Mari bandingkan dengan Malaysia. Pada tahun 2002 Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad mencanangkan visi 2020. Tahun 2020 Malaysia akan jadi negara maju. Â Maka semua dirumuskan termasuk juga pendidikan, kurikulum, dan sebagainya. Meskipun ganti Perdana Menteri, kurikulumnya tidak diubah, masih berpegang di visi 2020.
Ganti kurikulum oke saja, sah-sah saja, apalagi memang dibutuhkan. Tapi apakah misalnya setelah bapak tidak menjabat sebagai mendikbud, apakah menteri baru akan mengganti kurikulum lagi? Sampai kapan pendidikan kita matang dan menemukan formula yang pas? Bagaimana kita mau memasuki era 4.0 kalau kurikulumnya selalu diganti?
Yang kedua, Malaysia membangun dan menyamaratakan fasilitas-fasilitas sekolah-sekolah dan perguruan tinggi sehingga jurang yang ada di desa dan di kota tidak terlalu lebar.
Mari menengok gedung-gedung sekolah kita di luar Jawa. Masih banyak sekolah model kandang kambing yang apabila diseruduk oleh kambing yang kebelet kawin sekolahnya ambruk serta merta. Apa artinya inovasi tanpa fasilitas yang memadai?
Kampus-kampus di Malaysia banyak yang bertengger di ranking dunia, bukan hanya satu universitas. Itu karena fasilitasnya memadai dan canggih. Kampus RI beruntung memiliki UI, menjadi satu-satunya kampus yang menyelamatkan muka Indonesia di dunia internasional.
Masa -masa euforia pelantikan akan segera berlalu, banyak yang menunggu gebrakan bapak. Semoga, "ganti menteri ganti kurikulum" terhenti di bapak. Segera dipatenkan kurikulum yang baru dan tidak perlu lagi diganti, siapapun menterinya kelak.
Sudah terlalu banyak energi dan waktu yang terbuang hanya untuk menyesuaikan diri dengan kurikulum baru, tahu-tahu dan tiba-tiba negara lain sudah begitu jauh meninggalkan kita. Sementara kita masih terus saja mencari formula model, bentuk, dan kurikulum apa yang pas untuk pendidikan kita, sangat melelahkan.