1) Barang dibeli, ya dipakai
Suatu benda diciptakan dengan suatu fungsi. Benda itu harus dipakai agar berfungsi. Kalau dipakai, lama-kelamaan ya rusak. Kalau sekali dipakai langsung rusak, ya itu ulah anak-anak. Kalau tidak ingin barang rusak, disimpan saja yang rapat di lemari. Tapi kan jadi tidak berfungsi.
Tetanggaku bercerita. Ia membelikan satu set mainan yang bagus, harganya sampai jutaan. Ada remote-nya segala. Bapaknya puas? Tidak. Mainan mahal itu langsung dipereteli oleh anaknya. Mahal lho itu! (Kayaknya yang pengen mainan itu Bapaknya)
2) Bereskan, berantakan, bereskan lagi
Hidup ini penuh siklus. Kenapa kita makan kalau toh nanti lapar lagi? Ya, demikian juga dengan barang-barang di rumah. Bereskan, berantakan karena dipakai, ya bereskan lagi.
Pilih mana: anak tenang bermain HP, atau rusuh bermain dan menyebabkan rumah berantakan? Kalau kami sih, pilih yang kedua. "Agar tidak main HP, kami belikan banyak mainan." ujar kakak rohani kami. Konsekuensinya ya harus membereskan setelahnya. Seiring bertambah usia anak, kami mengajar dia merapikan kembali mainannya. Beres? Tidak. Namanya kan masih belajar.
3) Stres karena anak yang mengacaukan rumah, jangan ya Bund, ya...
Anda tahu Marie Kondo? Konsultan Jepang ini sukses menulis buku tentang cara mengatur rumah yang rapi. Namun, "Sepandai-pandainya Kondo menulis, akhirnya jatuh juga."
Kondo gamblang menyebut, "Rumahku berantakan" dikutip dari Apartemen Therapy. Belakangan ia sangat menyukai kekacauan yang terjadi di rumahnya. Setelah melahirkan anak ketiga, Kondo lebih manusiawi dengan membiarkan rumahnya 'berantakan'.Â
Setelah menulis empat buku tentang pengorganisasian, Kondo menyerah dan ingin berdamai dengan rumah yang berantakan. Kamu sudah nulis berapa buku, atau buat berapa konten tentang rumah yang rapi, Bund? Masa udah nyerah...?
Mau rumah berantakan, gaji numpang lewat, anak suka tantrum, kerjaan dibereskan tapi tak beres-beres; stres...? Jangan ya Bund, ya! --KRAISWAN [Referensi: 1, 2]