Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Batal ke Gunung, Sawah pun Jadi

5 Januari 2025   23:48 Diperbarui: 6 Januari 2025   11:47 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak harus jauh maupun ke tempat mewah, liburan menjadi berkualitas jika dilakukan dengan penuh rasa syukur.

***

Libur Natal dan tahun baru (nataru) cukup panjang bagi beberapa lembaga, pendidikan salah satunya, yakni dua minggu. Anda pergi ke mana saja? Ke luar kota, luar pula, atau justru ke luar angkasa?

Liburanku dan keluarga kali ini tidak ke luar kota, tidak ke tempat menawan, namun tetap bermakna. Padahal, saat weekend dulu kami bisa mengajak anak ke tempat wisata sampai di luar kota. 

Ada adik sepupu yang kuliah di Semarang datang menginap ke rumah. Kami juga beberes rumah mumpung libur. Kami bersilaturahmi ke rumah mertua adikku dan adik rohani. Dan kami melakukan acara open house kecil-kecilan di malam tahun baru.

Tak terasa, waktu cepat begulir, liburan hampir habis, hari kerja telah di depan mata. Mungkin waktu liburannya kurang lama, hehe.

Bersama adik sepupu dan Mbah, kami sempat mengunjungi Taman Kota Salatiga. Anak kami sangat suka ke sana untuk melihat iguana di kandang serta menjajal semua wahana terutama perosotan dan ayunan. Ada pohon pinus yang bagus sebagai background saat berfoto. Banyak yang melakukan prewed di sini juga.

Salah satu target dalam liburan ini adalah mengajak anak menikmati alam terbuka, untuk menanamkan kecintaannya kepada alam yang Tuhan ciptakan demikian indahnya. Berkemah ke gunung, itu salah satu targernya.

Selain silaturahmi maupun kunjungan teman dan sahabat, kami juga cukup sibuk mengikuti rangkaian ibadah ke gereja. Padat pokoknya!

Suatu hari Kamis, kami merencanakan untuk berkemah. Sebab, hanya itu waktu yang tersisa. Jumat ada pertemuan jemaat wilayah untuk Perjamuan Kudus. Sabtu ada pertemuan KTB Pasutri, ada teman luar kota yang bisa mampir. Namun, hari Kamis itu juga ada undangan open house dari teman guru.

Setelah berdiskusi dengan istri, kami memutuskan untuk datang ke acara open house dengan konsekuensi yang menyertai. Pagi sampai siang kami melakukan persiapan dan packing. Siangnya acara ke rumah teman. Pulang sebentar mengambil barang, dan segera berangkat. Baru tiga menit memacu sepeda motor, langit telah rintik. Langit telap gelap. Bakalan hujan. Parahnya, sudah hampir jam 4.

Aku pun menepi dan berdiskusi dengan istri. "Terserahlah," jawab istri. Gawat. Satu kata ini mewakili segalanya, namun tidak menyelesaikan masalah. Sebagai kepala keluarga, aku harus bisa memutuskan dengan bijak. Haruskah pulang dan batal kemah, sedangkan sudah packing dan menjanjikan kepada anak? Atau nekat, dengan risiko kehujanan sepanjang perjalanan dan gelap saat mendaki? Bak makan buah simalakama.

Kalau aku mau cuek, pulang ajalah. Ngopi dan selimutan di rumah. Enak, tak usah repot! Namun,

Tak peduli sehebat apa pun dirimu, tepatilah janji yang dibuat.

Aku memaksa otakku berpikir. Harus mencari solusi bagaimana pun caranya. Akhirnya aku memacu motor ke salah satu tempat yang biasa kami kunjungi. Harus menemukan spot yang terjangkau, aman, dan pemandangannya bagus untuk berkemah. Aku memilih ke daerah Sitalang, salah satu desa di Pabelan, pinggiran Salatiga.

Desa ini menjadi desa wisata dengan pemandangan utama area persawahan dan latar belakang Gunung Merbabu. Saat weekend, tempat ini ramai dikunjungi warga khususnya yang berolahraga joging. Ada beberapa lapak warga yang menyediakan beragam snack, minuman, hingga makanan berat seperti pecel.

Aku mencari spot yang pemandangannya berlatar belakang Merbabu, dekat sawah, namun tetap aman, agak menjauh dari jalan utama. Ini bukan kali pertama kali mengajak anak berkemah. Namun kali ini beda karena tidak sesuai rencana.

Kemah: kegiatan menyenangkan dan menantang

Selain untuk mengajarkan kecintaan pada alam, tujuan kami mengajak anak berkemah sejak dini adalah mengajarkan kemandirian dan kemampuan adaptif. Tidur di rumah sendiri adalah paling nyaman. Tidak seperti di tenda, di alam terbuka. Tambahkan lagi, lokasi yang kami pilih bukan area khusus perkemahan, cukup jauh dari permukiman. Tanahnya agak lembek, karena di pinggir sawah. Dekat semak-semak pula.

Anak ikut memasak di tenda | foto: KRAISWAN
Anak ikut memasak di tenda | foto: KRAISWAN

Malam, sekitar jam 21.00, anak kami telah terlelap. Cahaya kunang-kunang menerangi di luar tenda. Jangkrik dan katak menjadi orkestra menemani kemah kami. Namun, ada dua motor berhenti di pinggir jalan. Bagaimana ini? Aku takut, kalau mereka tahu lokasi kemah kami, dan melakukan sesuatu yang jahat. (Terbayang seperti di film-film.) 

Kalau terjadi bahaya, aku harus mengorbankan motor, nyawa kalau perlu, demi keselamatan anak dan istri. Aslinya ya takut, sih! Syukurnya, tak lama mereka pergi. Kami bisa istirahat dengan aman. Esoknya kami melihat ada ular hijau di pinggir jalan, dekat lokasi tenda kami. Wah, Tuhan yang menjagai kami semalam, juga dari hewan buas.

Bangun pagi di tepi sawah

Aku dan istri mendamba, suatu hari ingin bangun tidur melihat sawah di depan kamar. Namun, tak harus membangun rumah mewah (mepet sawah) untuk mewujudkannya. Kami bisa tidur di tenda di tepi sawah. Di depan pintu tenda, terbentang padi yang hijau. Indahnya!

Pemandangan dari tenda | foto: KRAISWAN
Pemandangan dari tenda | foto: KRAISWAN

Mendengar suara gemericik air, anak kami sudah gatel sejak kami membangun tenda. Ingin mencebur ke air rasanya.

Jalan pagi, menikmati suasana alam

Pagi jam 6 lebih, kami bangun. Anak sudah penuh baterainya untuk dihabiskan melalui gerakan. Aku dan anak berjalan-jalan di jalan beton di antar sawah, berpapasan dengan warga yang joging. Istri lanjut tidur karena dia sedang haid.

Anak kami suka melihat air, memandang gunung, menanyakan suara kaleng yang digoyang-goyang untuk mengusir burung, dan berlarian di bawah sinar matahari pagi. Momen singkat ini amat bermakna untuk dilalui bersama anak. Agar dia tahu bersyukur dan peduli atas alam indah yang Tuhan ciptakan. 

Bersama anak menikmati suasana alam | foto: KRAISWAN
Bersama anak menikmati suasana alam | foto: KRAISWAN

Meski tak jadi ke gunung, ternyata berkemah di sawah boleh juga. Bagaimana dengan liburanmu? --KRAISWAN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun