Rutin memangkas rambut adalah cara menghargai orang lain yang melihatmu. Begitu pesan soft skill trainer dalam sesi yang pernah aku ikuti.
Meski banyak pekerjaan dengan mudah digantikan oleh produk teknologi seperti mesin, robot, atau AI (artificial intelligence); nampaknya profesi pemangkas rambut adalah salah satu yang sulit digantikan. Setidaknya, lambat untuk digantikan.
Sebab, memangkas rambut itu butuh feeling--sesuatu yang tak bisa dipenuhi oleh mesin, robot, atau AI.
Juru pangkas rambut adalah profesi yang sakti, lebih sakti dibanding para menteri. Maksud? Ya iyalah. Siapa yang berani memegang-megang kepala presiden, menariknya ke kiri-kanan, depan dan belakang, selain istri, anak, hingga cucu presiden? Ya juru pangkasnya lah!
Omong-omong tentang tempat memangkas rambut aku punya beberapa kesan unik.
Mencoba ke barbershop
Dulu sekali, saat masih sekolah, aku doyan pangkas rambut ke pasar. Maksudnya ke juru pangkas yang menempati ruko-ruko sekitar pasar. Alasannya, murah meriah, dan lumayan rapi. Meskipun model potongan rambut yang di tempel di poster menghiasi dinding salon belum tentu demikian hasilnya saat rambut kita dipotong.
Di masa kuliah, aku pertama kali mendengar istilah barbershop. Wih, makanan apa tuh?
Tempat pangkas rambut khusus pria. Apa bedanya dengan juru pangkas rambut di pasar? Lebih bergengsi lah! Selain hasilnya lebih memuaskan--mendekati keinginan kita, ada layanan cuci rambut. Wajar, sebab biayanya bisa dua kali lipat dari juru pangkas di pasar.
Semenjak itu aku selalu pangkas ke barbershop. Biar tidak ada fasilitas keramas, asal di kaca ada tulisan "Barbershop", aku masuk juga! Gengsi dong!