Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan. --Albert Einstein
Percayakah kamu, dengan imajinasi kita bisa menaklukkan dunia? Manusia berimajinasi bisa terbang seperti burung, maka mereka merancang pesawat terbang. Wright bersaudara mewujudkannya. Bahkan, manusia mengkhayal untuk terbang melampaui langit. Pada 21 Juli 1969, Neil Armstrong menjadi manusia pertama yang menginjakkan kaki di bulan.Â
Demikian dahsyat kekuatan imajinasi. Masih kurang bukti? Masih ingat mainan kita di waktu kecil, telepon-teleponan? Dua kaleng bekas susu kental manis dihubungkan dengan benang hanya 2 meter, lalu berbicara layaknya jarak jauh via telepon. Bicara langsung kan lebih gampang!
Kini, komunikasi jarak jauh bahkan bisa dilakukan tanpa kabel (wireless). Untuk menjangkau ujung dunia seperti di Antartika misalnya, kita tinggal scroll di HP untuk membuka Maps atau Google Earth. Manusia bisa mengontrol truk-truk pengangkut kontainer menggunakan kontrol jarak jauh.Â
Neuralink-nya Elon Musk bahkan memungkinkan kita berkomunikasi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Semacam telepati, namun harus dengan menanam chip di dalam otak.
Oleh sebab itu, aku dan istri sepakat untuk menyalakan imajinasi anak dengan memberikannya beragam stimulus. Mulai dari gambar, lagu-lagu, video, berinteraksi dengan banyak orang, hingga mengenalkan lingkungan sekitar termasuk saat di perjalanan.
Terkini, anakku sudah bisa menyanyi beberapa lagu anak--bahkan "mengaransemennya", menyebutkan bermacam-macam nama hewan berikut suaranya, alat berat berikut fungsi dan bentuknya, juga isi buku cerita beserta alurnya. Keren ya!
Namun, nampaknya kami melewatkan satu step. Saat acara senam bersama, istriku bertugas dalam sesi parenting dan menyadari sesuatu. Kami belum pernah mengajarkan anak menggambar garis dan bangun datar. Kami malah langsung lompat dengan mengajarinya mewarnai dengan cat air (bekasku dulu). Mungkin tidak sepenuhnya salah, karena anak kami bisa bertumbuh dan berkembang dengan baik sesuai usianya.
Maka, kami ingin melengkapi tahapan yang terlewat itu. Sepulang kerja, aku mampir ke toko alat tulis membeli lem, correction pen, dan crayon.Â
Menstimulus dengan crayon
Kenapa crayon? Meski sudah ada pensil warna di rumah (bekas omnya), aku tetap memilih crayon. Sebab, crayon memiliki tekstur yang padat namun lembut, tidak harus diraut, dan nyaman dipegang. Meski mudah patah, crayon sangat fleksibel, sampai ujung-ujung patahannya bisa dipakai untuk menggambar.
Setiap berbelanja, aku selalu minta ditunjukkan beberapa model dan harganya. Jadi lebih objektif untuk memilih. Dari dua merek crayon yang ditunjukkan pelayan, aku memilih yang harganya lebih mahal. Bukan karena banyak uang, tapi yang lebih aman untuk anak, ada tulisan "save for children". Sedangkan merek yang lebih murah tidak disarankan untuk anak 1-3 tahun.
Biasanya crayon memiliki bau menyengat saat dipegang. Sehingga tidak semua anak suka crayon, apalagi untuk balita, takut kalau dimakan. Syukurnya, merek crayon yang aku pilih tidak berbau. Semoga memang aman untuk anak.
Membelikan saja tidak cukup
Sebagai orang tua, apa pun profesi dan kesibukannya, entahkah anggota DPR atau juru bangunan, harusnya mendidik anak jadi tanggung jawab yang tak bisa dilepaskan. Tugas mendidik yang palung pertama dan utama ada pada orang tua, bukan guru--semahal apa pun orang tua membayar ke sekolah. Sebab Tuhan mempercayakan anak kepada orang tua.
Membelikan mainan itu gampang. Menemani anak agar bisa berimajinasi dengan mainan itu yang susah. Tak semua anak bisa auto jalan imajinasinya dengan bermain sendiri. Semahal, secanggih, sebahagianya anak, jangan belikan HP untuk membuatnya diam. Banyak penelitian menunjukkan, dampak negatif lebih banyak dirasakan anak yang mengakses HP, dibanding dampak positifnya.
Anak balita tak perlu diajari atau ditemani main HP. Berikan saja HP, anak bisa mengeksplorasi sendiri. Lagi pula, HP adalah alat yang sangat interaktif. Bisa lebih interaktif dibanding orang tua.
Kembali pada crayon. Melihat referensi dari medsos, aku mencoba membuat worksheet sederhana di kertas bekas. Aku buat satu titik di sisi sini, titik lain di sana. Tugas anakku adalah membuat garis dengan menghubungkan titik itu. Sekali diajari, anakku langsung bisa. Aku tambah levelnya dengan membuat formasi titik berbentuk segi empat, segitiga dan lingkaran.Â
"Gampang!" mungkin begitu kata anakku. Malah anakku merasa bisa tanpa aku ajari. Begini rasanya ngelesi anak sendiri. Bisa terpancing emosi juga.
Secara umum, pilihanku membelikan crayon sudah tepat. Meski anak balita cenderung cepat bosan. Tapi lumayan untuk menyalakan imajinasinya. Semoga. --KRAISWANÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H