Pertama adalah mendukung gubernur dan wakil gubernur petahana saat ini, Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat.
Opsi kedua adalah memilih satu dari enam calon yang sudah mengikuti penjaringan di PDI-P.
Ketiga adalah mengusung sosok berdasarkan pemetaan politik, yang akan sangat tergantung dengan dinamika di lapangan. (sumber:tribunnews.com)
Bagaimana mengukur opsi-opsi yang ditawarkan Partai Demokrasi Pejuangan (PDIP), dimulai dari ekor :
Opsi ketiga, Pemetaan politik dan dinamika dilapangan jelas posisi tersebut ditempati Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang lebih unggul baik segi keberhasilan yang dicapai, elektabilitas maupun intelektualnya. Tidak ada alasan PDIP memungkiri itu.
Opsi Kedua, Jika menakar opsi ke tiga maka Opsi kedua jelas Ahok yang akan dipilih jika Ahok salah satu dari enam calon yang ikut penjaringan PDIP. Jadi, Opsi kedua dan ketiga adalah opsi yang saling terkait kecuali enam calon tersebut tidak ada nama Ahok.
Dua opsi tersebut hanya sebatas dukungan terhadap Ahok, tidak mendapat apa-apa kecuali PDIP tetap eksis dan perolehan suara Pemilu 2019 tetap cenderung stabil khusus DKI Jakarta.
Sebaliknya, jika calon lain (Risma/Djarot) yang diusung dari enam calon yang dijaring sebelumnya maka beberapa partai terutama Gerindra akan ikut bergabung dengan catatan wakilnya dari Gerindra yang akan dibuntuti oleh Partai PKS (Partner Gerindra). Pertanyaannya, Apakah PDIP berminat dengan Sandiaga Uno (calon tetap Gerindra) atau tidak.
Opsi Pertama, Apakah PDIP lupa bahwa Ahok tidak lagi di jalur independen yang akhirnya mencalonkan diri melalui jalur partai yang akan diusung Partai Nasdem, Hanura dan Golkar (NHG) ?
Apa alasan PDIP sehingga mau menentukan opsi mendukung Ahok-Djarot ? Apakah dengan mengambil opsi pertama ini kemudian Ahok akan setuju ? jelas Ahok tidak akan langsung terima opsi tersebut.
Ahok mungkin akan mengatakan “Bicaralah dengan Partai Pendukung saya” seperti yang pernah diucapkan Ahok saat masih di jalur independen bersama “Teman Ahok”, dalam urusan apapun lewat “Teman Ahok”.