Mohon tunggu...
Wara Katumba
Wara Katumba Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

POLITIK LU TU PENGADU (POLITIKus LUcu TUkang PENGAngguran berDUit

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kasus Ahok, Pengadilan Multitafsir

14 Desember 2016   13:49 Diperbarui: 14 Desember 2016   14:02 2443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu, gak bisa pilih saya, ya — dibohongin pake surat Al Maidah surat 51 macam-macam gitu lho. itu hak bapak ibu. ya. jadi kalo bapak ibu, perasaan, gak bisa pilih nih, karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya, gak papa. karena ini kan panggilan pribadi bapak ibu. program ini jalan saja. ya jadi bapak ibu gak usah merasa gak enak, dalam nuraninya gak bisa pilih Ahok. gak suka ama Ahok. tapi programnya, gue kalo terima, gue gak enak dong ama dia, gue utang budi. jangan. kalo bapak ibu punya perasaan gak enak, nanti mati pelan-pelan lho kena struk.” (Sumber)

Pidato Ahok di Kepulauan Seribu tidak ditemukan kata-kata yang menyebut pihak tertentu maupun kata “Ulama” seperti yang dituduh MUI atas surat pernyataannya bahwa Ahok telah menghina Ulama tanpa melakukan Tabayyun.

Kalimat “jadi jangan percaya sama orang” dihubungkan dengan “dibohongin pake surat Al Maidah surat 51 macam-macam gitu lho”, artinya bisa menjadi  “dibohongi orang pake surat Al Maidah 51”.

Subjeknya adalah “orang”, maka kata ”orang” tersebut menjadi multitafsir, bisa saja “orang” yang dimaksud adalah orang utan, orang gila, orang stress, orang eropa, orang berwujud setan, iblis, jin dan lain sebagainya.

Apakah ucapan “orang” multitafsir bisa masuk pengadilan?

Contoh, kita sering menemukan para ulama berdebat,  jika ada 5 ulama membahas suatu ayat maka yang terjadi adalah perbedaan pendapat karena menafsirkan satu ayat tersebut sehingga yang terjadi adalah 5 ulama dengan 5 tafsiran, siapa sesungguhnya yang benar? Apakah salah satu yang paling benar kemudian 4 ulama lain diproses ke pengadilan?

Ini yang terjadi terhadap pidato Ahok yang multitafsir dari subjek “orang” siapa sesungguhnya yang dirugikan.

Apakah Ulama, Habib, Ustadz, Kyai, FPI, MUI, GNPF MUI dan lainya merasa dirugikan Ahok sehingga dianggap nista agama?

Tidak ada satu kata pun Ahok menyebut atau menyinggung Ulama, Habib, Ustadz, Kyai, FPI, MUI, GNPF MUI bahkan nama seseorang.

Terkonfirmasi dari nota pembelaan Ahok yang dimaksud “orang”  adalah para politisi busuk yang tidak berani bersaing secara sehat dengan menggunakan isu SARA seperti yang dialaminya di Belitung :

“Ahok berkaca saat mencalonkan diri saat Pilkada Bangka Belitung 2007.

Saat itu, beredar selebaran yang mengutip ayat itu supaya warga Babel tidak memilihnya sebagai Gubernur Babel. Ahok adalah calon kepala daerah yang beragama Kristen Protestan. Sementara warga Babel mayoritas Muslim.” (Sumber)

Jika ada yang dirugikan kemudian melapor hingga diproses pengadilan, artinya mereka telah mendukung para politisi busuk yang dimaksud Ahok “jadi jangan percaya sama orang”

Apakah Ahok baru mengenal ayat Al-Maidah 51 di Pilgub DKI Jakarta? Ternyata Ahok sudah mengenal dan diserang dengan ayat tersebut selama proses pilkada sepuluh tahun terakhir sehingga wajar mengutipnya tanpa melakukan tafsiran..

Terlepas apakah dia seorang non muslim kemudian tidak boleh mengutip ayat tersebut kemudian dianggap salah adalah keliru besar.

Siapapun boleh mengutip asal tidak ada unsur penghinaan, karena agama universal

Contoh, Seorang mualaf masuk islam, tentu ada tahapan dimulai dari pengenalan, lanjut mendalami ilmu islam, begitu juga dengan agama lain ada tahapan yang mesti dilalui.

Apakah melalui tahapan-tahapan tersebut terjadi kesalahan kemudian dianggap nista agama dan diproses ke pengadilan?

Jika sudah menyangkut agama maka ada tahapan-tahapan yang harus dilalui seperti contoh diatas, begitupun contoh lain seperti bekerja di suatu perusahaan ada istilah SP1, SP2, SP3 hingga PHK(Pemberhentian Hubungan Kerja)

Ini yang menjadi blunder penuntutan kasus Ahok langsung menggunakan pasal 156a, tidak terlebih dahulu menggunakan UU PNPS Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Pasal 1, 2, dan 3, secara hukum dapat dikualifikasikan bersifat khusus” (sumber)

Mestinya menerapkan UU PNPS Nomor 1 Tahun 1965 karena apa yang diucapkan tersebut tidak ada unsur penistaan maupun penafsiran sehingga teguran maupun peringatan terhadap Ahok adalah cara tepat agar tidak mengulangi ucapannya dengan mengutip ayat Al Maidah 51.

sumber: youtube.com
sumber: youtube.com
Apa yang diucapkan Ahok dengan mengutip ayat tersebut  hanyalah sindiran terhadap para oknum terutama politisi yang memanfaatkan ayat tersebut untuk menyerangnya.

Dimana unsur penistaan agama yang dimaksud dan siapa yang dirugikan?

Maka pembuktian siapa“orang” yang dirugikan seperti dakwaan JPU yang mengatakan “golongan tertentu”.

Apakah Ulama yang dimaksud MUI?

Apakah politisi busuk yang dimaksud Ahok?

Ataukah orang-orang yang menuntut ganti rugi dari 204 juta hingga 470 miliar?

Tidak jelas korban “golongan tertentu” yang dirugikan.

Pengadilan kasus Ahok sudah terjadi,  maka yang disuguhi adalah Pengadilan Multitafsir?

Salam Multitafsir…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun