Naik kereta api, tut tut tut
Siapa hendak turut, ke Bandung, Surabaya...
***
Di atas adalah penggalan lagu ciptaan Ibu Sud, yang terinspirasi saat beliau melakukan perjalanan ke Surabaya.
Waktu SD, aku sudah senang hanya dengan menyanyikan lagu itu. Tak tahu bentuk kereta api seperti apa. Tak tahu rasanya naik kereta api. Besok kalau besar aku ingin naik kereta api, begitu tekadku.
Perlahan namun pasti, impianku kian dekat. Kelas 4 SD (kalau tidak salah), guruku mengajak kami piknik ke Palagan Ambarawa. Di sana ada eks kendaraan tempur pra-kemerdekaan termasuk "fosil" kereta api. Aku kembali mengingat wujudnya saat kembali berkunjung bersama istri dan anak.
Ada banyak calo, pedagang, gerbong kereta penuh sampai di atas adalah penampakan lama kereta api. Kini, kereta api punya wajah baru sebagai salah satu transportasi massal yang paling banyak dipakai masyarakat. KAI juga berfokus terhadap optimalisasi aset. KAI terus melakukan sertifikasi aset dan memasarkan aset potensial secara proaktif.
Awal Juli, kami mengajak Mbah untuk melakukan perjalanan dengan kereta ke Jogja. Setelah sekian lama, aku kaget atas penampakan di stasiun. Rupanya, tak hanya meningkatkan layanan, KAI mengimplementasikan nilai-nilai keberlanjutan.Â
Menyediakan water station, implementasi face recognition boarding gate untuk mengurangi antrian dan kertas boarding.Â
Ada juga layanan iklusif seperti toilet ramah disabilitas, ruang laktasi, area bermain anak, dan lain sebagainya. Bahkan, KAI sudah menggunakan solar panel di area kantor dan stasiun. Keren! Semua inovasi ini tak lepas dari tangan sang 'masinis' KAI Didiek Hartantyo.
Setiap laju kendaraan punya tujuan. Setiap perjalanan menyimpan kenangan. Demikian juga dengan kereta api.Â