Bagaimana prilaku kader-kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) seperti menebar isu Deparpolisasi, dianggap tidak sopan, tidak beretika, tidak tahu tata krama, berkata kasar.
Kemudian menekan dengan 4 syarat dan tahapan yang harus diikuti Ahok bila mau 'bertobat'. Yang pertama adalah mendaftar ke penjaringan PDIP, diverifikasi, mengikuti penyaringan, serta memilih wagub dari PDIP”.
Terakhir mengejek dengan bernyanyi ramai-ramai seperti Taman Kanak-Kanak dengan lagu “Ahok pasti tumbang”.
Prilaku dan fakta beredarnya video tersebut jelas akan berdampak menjauhnya jarak PDIP dengan partai Nasdem, Hanura dan Golkar (NHG) dan Ahok. (sumber: kompas.com).
Beberapa contoh diatas memperlihatkan sikap dan tingkah politik yang sangat buruk oleh para kader PDIP terhadap Ahok yang tidak mampu berpikir untuk mengolah strategi politik bagaimana caranya agar bisa menelurkan ide-ide cemerlang dalam menghadapi Ahok terutama Pilgub DKI Jakarta.
Kedatangan Ahok menemui Megawati Soekarno Putri (Mbok’e) pada tanggal 17 Agustus 2016 tentu berdampak besar arah politik PDIP, sikap PDIP semakin tidak jelas antara mengajukan Ahok-Djarot atau mengusung kader sendiri terutama Risma (Walikota Surabaya) yang lebih menjual daripada Djarot.
Kehadiran Ahok bukan sebagai kader PDIP menemui Mbok’e adalah hal wajar, apalagi kedatangannya untuk meminang Djarot yang dianggap kader terbaik, kecuali Ahok sebagai Kader PDIP terus meminta, itu baru tidak wajar alias kurang ajar.
Tidak ada perbedaan antara kedatangan pertama Ahok untuk meminang Djarot lewat jalur independen beberapa waktu lalu dengan kedatangan Ahok yang kedua pada 17 Agustus 2016, tujuannya adalah hanya meminang Djarot untuk dijadikan pasangan calon wakil Gubernur DKI Jakarta yang diusung lewat Partai NHG. (Sumber: tribunnews.com)
Pasca Kedatangan Ahok, PDIP benar-benar dibuat Ahok tidak berdaya, sulit mengambil sikap, gamang, bimbang. Butuh waktu panjang mengambil keputusan yang sulit, penyebabnya adalah apakah mengambil sikap berikut :
Usung Ahok-Djarot
Apabila PDIP usung Ahok-Djarot, secara pribadi Ahok akan menyambutnya dengan senang hati, karena itu adalah keinginan pribadinya dari awal (jalur independen) hingga sekarang (jalur partai).
Pertanyaannya, Apakah Ahok setuju jika PDIP usung Ahok-Djarot tanpa melalui partai NHG ? Jelas Ahok akan menolaknya, karena posisi Ahok sejak mencalonkan diri lewat jalur partai adalah milik partai NHG.
Apa jadi ? Ahok pribadi tentu akan meminta PDIP agar komunikasi politik terlebih dahulu dengan partai NHG. Apakah disetujui atau tidak berkaitan dengan partai, bukan lagi urusan Ahok, Ahok lepas tangan menyerahkan sepenuhnya ke partai NHG sebagai pengusung.
PDIP jelas akan memahami dan memaklumi posisi Ahok sekarang bukan pengambil keputusan.
Usung Tri Risma
Kans Risma diusung PDIP jelas lebih besar daripada Djarot, karena elektabilitas Risma lebih tinggi daripada Djarot. Jika PDIP jadi mengusung Risma dan Djarot sebagai wakilnya, dipastikan partai Gerindra tidak akan bergabung. Maka Pilgub DKI minimal ada tiga pasang calon yaitu pihak Sandiaga Uno (Gerindra, PKS), Risma (PDIP) dan Ahok (NHG).
Resiko usung Risma-Djarot tentu sangat besar dan berakibat fatal buat PDIP, peluang untuk menang sangat kecil sekali. Jadi, opsi yang sulit untuk di jual.
Lebih menarik Risma gandeng dengan calon wakil dari luar partai PDIP, bisa dengan Sandiaga Uno atau kader partai lain. Jika opsi itu diambil PDIP,maka ada yang meradang dan merana, karir politiknya akan selesai. Siapa sosok tersebut ?
Yang meradang dan merana jelas dari pihak Djarot, tidak mendapat apa-apa. Hanya dapat malu, dipermalukan yuniornya (Risma) melangkahi Seniornya (Djarot) di wilayah (DKI) kekuasaannya lagi. Sungguh tragedi yang sangat tragis, perih tiada tara dan pengalaman yang tidak terlupakan seumur hidup bagi Djarot sebagai “petugas partai”. Kejam !
Namun, Kesedihan itu akan sirna, Ahok dan partai NHG akan menyambutnya dengan tangan terbuka sambil membentangkan karpet emas, Ahok siap menggandeng Djarot bertarung dengan Risma.
Kemenangan sudah didepan mata Djarot jika berani nyebrang bersama “Ahok-Djarot”.
Apakah Djarot punya nyali ? kalau tidak ada nyali lebih baik Djarot melaksanakan “nazar buang sial” cukur kumis dan rambutnya seperti yang dilakukan Menteri Olahraga.
Bermain dua kaki
Kedatangan Ahok untuk meminang Djarot sebagai kader terbaik semestinya disambut baik PDIP, minimal terima kasih kepada Ahok karena merasa sudah melirik kadernya.tetapi justru disambut dengan prilaku-prilaku kader PDIP yang karbitan. Harusnya PDIP berbangga hati punya banyak stok kader-kader terbaik.
Jika PDIP tetap usung Risma, posisi Djarot dimana ? Apakah hanya pasrah menerima takdir dari PDIP ? Djarot jangan lupa, nasib ditangan Tuhan, bukan nasib di tangan Partai PDIP.
Maka kesempatan kedua (terakhir) bagi Djarot adalah harus mengambil sikap tegas, keluar dari partai atau tidak.
Djarot tentu berharap PDIP rela melepasnya untuk berduet bersama Ahok apabila PDIP mengusung Risma.
Seandainya Djarot lepas dari PDIP dan bergabung dengan Ahok maka peluang menang sangat besar walaupun Risma diusung PDIP.
NHG akan berpikir panjang jika bersama PDIP mengusung Ahok-Djarot, NHG tidak akan dapat apa-apa alias sia-sia, justru PDIP akan berkibar apalagi Ahok-Djarot terpilih nanti. Dengan perhitungan politik seperti itu, partai NHG akan menolak secara halus kehadiran PDIP atau Ahok-Djarot tidak diwujudkan, seperti artikel “Opsi Ahok-Djarot Sulit Terwujud”.
Tentu PDIP tidak akan terima perlakuan partai NHG, namun tida ada jalan buat PDIP kecuali bisa bermain “dua kaki” seperti dalam artikel “PDIP Tidak Cerdas Bermain 2 Kaki”.
Kunci “injury time” ada ditangan partai NHG, partai NHG akan melakukan pembalasan politik terhadap PDIP akibat perlakuan kader-kadernya terhadap Ahok :
- Partai NHG akan menolak kehadiran PDIP untuk mengusung Ahok-Djarot kecuali Ahok-Djarot diusung Partai NHG tanpa PDIP.
- Ahok melalui Partai NHG mengupayakan menarik Djarot dari PDIP.
Pilihan hanya ditangan Djarot :
Djarot bertahan di PDIP maka jadilah “kutu mengendap” kader yang baik.
Djarot ingin bersama Ahok, jadilah “kutu loncat”, pamitlah dengan baik-baik kepada Mbok’e.
Akhirnya, Djarot bingung memilih, Ahok datang sambil berkata “rot..! kalau lu ada gejala takut dan puyeng, ni gue udah beliin obat puyer cap bintang delapan dosis tinggi”
Salam puyeng…….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H