Semua orang ingin segala sesuatu yang sempurna, entah secara fisik, mental, hingga penampilan. Tapi, bagaimana kalau orang dilahirkan dengan kondisi tidak sempurna? Dapatkah seseorang memilih untuk lahir sempurna?
***
Setiap bulan Oktober, gerejaku merayakan bukan keluarga. Tahun ini, sinode gerejaku menggumuli tema “Supaya Kamu Saling Mengasihi” (Yohanes 13:34). Tema mendorong keluarga-keluarga Kristen untuk mewujudkan keluarga inklusi, khususnya bagi penyandang disabilitas.
Bagi kebanyakan kita, sangat mudah untuk mengasihi orang yang sempurna. Bagaimana dengan orang yang tidak sempurna, mampukah kita mengasihinya? Misal orang itu melakukan kesalahan. Atau, bisakah kita mengasihi orang yang tidak sempurna secara fisik atau mental (disabilitas)?
Disabilitas (difabel) merupakan kondisi keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik yang dialami seseorang dalam jangka waktu lama. Keterbatasan ini menyebabkan mereka mengalami hambatan dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar maupun melakukan aktivitas tertentu.
Ada beberapa jenis disabilitas, di antaranya disabilitas netra (keterbatasan melihat), disabilitas rungu (keterbatasan mendengar), disabilitas daksa (keterbatasan fisik untuk bergerak), dan disabilitas intelektual (keterbatasan kognitif). Ada juga disabilitas ganda, yakni keterbatasan pada lebih dari satu hal.
Di dalam sejarah, orang penyandang disabel mendapat perlakuan diskriminatif. Dianggap mendapat kutukan, orang tua melakukan pelanggaran atau dirinya sendiri yang berdosa. Misalnya, jika seorang perempuan sedang hamil, suaminya tidak boleh menyakiti atau membunuh hewan, nanti anaknya tidak normal.
Saat Yesus sedang berjalan bersama murid-muridNya, Ia melihat orang yang buta sejak lahir. Para murid Yesus pun bertanya, "Bapak Guru, mengapa orang ini dilahirkan buta? Apakah karena ia sendiri berdosa atau karena ibu bapaknya berdosa?" Para murid berpikir, orang yang buta sejak lahir adalah dosa dari orang tuanya maupun orang itu sendiri.
Ini adalah sikap menghakimi. Namun, budaya waktu itu pun mengajarkan demikian. Jika seseorang mengalami sakit parah yang tak kunjung sembuh, dianggap orang itu mendapat kutukan akibat dosa yang dilakukan. Di beberapa daerah mungkin juga masih meyakini hal ini.
Citra Allah, ciptaan yang sempurna
Berbeda dengan makhluk hidup lain yang Allah ciptaan dengan firman-Nya (mulut), manusia diciptakan lebih istimewa. Allah membentuk manusia dari debu tanah, lalu menghembuskan nafas hidup ke hidungnya. Manusia diciptakan segambar dan serupa dengan citra Allah. Manusia menjadi ciptaan yang sempurna dibanding ciptaan lain.
Setelah menciptakan langit, bumi, dan segala isinya, Allah melihat semua itu sungguh amat baik, termasuk manusia. Kalau ada yang tidak sempurna, ada yang kurang, itu masalah masalah perspektif sempit manusia.
Terbatas, namun cerdas
Kaum difabel bukannya tidak mampu. Mereka hanya terbatas dalam melakukan aktivitas tertentu. Jika Anda memakai kacamata, Anda juga disabilitas. Jangan tersinggung. Kan Anda terbatas dalam melihat, dan memerlukan alat bantu.
Ada banyak tokoh di dunia yang menyandang disabilitas, namun cerdas. Kecerdasannya bahkan melebihi orang normal. Berikut ini orang difabel (komposer) namun bisa menghasilkan karya luar biasa.
1) Ola Gjeilo - Komposer Norwegia modern ini terkenal dengan musik gerejawi dan paduan suara. Gjeilo memiliki gangguan kecemasan dan depresi, namun justru melahirkan banyak karya indah seperti Sunrise Mass.
2) Anton Bruckner - Komposer Austria dikenal karena simfoni dan musik gereja, terutama Te Deum dan Mass No. 2. Bruckner diduga mengalami autisme atau obsessive-compulsive disorder (OCD) yang membuatnya sangat perfeksionis, namun justru menguatkan kualitas detail dalam karyanya.
3) Fanny J. Crosby - Fanny buta sejak kecil akibat peradangan mata dan malpraktik. Meski memiliki keterbatasan, Fanny Crosby menghasilkan lebih dari 8.000 lagu himne! Karya populernya seperti Safe in the Arms of Jesus (Aman di Tangan Yesus) dan Blessed Assurance.
4) Ludwig van Beethoven - Beethoven kehilangan pendengarannya secara bertahap, namun ia tetap menulis banyak karya terkenal, termasuk Simfoni No. 9. Kehilangan pendengarannya tidak menghalanginya menciptakan musik yang penuh inspirasi.
Mengasihi seperti Yesus
Alih-alih menghakimi seperti orang pada umumnya, Yesus menyatakan kasih. Misalnya, dalam kasus orang lumpuh yang digotong empat orang temannya sampai membongkar atap rumah. Yesus melihat iman mereka, dan mengampuni dosa orang lumpuh itu. (Lumpuhnya orang itu bukan karena dosa. Semua orang telah berdosa.) Setelah itu, barulah Yesus menyembuhkannya dengan memintanya mengangkat tikarnya. Ia percaya, dan sembuh.
Yesus melihat orang lumpuh lain di serambi Bait Allah. Orang itu lumpuh selama 38 tahun! Yesus tahu bahwa orang itu telah berada di sana untuk waktu sangat lama. Yesus bertanya, "Maukah engkau sembuh?", untuk menguji imannya. Yesus pun memintanya mengangkat tikar, dan berjalan. Ia percaya, dan sembuh.
Mengasihi penyandang disabilitas
Dari uraian di atas, marilah kita belajar untuk mengasihi penyandang disabilitas alih-alih menghakimi. Mereka tidak memilih menjadi difabel, dan tidak bisa mengubah keadaannya. Tapi, kita bisa mengubah cara memperlakukan mereka.
Kasihi dan terima mereka. Berikan mereka ruang untuk berekspresi atau berkarya. Meski memiliki keterbatasan, mereka layak mendapat kesempatan. Tak perlu mengasihani mereka, namun perlakukan mereka seperti orang normal. Jika ada kesulitan, kita bantu.
Di sekitarku ada anak disabilitas. Ia kesulitan berbicara. Oleh para warga, ia sering di-bully dan dijadikan lelucon. (Waktu itu aku diam, tidak ikut mem-bully, dan tidak berani membela.) Namun, aku ingin berbuat sesuatu. Sebagai aplikasi bulan Keluarga, aku dan istri membelikannya jersey bola, meski harganya murah. Sebab, aku sering melihat ia memakai singlet meski malam-malam. Semoga bingkisan kecil ini berarti bagi anak itu. --KRAISWAN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H