Seabrek program Ahok-Djarot yang dikerjakan sebagian besar mencapai hasil yang memuaskan dan sebagiannya lagi masih proses sedang berjalan.
Ada yang mengatakan penyerapan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta sejak dipimpin Ahok-Djarot tidak mencapai 50 persen.
Namun bisa dilihat hasil kerjanya, walau penyerapannya kecil akan tetapi hasil beberapa program pembangunan yang multi dimensi sukses dicapai.
Sebaliknya, penyerapan APBD habis 100 persen, namun hasil pembangunannya nol besar seperti contoh di zaman Gubernur sebelumnya seperti Fauzi Bowo.
Kenapa bisa terjadi ? Penyerapan APBD kecil tetapi tepat sasaran seperti contoh apa yang dilakukan Cagub Agus Yudhoyono (AHY) sangat menikmati hasil kerja Ahok-Djarot dengan naik perahu menelusuri sungai Ciliwung yang sudah bersih dan rapi.
Warga DKI Jakarta harus berterima kasih kepada AHY karena telah menampilkan dan menunjukkan kenyamanannya menikmati sungai Ciliwung hasil kerjaAhok-Djarot.
Beda penyerapan APBD yang 100 persen ludes tanpa sisa tetapi tidak tepatsasaran seperti salah satu contoh gambar dibawah :
Apakah Agus Yudhoyono mau naik perahu menelusuri sungai-sungai Jakarta yang kotor, bau dan penuh sampah?
Banyaknya program yang sudah berjalan dan sukses dilakukan Ahok-Djarot sehingga membuat calon Gubernur lain bingung mau menawarkan program baru.
Program baru seperti apa?
Akhirnya, program yang sudah ada seperti sungai yang sudah rapi dan bersih maudi sulap menjadi sungai Venice di Italia oleh AHY atau mengambil istilah sungai “Plus” yang dipopulerkan oleh Cagub Anies-Sandi.
Sungai yang bersih dan rapi sudah menyamai sungai Venice, yang membedakan adalah bangunan dipinggir sungai saja. Bangunan dipinggir sungai Veniceindah-indah sedangkan di sungai Ciliwung bangunannya kumuh-kumuh sehingga sudah sepantasnya dan tepat Ahok-Djarot melakukan relokasi.
Bukankah AHY anti relokasi seperti yang diterapkan Ahok-Djarot ? Anti relokasi sudah pasti tidak akan terwujud seperti sungai Venice.
Tidak hanya AHY, Anies-Sandi yang diduga doyan “Plus” memasukkan didalam programya seperti program Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan Kartu Jakarta Sehat (KJS) menjadi KJP Plus dan KJS Plus. (sumber)
Mungkin program Anies-Sandi terinspirasi dengan pengalaman masa lalu yang serba “Plus” sehingga sulit dilupakan.
Misalkan, Masa berakhir Anies menjabat Menteri Pendidikan menambah Plus “Antar anak ke sekolah” (sumber)
Atau masa Sandi menikmati suara merdu Dewi Persik sambil menari Plus “melucuti pakaian show” (sumber)
Contoh program KJP dan KJS milik Ahok-Djarot dicomot dan dikemas sedemikian rupa untuk menarik pemilih membuktikan Anies-Sandi minim program-program terobosan.
Seandainya Ahok-Djarot memiliki program seperti “Seribu Rusun atau seribu apartemen”, “Penginapan Gratis”, “Bantuan SatuMiliar”, “Sejuta Panti Pijat” dan lain-lain.
Kemudian dimanfaatkan Anies-Sandi dengan mengubah dengan menambah “Plus” menjadi “Seribu Rusun plus atau seribu apartemen plus”, “Penginapan Gratis plus”, “Bantuan Satu Miliar plus”, “Sejuta Panti Pijat plus” dan plus-plus lainnya.
Program milik pasangan Ahok-Djarot yang hanya sekedar ditambah “Plus” oleh Cagub lain yang menimbulkan multi tafsir menandakan tidak memiliki kemampuan dasar mengenai pengetahuan birokrasi.
Secara tidak langsung program-program seperti KJP-KJS yang dicomot dengan tambahan “Plus” oleh Anies-Sandi sudah berjalan baik dan diterima warga DKI selama Ahok-Djarot memimpin DKI Jakarta.
Apakah banyak program Ahok-Djarot yang sukses membuat Cagub lain bingung menawarkan terobosan program baru?
Bukankah lebih baik memberi kesempatan lagi ke Cagub petahana pemilik program yang digunakan Cagub lain daripada memberi kesempatan Cagub yang berjanji dengan mencomot program Cagub petahana yang sudah berhasil ?
Salam Plus-Plus…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H