Saya sebenarnya tidak begitu tertarik menulis sesuatu yang tidak terlalu saya kuasai. Namun, akhir-akhir ini kata resesi menjadi  topik hangat disemua kalangan.  Dalam pemahaman saya resesi melanda suatu negara jika pertumbuhan ekonomi suatu negara adalah negatif selama dua kuartal berturut-turut. Demikianlah defenisi yang saya dapat setelah menonton post cad Prof Reynald Kasali. Dengan defenisi diatas, jelaslah kita bisa memprediksi bahwa Indonesia kemungkinan tidak resesi mengingat ekonomi Indonesia diramalkan tumbuh dikisaran 5 persen tahun 2023.Â
Bagaimana dunia pendidikan kita? apakah resesi akan berpengaruh terhadap angka partisipasi pendidikan? untuk pendidikan dasar dan menengah, jelas pemerintah sudah memberikan jaminan sekolah gratis sehingga SMA, dan untuk siswa-siswa yang tidak mampu bahkan diberikan KIP yang bisa mendukung proses belajar mengajar. Demikian halnya untuk pendidikan tinggi setali tiga uang dengan siswa sekolah menengah, mahasiswa baru dari keluarga pemegang PKH bahkan diberikan biaya SPP, uang bulanan yang bisa membiayai seluruh kebutuhan mereka sampai wisuda. Angka partispasi sekolah akan lebih tertekan disebabkan oleh faktor-faktor lain semisal saja anak menjadi tenaga kerja yang menjadi tulang punggung keluarga dibanding memilih melanjutkan sekolah, budaya yang tidak mendukung anak untuk bersekolah tinggi dan terbatasnya akses informasi dibeberapa daerah.
Justru saya melihat kita mengalami resesi di rangking kampus. Rangking-rangking kampus kita masih belum menunjukan pergerakan yang berarti paling tidak di dua pemeringkatan bergengsi yang menjadi rujukan Dikti. yaitu Quacquarelli Symonds (QS) World University Ranking yang  merilis daftar perguruan tinggi terbaik dunia tahun 2023. Kampus-kampus indonesia masih jauh dan begitu tertinggal dari kampus-kampus Malaysia. Negara yang tahun 70 an mengimpor guru dari indonesia bahkan berhasil menempatkan Universitas Malaya di peringkat 70 dunia, dimana UGM  yang mewakili kampus terbaik Indonesia hanya ada di posisi 231. Universitas Indonesia diperingkat 248. Ada tiga kampus Malaysia yang duduk diperingkat 100 an yaitu: universitas putra Malaysia 123 dunia, Univ kebangsaan peringkat 129 dan universitas Sains malaysia diperingkat  143 dunia.Â
Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan peringkat Times Higher Education, rangking Kampus kita dibawah kampus-kampus Malaysia. Salah satu yang menjadi indikator penilaian adalah publikasi di jurnal internasional. Berdasarkan pengalaman saya yang mengambil kuliah master di Malaysia, dosen-dosen di Malaysia terbiasa ditarget untuk publish dijurnal scopus dan WOS. Menariknya lagi prosiding di Malaysia tidak masuk hitungan sebagai publikasi ilmiah. Dukungan dana riset yang besar juga membuat dosen Malaysia leluasa menulis tanpa memikirkan biaya. Di lain sisi, dosen-dosen kita terutama didaerah masih sibuk berkutat dengan kesejahteraan hidup. Gaji dosen tetap non PNS bahkan hanya 1,7 juta sebulan yang dibayarkan juga tidak setiap bulan. Jangankan memikirkan untuk publish dijurnal internasional bahkan untuk membuat jurnal dan dipublish di jurnal nasional saja tidak sempat kepikiran.Â
Sehingga dapat ditarik satu benang merah, mengapa publikasi jurnal internasional masih rendah dibanding negara tetangga. Banyak faktor yang bisa dijelaskan dan tidak bisa dijelaskan. Padahal sebaran dosen di daerah juga sangat banyak. Misalnya saja akumulasi dosen di daerah dan juga dosen-dosen non PNS  menulis dijurnal-jurnal internasional akan menopang keseluruhan jumlah publikasi ilmiah dosen indonesia secara internasional . Dosen-dosen muda bergelar master yang bertaruh masa depan di dunia dosen  tetap non PNS, tanpa kejelasan jenjang karir dan masa depan yang gelap gulita. Tidak mengherankan budaya menulis, meneliti dan publikasi tidak mengakar dalam diri mereka. Hanya mengajar itupun dengan napas yang megap-megap. Keberadaan dosen-dosen muda sangat penting, karena dosen-dosen sepuh para guru besar jumlahnya juga sudah semakin sedikit sehingga mau tidak mau regenerasi harus terjadi.Â
Berbicara resesi pemeringkatan perguruan tinggi memang rumit. Ada banyak hal yang harus dituntaskan. Jika tidak maka resesi- pemeringkatan kampus kita  akan terus berulang dari tahun ke tahun.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H