Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasehatkan kepada Abdurrahman bin Samurah radhiallahu ‘anhu:
“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan(Pemimpin agama). Karena jika engkau diberi tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah). Jika diserahkan kepadamu karena kepemimpinanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong)”. [HR. Bukhari Muslim]
Berangan-angan saja tidak dibenarkan, apalagi meminta jabatan agama menjadi pemimpin agama atau imam besar.
Jika terjadi, Rizieq dinobatkan sebagai Imam Besar maka secara hukum agama posisi Rizieq diatas MUI sehingga semua keputusan/ ijtihat-ijtihat ada ditangan Rizieq sebagai IBII.
Fungsi IBII sama halnya seorang pemimpin agama atau khalifah, memiliki wewenang tinggi, setiap mengambil keputusan berkaitan dengan persoalan agama.
Ujaran-ujaran kasar yang keluar dari mulut calon imam besar sudah tidak memenuhi syarat apalagi ingin menjadi sebagai khalifah atau IBII, jadi mimpi yang terlalu berlebihan melangkahi lembaga tertinggi keagamaan seperti MUI.
Bukankah itu merupakan tindakan yang “Merendahkan” wibawa MUI itu sendiri?
Sejak MUI berdiri hingga hari ini, tidak pernah sedikitpun MUI berpikiran ingin membentuk atau memilih seorang IBII. Kenapa Rizieq mendadak mau dikukuhkan sebagai IBII?
Jelas sekali, keberadaan IBII merupakan bentuk penghinaan serta mengancam keberadaan dan fungsi MUI yang katanya punya otoritas tinggi sebagai penentu arah kebijakkan agama islam di negeri ini, terbukti penegak hukum harus minta pertimbangan melalui “Fatwa” seperti yang terjadi dengan kasus Ahok.
Mungkin faktor dua legitimasi sebagai “ketua dewan pertimbangan GNPF MUI dan Khotib 212” yang secara tidak langsung disematkan ke Rizieq mendorong pihak FPI atau Rizieq sendiri merasa pantas mendapatkan posisi sebagai IBII.
Tidak cukup “Diberi Hati” berupa kesempatan bergabung dengan GNPF MUI dan menjadi Khotib 212, kesempatan lain yang ingin diraih “Minta Jantung” adalah permintaan dukungan pengukuhan sebagai IBII.