NASIONAL-1 BUTONet 2
Bedah Buku "Tan Malaka" Gagal Digelar
SURABAYA, JUM'AT --- Bedah buku "Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia" jilid IV oleh elemen pemuda, yang dijadwalkan pada Jum’at malam (7/2) di C-20 Library Jalan Cipto Surabaya, batal.
Menurut Koordinator Divisi Monitoring dan Dokumentasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya, Fatkhul Khoir, rencananya acara ini menghadirkan penulis buku tersebut, Harry A Poeze yang sudah didatangkan dari Amsterdam, Belanda. Namun, polisi tidak memberikan izin penyelenggaraan.
"Izin ditolak oleh polisi karena alasan keamanan; polisi khawatir ada pembubaran paksa oleh kelompok tertentu," ujar Khoir, seperti dikutip Merdeka.com.
Sementara itu, Koordinator KontraS Surabaya, Andy Irfan, mengatakan, pembatalan paksa terjadi karena ada segelintir kelompok anti demokrasi yang phobia dengan wacana-wacana kiri (sosialis dan komunis) dan kemudian menebar ancaman kekerasan kepada pihak panitia bedah buku. Andy juga mengecam kegagalan aparat kepolisian Polrestabes Surabaya dalam memberikan perlindungan terhadap panitia. “Polrestabes Surabaya tidak memberikan izin dan jaminan keamanan kepada panitia, padahal acara semacam ini tidak memerlukan izin atau pemberitahuan," ujarnya, Jum’at (7/2).
Merdeka.com memberitakan, pada malam Jum’at (6/2), panitia acara menyampaikan pemberitahuan kegiatan kepada Polsek Tegalsari. Keesokan harinya, panitia kembali mendatangi Polsek, dan dari sana didapatkan saran agar panitia menyampaikan pemberitahuan kepada Polrestabes Surabaya. Oleh Polrestabes, panitia diminta membatalkan acara tersebut.
"Ini menjadi preseden buruk bagi iklim demokrasi di Indonesia. Polisi ternyata menyerah pada ormas fundamentalis. Pembatalan ini adalah bentuk pembungkaman daya kritis masyarakat karena kegiatan itu sifatnya akademis," kata Khoir dengan kesal. Sementara itu, Kapolsek Tegalsari, Komisaris Polisi Arif Mukti, menolak berkomentar terkait pembatalan acara tersebut. Ia hanya berujar agar semua pihak menjaga keamanan dan kenyamanan kota Surabaya. "Kami hanya berupaya menjaga keamanan, apalagi saat ini menjelang Pemilu. Kita ingin Surabaya tetap kondusif," ujarnya.
Menyusul kebijakan Polisi, Front Pembela Islam (FPI) Jawa Timur meminta panitia membatalkan bedah buku itu. Ketua Bidang Nahi Munkar FPI Jawa Timur, KH Dhofir, menjelaskan bahwa bedah buku "Tan Malaka" lebih baik digelar di kampus sebagai tempat untuk belajar, dan buku tersebut dapat dikaji secara ilmiah.
"Itu dikupas secara ilmiah untuk mencari kebenaran; ini kan tidak. Entah itu bedah WC atau bedah apa, yang jelas acara ini kan dibuka di tempat umum, dan mengundang peserta umum. Itu artinya mereka mengajak orang-orang ke jalan yang tidak benar," ketus Dhofir.
Pihaknya berjanji tidak akan beranjak dari lokasi jika panitia tidak segera meninggalkan lokasi acara."Acara ini tidak boleh dilaksankan, Tan Malaka adalah tokoh PKI yang harus dihilangkan dari negeri ini," tegasnya.
Selain FPI, hadir juga beberapa elemen yang tergabung dalam Gerakan Umat Islam Bersatu (GUIB) Jawa Timur. Mereka memprotes keras gelar acara tersebut, sebab sosok Tan Malaka adalah tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka menyatakan tak peduli, meski Tan Malakajuga merupakan salah satu tokoh pejuang bangsa.
"Itu kan versinya PKI. Tan Malaka itu kan pahlawannya orang-orang PKI. Dia adalah tokoh Marxis," kata Dhofir seraya menegaskan bahwa Tap MPR RI tentang pelarangan aktivitas partai komunis masih belaku di Indonesia.
Berdasarkan pantauan Kompas.com, pascapelarangan tersebut, Gedung C20 Library terlihat sepi. Tak ada lampu penerangan, bahkan pintu gerbang ditempeli tulisan: “Mohon Maaf, Diskusi Buku Tan Malakadengan A Poeze pukul 18.30 WIB dibatalkan.”
Akibat penolakan itu, sekitar pukul 19.30 WIB, massa membubarkan diri dengan mendapat pengawalan ketat dari kepolisian. Namun, pada pukul 19.45 WIB, mereka kembali dengan dua mobil ke lokasi acara dan menggelar tikar di sana.
"Kita akan tunggu dari kalian-kalian (wartawan) soal beritanya. Kalau acara masih digelar kita akan lawan. Tapi jangan memfitnah, bikinlah tulisan yang baik; kalau tulisan itu salah lebih baik saya melawan kalian-kalian," tandas Dhofir seraya mengatakan bahwa pihaknya akan terus melakukan pengawalan terkait bedah buku Tan Malaka itu.
Jumat pagi acara bedah buku Tan Malaka tersebut sempat digelar di gedung Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga, Surabaya, dengan pembicara adalah Harry A Poeze. Esok harinya (8/2), bedah buku yang sama juga dilaksanakan pada salah satu universitas swasta di Kediri.
Poeze yang kelahiran 1947, dan juga adalah mantan Kepala Penerbit KITLV di Leiden Belanda, mengaku sempat syok saat FPI membubarkan acara. "Mereka tidak paham maksud dari bedah buku ini. Saya tidak menyebarkan paham komunis, melainkan membeberkan perjalanan Tan Malaka pada detik-detik menjelang kematiannya di Selopanggung, Kediri," kata Poeze usai bedah buku.
Poeze mengungkapkan, demi keselamatan dirinya, atas saran pihak kepolisian dan TNI , ia membatalkan acara bedah buku pada Jum’at malam tersebut. "Saya bersyukur di Kediri aman dan pesertanya sangat banyak," kata Poeze sambil menandatangani buku hasil karyanya, yang juga memuat beberapa kutipan tulisan wartawan di Kediri dalam buku terbarunya itu.
Pada tempat terpisah, sejarawan Institut Sejarah Sosial Indonesia Hilmar Farid mengecam tindakan pembubaran acara tersebut. "Itu (pembubaran) merupakan tindakan aneh dan tidak ada relevansinya karena diskusi itu mengenalkan tokoh sejarah, lalu dihambat dengan alasan yang sama digunakan Orde Baru. Tindakan tersebut membawa masyarakat Indonesia mundur dalam perjalanan bangsa yang saat ini sudah masuk dalam era demokrasi." ungkapnya di Jakarta, seperti dikutip Antara, Sabtu (8/2).
(Kompas.com/ Merdeka.com/ Antara/ Wa Ode Zainab ZT)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H