Aku pun menepi dan berdiskusi dengan istri. "Terserahlah," jawab istri. Gawat. Satu kata ini mewakili segalanya, namun tidak menyelesaikan masalah. Sebagai kepala keluarga, aku harus bisa memutuskan dengan bijak. Haruskah pulang dan batal kemah, sedangkan sudah packing dan menjanjikan kepada anak? Atau nekat, dengan risiko kehujanan sepanjang perjalanan dan gelap saat mendaki? Bak makan buah simalakama.
Kalau aku mau cuek, pulang ajalah. Ngopi dan selimutan di rumah. Enak, tak usah repot! Namun,
Tak peduli sehebat apa pun dirimu, tepatilah janji yang dibuat.
Aku memaksa otakku berpikir. Harus mencari solusi bagaimana pun caranya. Akhirnya aku memacu motor ke salah satu tempat yang biasa kami kunjungi. Harus menemukan spot yang terjangkau, aman, dan pemandangannya bagus untuk berkemah. Aku memilih ke daerah Sitalang, salah satu desa di Pabelan, pinggiran Salatiga.
Desa ini menjadi desa wisata dengan pemandangan utama area persawahan dan latar belakang Gunung Merbabu. Saat weekend, tempat ini ramai dikunjungi warga khususnya yang berolahraga joging. Ada beberapa lapak warga yang menyediakan beragam snack, minuman, hingga makanan berat seperti pecel.
Aku mencari spot yang pemandangannya berlatar belakang Merbabu, dekat sawah, namun tetap aman, agak menjauh dari jalan utama. Ini bukan kali pertama kali mengajak anak berkemah. Namun kali ini beda karena tidak sesuai rencana.
Kemah: kegiatan menyenangkan dan menantang
Selain untuk mengajarkan kecintaan pada alam, tujuan kami mengajak anak berkemah sejak dini adalah mengajarkan kemandirian dan kemampuan adaptif. Tidur di rumah sendiri adalah paling nyaman. Tidak seperti di tenda, di alam terbuka. Tambahkan lagi, lokasi yang kami pilih bukan area khusus perkemahan, cukup jauh dari permukiman. Tanahnya agak lembek, karena di pinggir sawah. Dekat semak-semak pula.
Malam, sekitar jam 21.00, anak kami telah terlelap. Cahaya kunang-kunang menerangi di luar tenda. Jangkrik dan katak menjadi orkestra menemani kemah kami. Namun, ada dua motor berhenti di pinggir jalan. Bagaimana ini? Aku takut, kalau mereka tahu lokasi kemah kami, dan melakukan sesuatu yang jahat. (Terbayang seperti di film-film.)Â
Kalau terjadi bahaya, aku harus mengorbankan motor, nyawa kalau perlu, demi keselamatan anak dan istri. Aslinya ya takut, sih! Syukurnya, tak lama mereka pergi. Kami bisa istirahat dengan aman. Esoknya kami melihat ada ular hijau di pinggir jalan, dekat lokasi tenda kami. Wah, Tuhan yang menjagai kami semalam, juga dari hewan buas.
Bangun pagi di tepi sawah
Aku dan istri mendamba, suatu hari ingin bangun tidur melihat sawah di depan kamar. Namun, tak harus membangun rumah mewah (mepet sawah) untuk mewujudkannya. Kami bisa tidur di tenda di tepi sawah. Di depan pintu tenda, terbentang padi yang hijau. Indahnya!