Menyambut HUT Kemerdekaan RI selalu identik dengan dekorasi beragam bendera dan lampu, mengecat tepi jalan, upacara, dan lomba-lomba.
Semasa kecil, semua lomba tujuhbelasan yang aku ikuti tak pernah menyabet juara. Apes. Bisa naik panggung malam tirakatan juga karena koor bunyi kaleng pecah bersama teman-teman. Sedang teman-temanku penuh bangga menerima hadiah. Padahal isinya cuma buku, pensil, dan penghapus masing-masing sebiji.
Tapi, tak lantas membuatku kalah dalam kehidupan. Perjalanan masih panjang. Mari singsingkan lengan, melangkah ke depan.
***
H-6 malam tirakatan, di lingkungan RT-ku diadakan perlombaan. Terbilang sederhana, tapi meriah dan makin mengikat relasi antar-warga, dari anak-anak sampai lansia.
1) Lomba push bikeÂ
Perlombaan wujud semangat 45 ini tidak boleh mendiskriminasi siapa pun, termasuk anak-anak. Anak-anak mendapat panggung khusus yakni lomba push bike. Mereka adalah yang berusia balita. Meski peserta hanya lima anak, pun satu anak ngambeg tak mau gerak.
Keempat pebalap itu berhasil menuntaskan lintasan. Mau urutan pertama atau terakhir, semua bakal dapat hadiah. Hore!!!
2) Lomba tiup tisu
Lomba ini baru pertama aku tahu. Peserta diberi selembar tisu, harus ditiup ke udara dengan sebuah sedotan. Mudah...?
Ampun, susahnya. Jadinya ya seperti akrobat. Tapi seru juga, bisa memeriahkan perlombaan. Adik-adik perempuan itu tetap semangat meniupkan tisu setinggi tiang bendera.
3) Lomba estafet sarung
Estafet menjadi gambaran sempurna tentang gotong royong. Selangkah demi langkah, diteruskan kepada rekan kerja. Kita lakukan bagian kita, harus saling percaya pada rekan.
Sarung adalah benda ajaib yang bisa mengakrabkan warga, dengan cara diestafetkan. Peserta dibuat kelompok berisi 15 orang. Tiap anggota bergandengan tangan, harus melalukan sarung dari tubuh, gandengan tangan tak boleh lepas. Paling kocak jika ada ibu-ibu gemuk, maupun anak-anak. Yang penting guyub!
4) Lomba estafet ikan
Estafet berikutnya yang kalah seru adalah estafet ikan. Ikan kecil-kecil yang dijual di pasar. Peserta juga dibuat kelompok. Syaratnya, peserta hanya boleh mengambil ikan satu persatu untuk diestafetkan. Lancar?
Hm... No way. Apalagi emak-emak yang biasa menguliti dan melumat daging ayam. Mana bisa mengambil hanya satu ikan. Satu tangkup tangan penuh, iya! Lomba ini juga lintas usia. Anak-anak yang masih SD payah, tapi ramai juga.
Omong-omong, aku dan kelompokku juara satu lomba estafet ikan. Senangnya! (I think this is my first winning, haha!) Aku tak peduli dengan hadiah, melainkan kebersamaan dengan warga, itu lebih penting.
Anak batitaku beda lagi. Semua perlengkapan pendukung sudah siap: helm, jersey, sampai sepatu. Sudah ikut kleb push bike juga (meski baru sekali datang). Bapak-mama sudah full power mendukung anak, sudah PD maksimal.
Realita: anak kami adalah satu peserta yang ngambek itu. Boro-boro mau membalap temannya. Bergerak barang satu mili dari posisinya pun tidak. Bagaimana mau juara kalau begitu?
Meski tak juara satu, anak kami tetap juara di hatiku (dan istri). Kami tidak kecewa atau marah, justru menguatkannya, tetap mendukungnya karena ia sudah mau berusaha. Rupanya anak kami masih ngantuk, baru bangun tidur dari rumah Mbah.
Bagaimana perlombaan di tempatmu? --KRAISWANÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H