Acara debat pertama yang diikuti tiga pasangan calon Gubernur DKI Jakarta tanggal 13 Januari 2017 lalu menyisahkan kekurangan dan kelebihan sebagai berikut :
Agus-Sylvi
Penampilan yang sangat menghibur datang dari pasangan calon Agus-Sylvi.
Sebelum dimulai, penampilan yang penting selalu dijaga adalah agar terlihat cantik…, cantik…, cantik-cantik manja cetar membahana menurut kebiasaan Syahrini, sama seperti yang dilakukan Mpok Sylvi dibawah :
Fakta yang ditampilkan Sylvi terbukti, pertanyaan maupun tanggapan dari calon lain hanya dijawab dengan “isi hati”, dangkal substansi dan tidak mampu menjawab implementasi program seperti yang ditanya calon urut dua soal bagaimana cara pengelolaan dana bantuan langsung tunai sehingga antara pertanyaan dan jawaban tidak sinkron. (Sumber)
Penyebabnya karena tidak menguasai program secara menyeluruh, hanya menampilkan cover namun isi substansinya yang tidak jelas hingga menjiplak.
Contoh program yang jarang diekspos ke media adalah program kartu “Jakarta One” milik Ahok-Djarot yang diganti namanya menjadi kartu “Satu Jakarta”, mungkin dianggap asing sehingga berharap tidak ketahuan sebagai kartu jiplakkan.
Beda Sylvi, beda juga yang ditampilkan Agus lebih menampilkan gaya “Gesture” settingan dan hafalan.
Setiap maju kedepan, Agus harus disibukkan dengan merapikan baju dengan menarik kebawah yang melorot keatas, baju yang dikenakan memberi rasa tidak nyaman sehingga aksinya mengganggu mata yang melihatnya.
Penyampaian yang bersifat umum dan asal bunyi tanpa ditopang dengan fakta dan data membuktikan belum matangnya program dari visi dan misinya. Terlihat saat menyatakan tidak akan melakukan penggusuran jika terpilih, namun solusinya tidak jelas seperti apa ala “Tanpa gusur”, apakah menerapkan program “Apung” yang tidak dijelaskan saat debat tersebut.
Aksi Agus selalu dimulai dengan merapikan bajunya, disertai dengan gaya bicara dengan mimik wajah tersenyum yang dipaksakan dan intonasi yang mengingatkan sosok selebritis Vicky Prasetyo “Vickynisasi” di acara Take Me Out Indonesia (TMOI) sebagai dewan cinta yang selalu dimulai dengan kata “Filosofi Edukasi”.
Jika penampilan Sylvi didebat pertama seperti tampil di acara infotaiment, sedangkan penampilan Agus mengingatkan sosok Vickynisasi sebagai dewan cinta di TMOI terulang kembali didebat kedua maka tidak menutup kemungkinan elektabilitas dan bobot nilai debatnya yang sebelumnya sekitar 15% akan melorot.
Ataukah Mungkin lebih pantas pasangan Agus-Sylvi ikut ajang TMOI tersebut?
Ahok-Djarot
Uraian substansi program yang disampaikan Ahok-Djarot di debat pertama seiring dengan implementasi program sudah berhasil diwujudkan sehingga semakin banyak kritikan yang dikemukankan calon lain, maka semakin menguak program-program sukses yang belum diketahui warga DKI Jakarta.
Contoh kritikan yang tidak disangka-sangka dari pasangan Cagub urut tiga menyinggung soal Alexis yang tidak ditutup mampu di counter Ahok dengan baik dengan menyatakan sudah menutup Stadium dan Miles.
Jika Anies tidak menyinggung Alexis maka warga DKI yang menyaksikan debat tersebut tidak akan mengerti stadium dan miles sudah ditutup Ahok-Djarot. Tentu ini menjadi nilai tambah buat Ahok-Djarot bahwa warga DKI tidak ragu untuk memilihnya kembali.
Ada apa dengan Anies? Tiba-tiba menyinggung “Alexis”, apakah pernah mampir duduk gembira (Dugem)? Tinggal menunggu waktu yang akan membukanya.
Tugas Anies-Sandi maupun calon lain jika ingin menyinggung atau kritik perlu mencari bahan yang tidak mampu discounter balik oleh Ahok-Djarot sehingga tidak terulang seperti soal “Alexis” yang justru menampar diri Anies-Sandi sendiri.
Beberapa program yang berhasil diwujudkan Ahok-Djarot sebagai modal kuat untuk mempertahankan atau meningkatkan ketajaman programnya yang substansial untuk debat kedua nanti.
Mendadak Sandi puasa senyum hanya karena menyinggung “Dosen” dianggap menyerang pribadi seseorang. Saat Sandi kampanye dilapangan maupun di acara debat, sama-sama termasuk kegiatan kampanye sehingga tidak ada bedanya saat Sandi menyerang pribadi calon lain
Dari berbagai survey dan penilaian pada debat pertama mayoritas memberi keunggulan pada pasangan Ahok-Djarot, bahkan sebelum debat pertama berlangsung sudah diprediksi berapa nilai persentase yang diperoleh setiap pasangan calon dan faktanya seperti artikel “Penguasaan Debat 13 Januari, Agus-Sylvi 15%, Ahok-Djarot 60%, Anies-Sandi 25%”.
Dari segi penguasaan materi dan penampilan dalam memberi pemaparan sangat lugas, lancar dan rileks didominasi oleh Ahok-Djarot sehingga nilai persentase 60% merupakan nilai yang wajar diberikannya.
Debat kedua bertema reformasi birokrasi dan pelayanan publik, serta penataan kawasan perkotaan merupakan tema yang sudah dikerjakan Ahok-Djarot dan hasilnya memuaskan warga DKI Jakarta.
Contoh reformasi birokrasi dan pelayanan publik adalah bagaimana birokrat DKI diberi gaji yang sangat tinggi bahkan rata-rata nilainya tiga hingga empat kali lipat dari gaji sebelumnya sesuai tingkat jabatannya.
Bayangkan, jika sebelumnya seorang PNS digaji Rp 5 juta per bulan bekerja selama 30 tahun atau sampai pensiun maka sama halnya di zaman Ahok-Djarot digaji minimal tiga kali lipat dari Rp 5 juta menjadi Rp 15 juta per bulan maka cukup 10 tahun menyamai 30 tahun bekerja.
Nilai gaji yang tinggi tentu akan mendorong birokrat DKI semangat dan disiplin tinggi untuk bekerja melayani masyarakat, bukan birokrat dilayani seperti yang terjadi sebelum-sebelumnya.
Pelayanan publik yang diterapkan Ahok-Djarot dari dilayani menjadi melayani berjalan baik, warga sangat puas atas pelayanan publik yang dilakukan birokrat sehingga sanksi tegas pemecatan menunggu apabila tidak mampu mengemban amanah sebagai pelayan publik.
Sementara, penataan kawasan perkotaan tidak jauh dari isu “Penggusuran” yang akan diangkat cagub lain untuk menyerang Ahok-Djarot, isu yang tidak akan berpengaruh secara signifikan karena apa yang dilakukan Ahok-Djarot adalah relokasi warga ke rusun, tempat yang lebih layak dan manusiawi terwujud dengan banyaknya rusun-rusun dibeberapa kawasan seluruh wilayah DKI.
Tujuan relokasi adalah menata tempat gusuran dialih fungsikan sehingga tidak kumuh seperti taman bermain-RTPRA, taman hijau, normalisasi sungai yang terdampak gusuran, mengurangi banjir dan lain-lain. Tentu kesan kumuh sebelumnya sudah berubah menjadi kawasan kota yang ramah lingkungan, bersih dan rapi.
Penguasaan materi dari 2 tema diatas masih dikuasai Ahok-Djarot karena sudah dikerjakan dan dinikmati masyarakat sehingga semakin banyak kritikan pada debat kedua maka tidak akan memojokkan Ahok-Djarot, justru dari kritikan akan memberi kesempatan dibalas dengan jawaban penjelasan dari program-program yang belum diketahui warga.
Ahok maupun Djarot sama-sama politisi yang kenyang akan pengalaman birokrasi yang sangat paham program apa yang akan ditawarkan sehingga wajar nilai diukur dalam segi apapun tetap unggul.
Anies-Sandi
Pasangan yang lebih bermain dengan kata-kata di debat pertama hingga dicap sebagai pasangan Cagub “Retorika” sangat mendominasi sehingga bahasa yang ditampilkan terlihat menarik namun mengecoh kata-kata yang sesungguhnya sama saja dengan kata-kata umum seperti contoh kata “Gagasan” dan “Program”.
Pilihan kata “Gagasan” lebih berwibawa dan jarang digunakan dibandingkan dengan kata “Program” yang lebih familiar, padahal pengertiannya sama saja dan beda-beda tipis. Cerdasnya pasangan Anies-Sandi terutama Anies memilih kata-kata yang asing menunjukkan jatidiri sebagai sosok yang pintar beretorika seperti kalimat berikut :
“Jangan hanya kerja, kerja, kerja, harus punya gagasan, harus punya kata-kata…..”
“Bung Karno mengatakan, banyak bicara, banyak bekerja, bukan hanya banyak bekerja tanpa bicara”
“Tugas pemimpin mengirimkan pesan, itu menggunakan kata-kata”
“Kalau anda meremehkan kata-kata maka dapat memecah belah warga Jakarta” (Sumber)
Contoh kalimat retorika yang sangat kental, bagi warga dengan latar belakang pendidikan rendah mungkin pernyataan Anies sangat menarik, namun bagi warga lulusan SMA/Perguruan tinggi/ Mahasiswa, pernyataan Anies sangat menggelikan dan tidak nyambung.
Kenapa menggelikan? Orang yang bisa kerja, kerja, kerja, karena disebabkan karena ada gagasan, program, rencana dan sebagainya. Tidak mungkin orang kerja, kerja, kerja tanpa dimulai dengan gagasan, program, rencana dan sebagainya.
Jika seorang pemimpin terjun kelapangan ikut kerja, kerja, kerja merupakan symbol dan memberi pesan bahwa bawahannya jangan malas.
Orang yang kerja karena ada gagasan, sedangkan orang yang mempunyai gagasan belum tentu bisa kerja.
“Kalau anda meremehkan kata-kata maka dapat memecah belah warga Jakarta”
Kalimat yang jelas mengandung unsure retorika provokatif seolah-olah kasus yang dialami Ahok karena kata-kata yang menimbulkan pecah belah warga DKI.
Masih banyak lagi pernyataan-pernyataan Anies seperti :
"Integritas bukan soal jujur. Pencuri pun bisa jujur soal apa yang dikerjakannya,"
"Nilai-nilai agama jadi pegangan kita dalam menghadapi tantangan integritas” (Sumber)
Apa yang dipetik dari contoh diatas lebih kearah sebagai motivator atau penceramah yang jauh dari program konkrit yang didambakan warga sebagai cagub sesungguhnya.
Anies perlu ingat bahwa pemilih DKI adalah pemilih cerdas walaupun sebagian warga pendidikannya rendah bukan berarti tidak memahami bahasa retorika sehingga jika Anis-Sandi mengulangi lagi di debat kedua maka tidak menutup kemungkinan elektabilitasnya akan melorot dan nilai debat yang sebelumnya 25% ikut melorot juga.
Jadi, Penekanan Anies menginginkan lebih banyak bicara daripada bekerja mencerminkan jatidiri Anies selama menjadi Menteri harus diakhiri dengan pemecatan karena banyak gagasan tanpa mampu diimplementasikan dalam bentuk aksi.
Kemudian, program “hiburan malam syariah” yang ditawarkan Sandi saat di acara mata najwa dengan memberi contoh ingin menampilkan tarian salman, tarian daerah dan lain-lain.
Bagaimana mungkin tarian daerah yang merupakan seni budaya bangsa dijadikan alat untuk hiburan malam, image “hiburan malam” identik dengan sisi negatifnya sehingga sangat tidak pantas seni budaya Indonesia digiring ke jurang kegelapan. Tentu ini ide konyol yang tidak masuk akal alias ngaco.
Mungkinkah ide tersebut akan dituangkan dalam debat kedua nanti untuk menutupi masa lalu yang penuh dengan happy-happy?
Jika debat kedua tanggal 27 Januari 2017 terulang seperti penampilan debat pertama maka pasangan Cagub DKI Jakarta akan mirip seperti berikut?
Agus-Sylvi, mempertahankan atau ditingkatkan seperti penampilan debat pertama maka penampilan Agus-Sylvi mengingatkan kita di acara TMOI yang dipandu Eko Patrio dan Vickynisasi (Dewan Cinta) yang banyak sisi kesamaannya, terutama menjadi Agusnisasi.
Ahok- Djarot, mempertahankan atau ditingkatkan dari isi substansi program melalu pemaparan, penjelasan dan bahasa sederhana mudah dipahami semua kalangan masyarakat sebagai bentuk cerminan dari gaya sepasang pemimpin sehingga peluang mendongkrak elektabilitas bisa mencapai diatas 50% dan nilai penguasaan debat diatas 60%.
Anies-Sandi, mempertahankan atau ditingkatkan tidak lebih seperti motivator yang sedang menyampaikan materi atau pemuka agama yang sedang ceramah, tidak peduli materi atau gagasan yang dikemukakan bisa dikerjakan atau tidak, yang penting waktu digunakan untuk memaksimalkan bahasa retorikanya.
Salam Debat…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H