarokahan dan pahala disandingkan dengan “Tamasya” sebagai symbol kesenangan duniawi?
Jelas sangat tidak pantas dan ini adalah pelecehan yang massif, agama telah diperlakukan tidak agamais tetapi diperlakukan dengan kolaborasi kesenangan duniawi dan politik yang disebut “Tamasya Al-Maidah” itu.
Siapa yang mempelopori aksi “Tamasya Al-Maidah” bisa dilihat dari struktur kepanitiannya terdiri orang-orang dari luar Jakarta.
Nabi Muhammad tidak suka dengan hal-hal yang dibuat demi tujuan agama
"Dari Manshur, Aku bertanya kepada Mujahid tentang maksud dari firman Allah, ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud’ apakah yang dimaksudkan adalah bekas di wajah? Beliau menjawab, “Bukan, bahkan ada orang yang ‘kapal’ yang ada di antara kedua matanya itu bagaikan ‘kapal’ yang ada pada lutut onta namun dia adalah orang bejat. Tanda yang dimaksudkan adalah kekhusyu’an” [Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3702]
Ketua panitia Tamasya Al Maidah adalah Ansufri Idrus Sambo merupakan guru spiritual Prabowo Subianto semasa di Yordania, tentu arah tujuannya sangat jelas untuk siapa aksi yang akan dilakukannya. (Sumber)
Jakarta punya hajatan pesta demokrasi sendiri dan tentu tidak dibenarkan bagi orang luar Jakarta ikut campur apalagi membawa symbol-symbol agama.
Kalau hanya alasan menjaga netralitas atau keamanan sudah ada TNI-Polri yang mampu mengawal tiap TPS sehingga kelompok yang mengatas namakan “Tamasya Al-Maidah” tidak berhak ikut campur.
Jika masih memaksakan kehendak maka aparat hukum wajib TANGKAP terutama pihak PANITIA karena mengganggu kenyamanan dan keamanan apalagi rencananya akan mengerahkan 100 personil per TPS.
Disisi lain, kita tidak pernah melihat dan mendengar sikap Anies-Sandi yang berkaitan isu SARA, semestinya sebagai pasangan Gagub sekaligus pelaku pesta demokrasi mengecam tindakan tersebut apalagi melibatkan orang-orang luar Jakarta.
Mungkin factor yang menguntungkan pihak Anies-Sandi atau memang sebagai dalang dibalik semua itu?
Pihak-pihak yang saling terkait dan punya hubungan dengan aksi-aksi sebelumnya:
Begitupun dari pihak MUI, sampai hari ini MUI tidak bereaksi rencana aksi “Tamasya Al-Maidah” apakah perlu dikeluarkan fatwa wajib atau tidak.
Apakah MUI sudah dibawah titik nadir yang tidak mampu memposisikan diri sebagai lembaga yang disegani dan berwibawa pasca keputusannya mengeluarkan fatwa “penghinaan ulama” yang dilakukan Ahok? Sementara banyak kasus lain yang sangat jelas seperti contoh terbaru “Tamasya Al-Maidah”, bukankah sudah menginjak-injak wibawa islam sebagai agama Rahmatan Lil’Alamin?
Salam Tamasya…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H