Dalam komunikasi, tidak setiap saat kita akan baik-baik saja. Kita adalah luka bagi orang lain, sebagaimana orang lain adalah luka bagi kita. Betul kata pepatah, diam itu emas. Coba liat dalam kehidupan sehari-hari, orang yang paling cool adalah mereka yang paling jarang menyapa baik itu dichat atau di tempat dunia maya yang lain.
Ditambah lagi kesibukan tinggi yang kita semua miliki, melihat seseorang yang rajin menyapa atau rajin posting di medsos adalah hal yang aneh, seolah-olah mereka memiliki begitu banyak waktu yang tidak terpakai, dan membuat orang enggan untuk membaca atau sekedar mereply postingan tersebut. Akan tetapi menemukan orang yang begitu boros meluangkan waktu memberi penjelasan akan sesuatu juga tidak mudah. Zaman ini adalah zaman untuk sekedar menjawab , OK, butuh dua hari agar waktu kita tidak habis sia-sia.
Itu untuk mereka yang hidup dikota. Saya yang kemudian tiba-tiba terpental hidup dikampung menemukan bahwa tradisi orang kampung masih suka ngobrol-ngobrol sekedar menanyakan kemana saja tidak kelihatan seharian? Paradox memang, namun demikanlah hidup. Tinggal kita yang memilih skala prioritas dan menyesuaikan diri. Dikampung kita membuang-buang waktu adalah dianggap ramah , dikota dianggap kurang kerjaan dan mungkin tidak punya hal penting yang harus diurusi.
Bermasyarakat diera digital memang harus cerdas agar kita bisa upgrade diri dan tentu saja tidak merugikan orang lain. Saya kemudian teringat buku best seller “Bicara Itu Ada Seninya” dan memang kita harus bisa menyesuaikan diri dan dengan pada siapa kita berhadapan. Saat ini saya tinggal di kampung, harus bisa berhadapan dengan kebiasaan dikunjungi oleh tetangga yang sekedar mengobrol untuk hal remeh temeh.
Jika kemudian berhadapan dengan orang kota maka saya harus bisa mengkalkulasi menit-menit yang dimiliki seseorang jika hendak berkomunikasi. Menjadi manusia bijak adalah kuncinya. Menyadari faktor geografis diamana berada bisa memperkecil kesalahpahaman. Menjadi orang kota atau orang kampung tergantung kebutuhan masing-masing dari kita.
Supaya berguna ketika ada dikampung, saya sudah punya program membuka cakrawala guru-guru di daerah yang juga susah sinyal tersebut. Mereka begitu tertinggal dengan info yang up to date di dunia pendidikan. Saya menulis buku, dan ada penerbit lokal yang sangat antusias mau menerbitkan. Buku itu saya lihat bahkan belum ada di indonesia.
Buku yang membahas tentang tes PISA secara lengkap yang mana PISA ini sangat didewa-dewakan oleh pengambil kebijakan pendidikan di negara ini. Saya akan membedah, mengadakan seminar dan workshop agar mereka terbiasa dengan istilah -istilah di PISA, antara lain, disrupsi, era 4.0, masyarakat 5.0 , metaverse dll. Dengan demikian mereka juga bisa menyamai pemahaman guru-guru di belahan dunia lain yang sudah maju.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H